Kupang, benang.id – Artificial Intellegence (AI) dibutuhkan dalam kehidupan manusia untuk menemukan pengetahuan baru. Tugas filosof adalah memastikan pengetahuan baru itu valid sehingga dapat dijadikan referensi untuk membuat sebuah keputusan atau pun kebijaksanaan. Gunakan AI selama dia bermanfaat bagi kehidupan manusia,dan jangan sampai AI menghancurkan kemanusiaan itu sendiri. Filsafat menguatkan keyakinan bahwa hanya yang tidak terbatas di dalam diri sendiri yang bisa memuaskan kerinduan hati manusia untuk mencapai yang tidak terbatas.
Demikian sejumlah poin yang mengemuka dalam Seminar Nasional Artificial Intellegence & Masa Depan Filsafat yang digelar secara hybrid Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Sabtu (18/5/2024).
Seminar nasional menghadirkan nara sumber Prof Dr Fransisco Budi Hardiman – Univrsitas Pelita Harapan Jakarta, Dr Frederikus Fios SFil MTh –Universitas Bina Nusantara Jakarta, dan RD Leonardus Mali LPh –Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, dengan Moderator RD Antonius Kapitan SFil MFil.
Prof Dr Fransisco Budi Hardiman dalam paparannya secara daring membuka paparannya dengan pertanyaan apakah filsafat di dalam era AI masih diperlukan. Untuk menjawab hal tersebut Prof Franky –demikian ia akrab disapa– mengajak peserta untuk menengok kembali ke tugas klasik filsafat, lalu maju untuk melihat sejauh mana AI bisa menggantikan manusia, dan sejauh mana tidak,
“Tugas klasik filsafat adalah mencari kebijaksanaan. Seorang filosof bukan orang yang bijaksana tapi orang yang mencari kebijaksanaan karena dia akan kebijaksanaan,” katanya.
Ia mengurakan bahwa kebijaksanaan dan kecerdasan adalah dua hal yang berbeda. Kecerdasan adalah kemampuan berpikir logis, sedangkan kebijaksanaan adalah keutamaan kecerdasan meliputi kemampuan untuk memahami kodrat manusia yang paradoksial, termasuk kemampuan untuk berbuat baik secara moral.
AI, kata Prof Franky, menyadarkan para filosof dewasa ini bahwa berpikir tidak merupakan cirri khas manusia karena ada mesin yang berpikir. “Jangan-jangan kita akan digantikan oleh mesin cerdas, dan cara berpikir kita tidak khas” katanya.
Dalam AI, lanjut dia, manusia menghadapi ambiguitas antara mesin berpikir dan pikiran memiliki cirri mesin. Ini menimbulkan pertanyaan apakah berpikir pada mesin sama dengan berpikir pada manusia, entah sebagian atau keseluruhan. Apakah ada mesin berpikir di dalam pikiran manusia. “Jadi kita harus hati-hati di sini. Kita jangan menolak begitu saja AI, tapi kita juga jangan memuja AI, kita tetap dalam wilayah yang tegang antara menerima dan menolak sama dengan kalau kita menghadapai ciptaan-ciptaan kita sendiri,” jelasnya.
Sebetulnya asal-usul folosofis AI, lanjut Prof Franky, adalah silogisme Aristoteles. Setelah komputer dibuat, orang ingin membangun otak buatan yang tidak hanya melakukan penalaran yang logis, namun juga penalaran simbolis; tidak hanya mengumpulkan informasi tapi juga belajar hal baru; tak hanya menjawab tapi juga beragumentasi; tak hanya logis tapi juga intuitif, naratif, imajinatif, dan estetis; tak hanya imitasi tapi juga produksi inovasi; bukan hanya menggantikan supir, dokter, musikus, dosen, koki, dst, melainkan juga tentara yang berperang secara robotik dan cerdas . Bukan hanya mesin cerdas tapi juga mesin cerdas “seperti manusia” bahkan melebihi.
“Namun manusia tetap lebih baik daripada mesin,tak terkecuali dengan mesin AI. AI bisa mendiagnosis seperti dokter tapi bisakah dengan empati? Menulis esei, lagu, puisi, buku tapi bagaimana autensitas karyanya? Mengisi kotbah di gereja tapi soal pentahbisan?. Dan seterusnya banyak lusinan pertanyaan bisa kita ajukan. Yang sangat mengejutkan ada software yang bisa menderita, lapar, menangis, merasa sakit. Kalau ada software semacam itu perlukan adanya hubungan etis, kalau kita tinggal dia merasa kesepian, lapar, menangis, bisa menuntut dan seterusnya,” ujarnya.
Prof Franky melanjutkan, era AI menantang pemikiran ulang mengenai tugas filsafat di masa AI. Apakah Filsafat mempunyai masa depan di sana. Menurut dia, filsafat harus melaksanakan tiga tugas. Pertama, tugas menentukan batas-batas yang bisa dilakukan mesim. Jika filsafat dapat melakukan tugas yang tidak dapat dilakukan AI, filsafat dapat membuktikan bahwa yang tersisa adalah hal yang tidak lagi bisa direduksi, dimekanisasi, diinstrumentalisasi, difungsionalisasi pada manusia. Filsafat tetap membela martabat manusia.
“Atau tugas kritis. Jika dapat membongkar legitimasi-legitimasi teknokratis, filsafat dapat kebebasan, kreativitas, dan kekhasan manusia di era AI,” ucapnya.
