Jakarta, benang.id – Stakeholders atau para pemangku kepentingan harus berkolaborasi dan mengambil langkah nyata dalam mengatasi dampak climate change atau perubahan iklim. Pasalnya, perubahan iklim tidak bisa diatasi hanya dengan pertemuan dan seminar, tetapi harus ada tindakan nyata yang kredibel dan efektif.
Demikian dikemukakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam arahannya pada acara Pertemuan Nasional RBP REDD+ Tahun 2024 yang diselenggarakan di Jakarta pada Rabu (21/2/2024).
“Climate change itu nggak bisa diatasi hanya dengan pertemuan dan seminar, nggak bisa diatasi hanya dengan meeting to meeting, pidato ke pidato. Yang penting adalah dari meeting ini bisa menimbulkan suatu real action yang kredibel dan efektif di dalam mengatasi potensi malapetaka dari perubahan iklim,” ujar Sri Mulyani, seperti dilansir kemenkeu.go.id.
Mengawali paparannya, Menkeu kembali mengingatkan perihal ancaman daya rusak dari dampak perubahan iklim yang akan secara konstan mempengaruhi kehidupan manusia, termasuk di sektor perekonomian dan keuangan.
“Estimasi kita dengan climate change dan permukaan air laut yang naik akan menimbulkan dampak terhadap perekonomian kita antara 0,66% hingga 3,45% dari GDP. Jadi kalau kita bicara tentang GDP itu sekitar Rp20,6 ribu triliun maka kita bicara mengenai angka kerusakan dan kerugian yang nilainya bisa mencapai Rp600,45 triliun. Bappenas mengestimasi Rp544 triliun antara periode 2020 hingga 2024,” ujarnya.
Ia pun mengungkapkan bahwa upaya Indonesia untuk ikut menghindari malapetaka perubahan iklim dilakukan secara sistematis, bahkan mendapatkan rekognisi serta kompensasi atas upaya Indonesia dalam menjaga kelestarian lingkungan. Salah satunya melalui Green Climate Fund melalui pembayaran berdasarkan performance atau Result Based Payment dari REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation).
Meski demikian, Menkeu menekankan bahwa upaya Indonesia dalam memitigasi dampak perubahan iklim tidak hanya bergantung dari pembayaran lembaga internasional. Tetapi juga berkaitan erat dengan kebijakan dan regulasi. “Ini juga masalah inklusivitas dimana partisipasi dari semua masyarakat dan jajaran serta stakeholder menjadi penting,” tambahnya.
Menkeu memaparkan sejumlah kebijakan yang telah dilakukan pemerintah pusat, antara lain melalui climate budget tagging, sukuk hijau, pembentukan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), hingga berbagai pendanaan multilateral seperti Global Environment Facility (GEF). Ia pun berharap, pemerintah daerah juga memiliki ownership dan komitmen yang sama kuatnya melalui climate budget tagging di level regional.
“Jadi saya berharap pada forum ini nanti akan bisa diskusi, bertukar pikiran, pengalaman, pengetahuan, bagaimana program climate change terutama kalau di dalam forum ini emphasize-nya atau titik tekannya adalah pada kegiatan agriculture, forestry, kehutanan tadi, maupun penggunaan lahan land use bisa saling mengangsu kawruh dan nimbo pengetahuan, saling bertukar pengetahuan dan menimba ilmu dan pengalaman sehingga kita nanti tidak hanya beberapa provinsi yang menonjol, tapi semua provinsi di Indonesia bisa menunjukkan sebagai juara atau champion di bidang climate change program,” tutup Menkeu. (*)