Malinau, benang.id – Para calon presiden dan wakil presiden hendaknya tidak hanya mendatangi daerah dengan massa pendukung yang banyak, namun juga perlu menyempatkan diri berkunjung ke wilayah yang mungkin tidak begitu banyak massa pendukung mereka tetapi membutuhkan perhatian seperti daerah 3 T (tertinggal, terluar, terdepan) semisal Apau Kayan.
Hal tersebut diungkapkan Romo Sixtus Jemadu Pr, Pastor Paroki St Lukas Apau Kayan, dalam perbincangannya dengan AM Putut Prabantoro– Taprof (tenaga ahli profesional) atau dosen pengajar Bidang Ideologi Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI, Eva Christine Agustina– Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Malinau, serta Lucius Gora Kunjana dari Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI), pada Minggu (17/12/2023), di sela-sela persiapan rangkaian acara perayaan HUT ke-25 Paroki St Lukas di Stasi St Maria Goreti, Agung Baru, Sungai Boh, Malinau, Kalimantan Utara (Kaltara).
“Jangan hanya datang berkampanye ke daerah di mana massa pendukungnya banyak dan jual gagasan di situ. Coba sekali-kali datang di daerah-daerah yang memang massanya memang kecil. Datanglah di titik-titik yang paling rawan karena terluar, terdepan, tertinggal. Lihatlah kondisinya seperti apa. Wilayah ini masih Indonesia,” tutur Rm Sixtus.
Pada momen HUT ke-25 Paroki St Lukas, dia mengatakan bahwa umat paroki yang berada di pedalaman ini mengharapkan adanya sentuhan pembangunan. Terutama infrastruktur seperti jalan, dan jembatan sehingga bisa memberikan akses untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar hidup.
“Selama ini akses ekonomi menyangkut kebutuhan hidup kami dapatkan dari wilayah perbatasan Malaysia, seperti minyak goreng, gula pasir, BBM. BBM sampai daerah ini harganya sudah Rp30 ribu/liter. Kami seolah-olah tidak merasakan Indonesia yang sudah merdeka 78 tahun, sangat jauh dari harapan,” jelasnya.
Rm Sixtus menyatakan prihatin mengingat Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kaltara adalah penghasil minyak namun perputaran minyak tidak sampai ke pelosok ini. “Masyarakat yang mempunyai minyak tapi mereka tidak merasakan manfaat dari minyak itu sendiri. Mereka yang punya batu bara tetapi justru listriknya tidak ada. Mereka yang punya sawit tetapi justru di sini minyak goreng langka,” ucapnya.
Menurut Rm Sixtus, ada banyak hal yang tidak masuk akal. “Saya sudah bertugas di Apau Kayan selama 9 tahun, tetapi kalau di Kaltim dan Kaltara total saya sudah 30 tahun. Jadi pasti sedikit pahamlah akan penderitaan dan pergulatan, serta perjuangan masyarakat pedalaman itu seperti apa,” imbuhnya.
“Harapan kami sebetulnya tidak terlalu muluk-muluk. Hanya hal-hal yang mendasar, seperti akses jalan, jembatan yang perlu diperbaiki dan diperbanyak agar mereka bisa merasakan manfaat hasil bumi yang ada di Kalimantan ini,” katanya.
Hal lain yang juga perlu diperbaiki menurut Rm Sixtus adalah kualitas pendidikan dan kesehatan. Guru harus banyak didatangkan begitu pun tenaga medis atau dokter. Ia mengaku bahwa menjadi pastor di pedalaman harus serba bisa yang tidak hanya memberikan pelayanan spiritual atau rohani belaka. Pada satu saat ia juga harus bisa menjadi dokter, ahli pertanian, dan juga pendidik untuk umat.
“Hal-hal mendasar itulah yang kami butuhkan. Tidak muluk-muluk. Kami tidak hanya melayani ibadat, tapi sekaligus pendidik, berperan seolah-olah kami dokter, tapi juga sebagai ahli pertanian. Di Apau Kayan ini, kami mendatangkan bibit-bibit unggul kakao dengan biaya sendiri, dibantu beberapa umat. Kami bagikan sekaligus sosialisasi cara menanamnya,” beber Rm Sixtus.
Selanjutnya, agar masyarakat pedalalaman tidak tertinggal informasi, sebaliknya pusat juga mengetahui informasi yang terjadi di pedalaman perlu dibangun tower-tower telekomunikasi.
“Kalau di kota sudah tersebar 4G bahkan sudah 5G, ada artificial intelligent atau AI segala. Itukan barang-barang dan istilah langka bagi kami. Maka perlulah orang-orang pusat atau sekarang yang lagi booming caleg-caleg, para capres sekali-kalilah melawat ke daerah perbatasan. Supaya mereka tau posisi dan kondisi daerah pedalaman itu seperti apa secara langsung, bukan sepotong-potong dari media,” ucapnya.
