Friday, November 22, 2024
No menu items!
spot_img
HomeNasionalJalan Konstitusional Capres yang Kalah di Pilpres adalah MK, Bukan ke DPR

Jalan Konstitusional Capres yang Kalah di Pilpres adalah MK, Bukan ke DPR

Jakarta, benang.id – Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menanggapi isu hak angket DPR terhadap Pemerintah atau KPU. Yusril menganggap untuk menyalurkan dan mencari penyelesaian atas ketidakpuasan terhadap pelaksanaan pemilu dan hasilnya, khususnya Pilpres, pihak yang tidak puas dapat membawa hal itu ke Mahkamah Konstitusi (MK), bukan dengan menggunakan hak angket DPR untuk menyelidiki pelaksanaan pemilu yang kewenangan sepenuhnya berada di tangan KPU.

Keberadaan hak angket memang diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945. Ketentuan mengenal hak angket dalam pasal tersebut dikaitkan dengan fungsi DPR melakukan pengawasan yang tidak spesifik, tetapi bersifat umum dalam hal pengawasan terhadap hal apa saja yang menjadi obyek pengawasan DPR. Ketentuan lebih lanjut tentang hak angket dituangkan dalam undang-undang, yakni undang-undang yang mengatur DPR, MPR, dan DPD.

“Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu, dalam hal ini Pilpres, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya tidak. Karena UUD NRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi,” ujar Yusril.

Selain itu, Pasal 24C UUD NRI 1945 dengan jelas menyatakan bahwa salah satu kewenangan MK adalah mengadili perselisihan hasil pemilihan umum, dalam hal ini Pilpres pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat.

Yusril yang juga merupakan mantan Menteri Hukum dan HAM, menjelaskan bahwa para perumus amendemen UUD NRI 1945 nampaknya telah memikirkan bagaimana cara yang paling singkat dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, yakni melalui badan peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi.

Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra. Foto: Istimewa

Hal ini dimaksudkan agar perselisihan itu segera berakhir dan diselesaikan melalui badan peradilan agar tidak menimbulkan kevakuman kekuasaan jika pelantikan Presiden baru tertunda karena perselisihan yang terus berlanjut.

“Oleh karena itu saya berpendapat, jika UUD NRI 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan Pilpres melalui MK, maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan. Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil Pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi, atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR,” tegas Yusril.

Putusan MK dalam mengadili sengketa Pilpres akan menciptakan kepastian hukum. Sementara penggunaan hak angket DPR akan membawa negara ini ke dalam ketidakpastian, yang potensial berujung kepada chaos yang harus dihindari.

“Kalau niatnya mau memakzulkan Jokowi, hal itu akan membawa negara ini ke dalam jurang kehancuran. Proses pemakzulan itu memakan waktu relatif panjang, dimulai dengan angket seperti mereka rencanakan dan diakhiri dengan pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 7B UUD 45,” tandas Yusril.

Selain itu, pernyataan pendapat itu harus diputus MK. Kalau MK setuju dengan DPR, maka DPR harus menyampaikan permintaan pemakzulan kepada MPR, tergantung MPR mau apa tidak.

“Proses ini akan berlangsung berbulan-bulan lamanya, dan saya yakin akan melampaui tanggal 20 Oktober 2024 saat jabatan Jokowi berakhir. Kalau 20 Oktober 2024 itu Presiden baru belum dilantik, maka negara ini berada dalam vakum kekuasaan yang membahayakan. Apakah mereka mau melakukan hal seperti itu? Saya kira negara harus diselamatkan,” tutup Yusril. (*)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments