Jakarta, benang.id – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menggelar rapat klarifikasi kepada Pelapor atas dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi pada Kamis (26/10/2023).
Rapat MKMK dipimpin Jimly Asshiddiqie bersama Wahiduddin Adams, dan Bintan R Saragih, berlangsung secara hybrid di Ruang Sidang Panel, Lantai 4, Gedung 2 MK dan secara zoom. Adapun para Pelapor peserta rapat di antaranya Perhimpunan Pemuda Madani, Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara), Advokasi Rakyat Untuk Nusantara (ARUN), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Ahmad Fatoni, LBH Cipta Karya Keadilan, dan Tim Advokasi Peduli Pemilu (TAPP).
Ada Permohon yang meminta MKMK dapat membatalkan Putusan MK 90/PUU-XXI/2023, dan beberapa Putusan MK Lainnya. Hal ini mendapatkan berbagai komentar dari beberapa pengamat dan pakar.
Direktur Eksekutif Indonesia Law and Democracy Studies (Ildes), Juhaidy Rizaldy Roringkon menyampaikan bahwa Putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tidak bisa membatalkan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 atau putusan lainnya. Karena putusan MKMK hanya mengikat bagi pribadi Hakim konstitusi, bukan terhadap Putusannya.
“Dalam PMK No 1/2023, sejatinya MKMK harus mengedepankan prinsip menjaga kehormatan dan keluruhan martabat Hakim MK, dan jenis sanksinya hanya teguran lisan, tertulis dan pemberhentian tidak dengan hormat kepada hakim. Tidak ada kewenangan MKMK untuk membatalkan Putusan MK,” ujar Juhaidy, dalam keterangannya, Jumat (27/10/2023).
Ia menambahkan, dalam konsep Peradilan etik (court of ethics) sejatinya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran hakim, tidak semata-mata untuk menghukum Hakim, apalagi berbicara tentang Hakim Konstitusi yang kedudukannya di atur secara khusus dalam UU MK.
“Banyak yang bilang harus mengacu ke Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman, yang dimana Putusan bisa dibatalkan. Ingat pasal ini tidak berdiri. Pasal ini bisa berlaku ke lingkungan MA, dan tidak tunduk ke lingkungan MK. Karena jelas di UU yang sama, kedudukan hakim konstitusi dan kewenangan secara komprehensif dalam UU tersendiri, yaitu UU MK,” ungkap Juhaidy.
Lulusan Magister Hukum Kenegaraan Universitas Indonesia ini, menekankan Putusan Hakim bisa dibatalkan dan akan diperiksa dengan hakim berbeda dalam UU kekuasaan kehakiman itu berlaku di Mahkamah Agung saja, di Mahkamah Konstitusi itu tidak berlaku. Ada pihak yang selalu menggaungkan Putusan MK Nomor 90 itu dianggap batal, menurut dia itu keliru.
“Putusan MK itu bersifat final dan mengikat (final and binding), maka tidak ada upaya lain yang dapat ditempuh. Tidak ada satu pranata hukum satu pun untuk membatakan suatu Putusan MK,” sambungnya.
Selain itu, jika ditelisik Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 menyebutkan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
“Frasa ‘putusannya bersifat final’ menegaskan bahwa sifat putusan MK adalah langsung dapat dilaksanakan. Sebab, proses peradilan MK merupakan proses peradilan yang pertama dan terakhir. Dengan kata lain, tidak ada lagi forum peradilan yang dapat ditempuh dan tidak ada peluang untuk mengajukan upaya hukum dan upaya hukum luar biasa,” jelas Juhaidy.
Lanjut Juhaidy, bahwa dalam proses persidangan pun, DPR dan Pemerintah telah menyerahkan kepada MK untuk memutus Perkara minimal usia tersebut, sehingga open legal policy yang selalu digaungkan dan MK memang bisa membatalkan konsep open legal policy dalam UU, dengan beberapa syarat, dalam Putusan MK 90 secara tegas MK telah jabarkan, sehingga Putusan tersebut konstitusional. Meskipun memiliki Disenting Opinion (pendapat berbeda) dan Concuring Opinion (alasan berbeda), kedua hal tersebut adalah biasa dan dibenarkan dalam setiap putusan pengadilan.
“Putusan MK 90 itu, salah satunya didasarkan pada prinsip memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give opportunity and abolish restriction) secara rasional, adil, dan akuntabel, hal ini dibenarkan pleh MK dalam putusannya,” tegas Juhaidy
“Kita hormati putusan MK sebagai The final interpreter of the Constitution, dan jika melihat tren dunia banyak negara yang minimal usia capresnya di bawah 40 tahun,” tutup Juhaidy. (*)