Jakarta, benang.id – Dunia masih menghadapi resesi. Selain faktor fundamental, eskalasi geopolitik yang memanas antara Rusia dan Ukraina yang belum mereda memberikan dampak pada supply minyak nabati global membuat peta persaingan dan harga kian fluktuatif.
Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia berperan penting dalam pasar minyak nabati global. Bersama dengan Malaysia, kedua negara mendominasi 85% pangsa pasar pasar minyak sawit dunia. Pada awal tahun tahun 2022, harga minyak sawit dunia mencapai titik tertinggi sepanjang sejarah disebabkan oleh isu geo-politik yang terjadi di Rusia dan Ukraina dan ditanggapi dengan berbagai kebijakan dalam negeri yang turut mengguncang pasar minyak nabati global.
Meskipun di tahun 2023 ini harga sawit kian normal, mulai masuknya stok minyak bunga matahari dari Rusia dan Ukraina serta meningkatnya produksi minyak nabati lainnya ke pasar global menyebabkan tingginya stok minyak nabati di negara India yang merupakan salah satu negara importir terbesar minyak kelapa sawit. Oil World menyebutkan, stok di India ini merupakan tertinggi sepanjang sejarah ditengah pemulihan produksi minyak sawit di Malaysia.
Selain terkait supply dan demand, industry kelapa sawit juga masih terus berkutat dengan kampanye negatif yang kemudian dituangkan dalam kebijakan yang menjadi hambatan dagang di pasar global, diantaranya adalah Kebijakan Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Implikasi EUDR dikhawatirkan akan berdampak besar bagi industri kelapa sawit, terutama bagi para petani sawit. Pasalnya, pasokan minyak sawit saat ini didominasi oleh petani diantaranya Indonesia 42% dan Malaysia 27%.
Sertifikasi perkebunan kelapa sawit seperti Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) serta Malaysia Sustainable Palm Oil (MSPO) yang menjadi tolak ukur tata kelola yang berkelanjutan hingga saat ini belum diakui oleh Uni Eropa. Pertimbangan langkah-langkah khusus untuk mengintegrasikan petani kecil ke dalam rantai pasokan sangat penting dalam meminimalkan dampak EUDR terhadap petani tersebut.
Menghadapi pasar yang tidak menentu tersebut, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) kembali menggelar konferensi sawit internasional “19th Indonesian Palm Oil Conference and 2024 Price Outlook” (IPOC 2023).
Konferensi sawit dunia ini akan dilaksanakan pada 1-3 November 2023 di Bali International Convention Center, Westin Resort, Nusadua Bali, dengan mengusung tema “Enhancing Resiliency Amid Market Uncertainty.”
IPOC 2023 direncanakan akan dibuka oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartanto, serta dihadiri jajaran menteri di antaranya Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Menteri Perdagangan untuk memberikan special address terkait kebijakan dan strategi pemerintah dalam meningkatkan daya saing industri kelapa sawit berkelanjutan.
Selain itu, konferensi ini menawarkan analisis situasi pasar minyak nabati dunia sehubungan dengan peraturan global terkini dan dampaknya terhadap industri minyak sawit, kebijakan minyak sawit Indonesia dan perspektif pasar dari negara-negara importir minyak sawit.
Di samping itu, akan dibahas pula situasi pasokan dan permintaan minyak sawit di dunia, juga prospek harga untuk tahun mendatang yang dibawakan oleh pembicara-pembicara ahli minyak nabati senior dunia untuk menguak tren harga, seperti Thomas Mielke (Oil World), Nagaraj Meda (Transgraph), dan Dorab Mistry (Godrej International Ltd).
IPOC merupakan wadah para pemangku kepentingan baik tingkat nasional maupun internasional, untuk bersama-sama membahas isu-isu strategis seputar industri kelapa sawit. Selain konferensi, juga akan diselenggarakan pameran untuk memberikan informasi mengenai perkembangan terkini teknologi, produk, dan layanan di industri kelapa sawit.
Dengan animo peserta yang tinggi setiap tahunnya, penyelenggaraan konferensi tahun ini dilaksanakan tatap muka secara penuh untuk meningkatkan antusiasme peserta. Penyelenggaran konferensi tahun ini secara optimistis dapat menembus angka 1.500 peserta yang akan hadir dari berbagai belahan dunia. (*)