Jakarta, benang.id – Jika seruan menunda pembayaran pajak dari warga negara terus bergema, maka situasi fiskal negara yang sedang memburuk akan semakin mengkhawatirkan.
Demikian disampaikan ahli kebijakan publik Ir Wijayanto Samirin MPP, dalam acara Paramadina Democracy forum “Etika Pejabat Publik dan Demoralisasi Birokrasi” yang diselenggarakan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) di Jakarta, Rabu (15/3/2023).
Lebih lanjut Wija –demikian ia akrab disapa– menyatakan bahwa terjadinya Negara Gagal (Failed State) harus diantisipasi dengan serius. “Sayangnya, Kemenkeu menerima situasi itu dengan sangat defensif. Seharusnya hal-hal itu direspon lanjut dengan kolaborasi dengan para pihak. Karena permasalahan indikasi korupsi di Pajak/Kemenkeu jelas di atas kapasitas para pengelola keuangan Negara,” tutur Wija.
“Kolaborasi dengan para pihak jelas diperlukan karena dihadapi para pemungut pajak/kemenkeu bukan hanya jika ingin memperbaiki angka penerimaan pajak negara, maka yang didisiplinkan bukan hanya supply side, para pegawai pajak, tapi juga dari sisi demand side yakni para pengusaha besar, oligarki, tokoh berpengaruh,” ujar Wija menambahkan.
Wija juga menyarankan solusi pada situasi seperti itu yakni Pertama, “Penegakan hukum, Pendekatan insentif, dan Pendekatan Budaya. Penegakan hukum, tentu sangat rumit di Indonesia. Kedua, Pendekatan insentif sudah dicoba tapi ternyata tidak cukup.”
Pada Pendekatan Budaya, lanjut dia, di tengah masyarakat yang masih terjangkit budaya feodal di mana melihat pada contoh budaya/perilaku para atasan, maka seharusnya penerapan hidup sederhana dilakukan dengan konsisten.
Pembicara lainnya Alvin Nicola dari Transparency International Indonesia (TII) menyinggung Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia. “Berkaca pada skor indeks persepsi korupsi di Indonesia yang memburuk belakangan, mencerminkan upaya reformasi birokrasi banyak menemukan tantangan. Namun tanggapan pemerintah untuk menanggapi hasil menurunnya skor CPI Indonesia juga bukan atas apa inti persoalan sebenarnya,” kata Alvin.
Menurut dia, upaya-upaya debirokratisasi, digitalisasi dan deregulasi yang selama ini digaungkan ternyata tidak menyelesaikan banyak hal. Penurunan skor CPI Indonesia bersamaan dengan semakin langgengnya intervensi politik dalam birokrasi.
Dalam paparannya Direktur PPPI, Ahmad Khoirul Umam PhD menyatakan bahwa secara teoritis, konsep good governance adalah hadiah dari paham neoliberal yang diharapkan menjadikan proses demokrasi yang transparan dan akuntabel bisa menghadirkan sebuah tata kelola pemerintahan yang baik.
“Problemnya, yang terjadi di banyak negara berkembang yang mengadopsi konsep good governance seringkali memang lebih banyak berhenti pada proses remunerasi. Minim inovasi dan minim aspek pengawasan,” ucap Ahmad Khoirul mengriktik.
Good governance dalam konteks reformasi birokrasi hadir dalam bentuk digital services (OSS, INSP, STID) dan apa-apa yang disampaikan oleh pak LBP, sama sekali belum menjawab persoalan. Karena kunci reformasi birokrasi ada pada sumber daya manusianya, birokratnya dan bukan pada infrastruktur dasar dari birokrasi itu sendiri.
Umam juga mengkritisi terjadinya demoralisasi pada birokrasi yang memunculkan pertanyaan penting pada hal-hal yang dulu pernah dijanjikan oleh presiden Jokowi yaitu revolusi mental.
“Revolusi mental jika hanya dimaknai pada sebuah upaya untuk menghantam kekuatan-kekuatan tertentu yang tidak sesuai dengan narasi kepentingan kekuasaan, maka itu bukan revolusi mental,” katanya. (*)