Jakarta, benang.id – Berqurban adalah ritus tua, setua peradaban manusia. Kita dapat temukan tradisi berqurban di budaya dan agama mulai dari Yunani kuno, bangsa Aztek sampai Islam. Qurban adalah praktik keagamaan, persembahan pada dewa, tuhan. Qurban bukan ritus an sich. Ia adalah simbol. Ia mengandung pesan.
Bagi Arif Zulhilmi, pemikir muda Paramadina, qurban itu bukan hanya penyembelihan hewan. Yang lebih penting menurut dia adalah menyembelih sifat-sifat hewani.
“Sifat rakus, misalnya adalah karakter hewani yang harus disembelih, dibuang. Korupsi terjadi karena kerakusan yang masih menguasai diri seseorang. Negeri ini akan mampu mencapai cita-cita kemerdekaannya bila para pemimpinnya sudah menyembelih sifat-sifat hewaninya,” ujarnya saat berbicara dalam webinar “Etos Qurban dan Kepemimpinan Nasional” dalam rangka menggali pesan penting Quran, yang digelar Paramadina Graduate School of Islamic Studies, Selasa (27/6/2023). Di samping Arif Zulhilmi, hadir narasumber lain Dr Sunaryo, dosen Universitas Paramadina.
Arif Zulhilmi menyoroti praktik qurban yang masih didominasi kepentingan-kepentingan egoistik, seperti pamer, persaingan gengsi dan sebagainya.
“Karena itu, sulit diharapkan ada transformasi sosial dari ibadah qurban dalam skala besar. Penghayatan keragaman yang mengutamakan ritus daripada pesan moral di balik ritus tidak akan mengubah wajah masyarakat,” paparnya.
Sedangkan Sunaryo menyampaikan bahwa pesan agama (Islam) sangat gamblang. “Pendekatan diri kepada Tuhan dilakukan dengan tindakan yang bernilai. Dalam Qurban, nilai yang didorong adalah solidaritas,” tuturnya.
Intinya, menurut Sunaryo kaum Muslim tidak boleh meninggalkan tanggung jawab sosial, harus terlibat menanggulangi persoalan sosial. Turut memikul tanggung jawab sosial, saleh individual, saleh sosial.
Dalam paparannya, Sunaryo menyatakan bahwa Qurban adalah peristiwa sepanjang tahun. Ritus penyembelihan hewan Quran hanya pengingat. Lagi-lagi, qurban punya dimensi sosial.
“Yang tak kalah penting, ritus tahunan qurban memiliki potensi besar dalam upaya pemberdayaan kaum yang lemah. Sayangnya, meskipun potensi dan nilai qurban secara ekonomi cukup besar namun tidak dikelola secara baik. Hasilnya, potensi qurban itu lenyap dalam hitungan hari. Hewan qurban disembelih, lalu didistribusikan pada yang kurang mampu. Itu sudah benar. Tetapi, praktik tersebut tidak punya efek emansipasi. Pesan pemberdayaannya tidak bunyi,” katanya.
Bagi Sunaryo, otokritik ini harus dilontarkan pada pengelolaan potensi pemberdayaan umat. “Potensi pemberdayaan umat yang hanya selesai pada tingkat seremoni ritual. Dalam konteks imamah, kepemimpinan, mengorganisasikan. Harus ada kepemimpinan, organisasi negara itu penting dilakukan bersama-sama, secara kolektif. Untuk satu tujuan tertentu menciptakan masyarakat dan ummat,” ucap Sunaryo menambahkan.
Di akhir diskusi, Dr M Subhi-Ibrahim, Direktur PGSI menambahkan bahwa qurban punya pesan sosial yang kuat. Penggantian Nabi Ismail sebagai objek qurban dengan domba memiliki pesan yang sangat penting, yakni pesan kemanusiaan.
Bagi Subhi-Ibrahim, kemanusiaan tidak berseberangan dengan ketuhanan. “Allah tidak mengorbankan Ismail. Allah tidak menjadikan manusia sebagai sarana penyembahan dan persembahan. Allah tidak mengajarkan bahwa untuk mendekati-Nya dengan mengorbankan manusia dan kemanusiaan. Allah menginginkan manusia menjadi tujuan pada dirinya sendiri,” tuturnya.
Agama diturunkan bukan untuk Allah. Ia tidak kekurangan kemahaan-Nya walau tidak satu orang pun yang menyembah-Nya. Allah Maha Segalanya. Agama adalah untuk manusia dan memanusiakan manusia. Jika ada tafsir agama yang mempertentangkan Allah dan manusia, maka tafsir tersebut pasti manipulatif.
“Tafsir yang menyembunyikan kepentingan diri, kekuasaan, motif ekonomi dan lain-lain. Tafsir yang wajib ditolak. Alih-alih menghadap-hadapkan Allah VS manusia atau agama VS kemanusiaan, Allah mengajarkan bahwa pendekatan diri kepada-Nya digapai melalui mendekatkan diri kepada manusia yang lemah (dhaif) dan dilemahkan (mustadhafin),” ujarnya.
Inilah esensi ritus qurban. Pendekatan diri kepada Tuhan mensyaratkan mendekat kepada yang berkekurangan, yang kurang beruntung. Bila ibadah puasa mengajak si kaya merasakan laparnya si miskin, qurban mengajak si miskin merasakan kenyang si kaya. Berqurban berarti mendekatkan diri dengan mengakrabkan diri dengan hamba-hamba-Nya yang lemah, tidak berdaya. (QS. Al-Hajj [22]:28).
“Dalam kepemimpinan, kemanusiaan tidak pernah boleh diabaikan. Pemimpin nasional harus memberi jaminan penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan sekaligus mendorong solidaritas sosial,” pungkasnya. (*)