Rm Sixtus pun mengajak mereka untuk terjun ke lapangan dan melihat langsung. “Kalau perlu ayo kita jalan dari titik nol ke perbatasan sehingga tau jalan-jalannya, tau seperti apa penderitaan orang pedalaman. Saya sudah merasakan Kalimantan 30 tahun, bayangkan Indonesia sudah merdeka 78 tahun. Minyak punya mereka, gas punya mereka, batu bara punya mereka, sawit ditanam di lahan mereka, emas juga punya tapi mereka dapat apa?,” tukas Rm Sixtus.
Kalau hal-hal yang mendasar itu sudah terpenuhi, lanjut dia, maka hal-hal lain akan mengikuti. Sehingga harga bahan kebutuhan pokok bisa terkendali. “Bayangkan semen saat ini sudah Rp600 ribu/zak, kalau kondisi tetap seperti ini nanti bisa saja mencapai 750 ribu,” katanya.
Peran DPRD
Di tempat yang sama, Eva Christine Agustina—anggota Komisi I (bidang pendidikan, kesehatan, hukum, pemberdayaan perempuan) DPRD Kabupaten Malinau mengatakan pihaknya mendukung visi-misi Bupati Malinau mencerdaskan putra-putri Malinau sehingga pendidikan menjadi program prioritas.
Eva Christine mengungkapkan bahwa selama ini jika mengunjungi daerah pedalaman pihaknya selalu melihat bagaimana kondisi sekolah apakah sudah memadai, gurunya ada atau tidak apakah sesuai dengan jumlah murid, dan sebagainya.
“Ada desa yang karena tempatnya jauh gurunya kurang. Kadang 1 guru melayani 2-3 kelas. Nah, fakta-fakta di lapangan ini kemudian kami laporkan kepada pemerintah kabupaten untuk ditindaklanjuti. Itu langkah-langkah yang saya buat selama ini,” papar Eva.
Eva berharap apa yang ia laporkan dicek langsung di lapangan untuk selanjutnya diambil kebijakan penanganan. Menurut Eva, permasalahan yang ada di bidang pendidikan maupun kesehatan di pedalaman selama ini adalah sistem pengawasan yang belum ada.
“Misalnya ada guru yang pulang, baliknya ke tempat tugas lama karena masalah transportasi, tidak ada pengganti sehingga kelas kosong. Nah, hal itu saya komunikasikan ke dinas pendidikan agar ada estafet yang baik, sebelum turun harus sudah ada penggantinya sehingga tidak terjadi kekosongan,” kata Eva menambahkan.
Lebih dalam Eva mengungkapkan bahwa permasalahan di setiap daerah berbeda-beda maka dinas pendidikan pun perlu terjun ke lapangan untuk mengetahui duduk permasalahannya. “Ada anak yang kalau musim tanam ya dia harus ikut ke ladang jadi tidak sekolah. Kita gak bisa melarang karena ke ladang hidup mereka. Begitu juga pas panen anak-anak bisa meliburkan sendiri. Di sini kita tidak bisa kaku sesuai kurikulum, bisa saja guru mengajar disesuaikan jam luang mereka,” jelasnya.
Begitu juga kesehatan, kata dia, sering ada bidan atau perawat karena keperluan keluarga harus turun, namun kembalinya lama. Persoalan lainnya di bidang kesehatan, lanjut Eva, adalah persediaan obat. Obat kiriman dari kota biasanya sampai di daerah pedalaman sudah hampir kadaluwarsa.
“Kelamaan di jalan atau sudah beli obat namun tidak langsung dapat angkutan karena gak ada dana, tau-tau sudah kadaluwarsa. Tapi hal itu kami pastikan tidak terjadi lagi tahun depan,” ungkap Eva.
Gaya hidup tersendiri
Menanggapi masalah pendidikan, Rm Sixtus berpendapat bahwa penekanan pendidikan di daerah pedalaman harus dengan pendekatan khusus karena masyarakatnya memiliki gaya hidup tersendiri.
“Karena orientasi hidup mereka ada di ladang ya penekanan pendidikannya harus pada aspek pertanian, atau perkebunan. Bagaimana mereka diajari menanam berbagai komoditas kebun tidak hanya kakao tapi juga cengkeh, kopi, vanili, kan semua sudah ada bakat alami. Itu yang perlu dipoles. Ada pembinaan ketrampilan berladang. Dari bulan Juni sampai Oktober adalah musim berladang, bayangkan selama itu pula anak-anak tidak sekolah,” beber Rm Sixtus prihatin.
Jadi, tandas Rm Sixtus, pola-pola pendidikan a la kota tidak bisa diterapkan untuk masyarakat di pedalaman. Kalau pun dilakukan harus dengan model asrama. “Tapi tetap perlu dilengkapi dengan tenaga pendidik ketrampilan pertanian tersebut,” pungkasnya. (*)
Foto-foto: benang.id/Gora Kunjana