Atau tugas antisipatoris, sambung Prof Franky, jika dapat mengembangkan intrepretasi baru tentang makna eksistensi di era AI, filsafat akan tetap dapat menghubungkan fenomena baru dengan pertanyaan-pertanyaan klasiknya.
Untuk menunjukkan batas-batas mesin, Prof Franky tertarik pada pendapat Hubert Dreyfus, seorang kritikus AI. Ada empat hal yang tidak bisa diterobos mesin. Yakni meliputi ranah biologis, psikologis, epistomologi, dan ranah ontologis.
“Filsafat memiliki masa depan jika di era AI ia melanjutkan apa yang dilakukan Dreyfus yaitu memenukan yang lebih dan yang tidak tergantikan pada manusia. Bahkan dapay disangsikan bahwa AI dapat berpikir (situasional, historis, intuitif, emppirik, hermenutis, dst), karena yang ia lakukan hanya simulasi berpikir,” jelasnya.
AI, lanjut Prof Franky, tidak memiliki respek terhadap diri sendiri, tidak perasaan yang melukai hatinya, maka tidak perlu juga melukai hati kita. AI tidak dapat merendahkan kita, tapi kita dapat merendahkan diri kita di hadapan AI. “Kita tidak dapat bersahabat dengan AI, karena persahabatan mengandalkan perlakuan timbal balik dan saling percaya sementara AI tidak memiliki kesadaran moral,” imbuhnya.
Selanjutnya pernah juga diteliti apakah AI bisa menyelesaikan dilema psikologis, dan moral yang sangat sulit. Praktik deliberasi tidak dapat dialgoritmakan. AI tidak bisa bersikap dan memilih terhadap diri sendiri. AI tidak memiliki rasio praktis.
Dua tugas lain adalah tugas antisipatori untuk memaknai eksistensi secara baru. Kebijaksanaan terdapat dalam kemampuan untuk mengenali kodrat manusia yang paradoksial, juga kalau kita memproyeksikan kemanusiaan di masa depan, jika AI menjadi keseharian bagaimana sosialitas dan individualitas dipahami di era AI. “Maka harus ada dan ini tugas kita untuk membangun filsafat sosio digital. Apakah kekhasan kesadaran jika mesin dapat belajar hal-hal baru secara kreatif? Philosophy of digital mind. Bagaimana ini?, Perlukah kesetaraan dengan AI, jika AI bisa berpikir seperti kita, digital ethics, dan masih banyak lagi,” katanya.
Prof Fanky menggarisbawahi bahwa mesin cerdas bukan mahluk moral, bukan mahluk yang memiliki pengalaman personal, bukan mahluk yang memiliki hati, kalbu, benak, dan bukan mahluk yang mampu bertindak dengan sengaja dari diri sendiri. Mesin cerdas sudah ada dan akan semakin cerdas. Namun tidak akan menjadi bijaksana.
“Ada artificial intelligence tapi tidak ada artificial wisdom karena wisdom hanya mungkin ada pada mahluk sadar diri yang dapat melampaui dirinya. Transendensi, itulah yang tidak dapat dilakukan mesin secerdas apapun. Transendensi sekaligus wisdom itu adalah memperlakukan alat sebagai alat agar tidak diperalat oleh alat,” jelasnya.
Konstruksi dan validasi pengetahuan AI
Dr Frederikus Fios SFil MTh –Universitas Bina Nusantara Jakarta dalam pemaparannya secara daring mengatakan bahwa persinggungan antara filsafat dan AI terutama dalam perspektif epistemologi, AI berfungsi untuk bernalar dan bereaksi dengan cara yang sama seperti halnya manusia.
Menurut dia, masalah kepercayaan terhadap sistem AI menjadi semakin penting karena bidang AI terus mengalami kemajuan. “Di sini penting kita memvalidasi dan memverifikasi pengetahuan yang dihasilkan oleh sistem AI untuk menjamin bahwa informasi yang dihasilkan oleh system AI ini benar dan dapat dipercaya,” katanya.
Dr Fios menjelaskan beberapa cara memvalidasi pengetahuan AI. Pertama dengan validasi statistik atau menggunakan metodologi statistik. Kedua, validasi oleh para ahli. Ketiga, validasi oleh manusia. Ia menyebut manusia sebagai subjek menilai akurasi pengetahuan yang dihasilkan AI. Dia menjelaskan, terdapat implikasi etis berupa deskripsi dalam Al, terutama dalam proses pengambilan keputusan di mana transparansi dan akuntabilitas sangat penting.
Penjelasan yang minim dan terbatas mengakibatkan keputusan yang bias, berkurangnya kepercayaan terhadap sistem Al, dan potensi bahaya yang luas bagi individu dan masyarakat. Misalnya, dalam kasus penyebaran hoax dalam deep fake. Kendala-kendala etis dapat diatasi dengan menggunakan perspektif filosofis tentang validasi pengetahuan disediakan oleh AI. “Untuk menentukan apakah pengetahuan Al dapat diandalkan, kita dapat menggunakan teori epistemologi seperti fondasionalisme, koherensi, dan pragmatisme,” kata dia.
Jika teori-teori ini diterapkan pada proses validasi informasi AI, maka dimungkinkan untuk meningkatkan kemungkinan pengetahuan yang dihasilkan oleh sistem Al secara akurat dan dapat dipercaya. “Pengembangan sistem Al yang telah diverifikasi diperlukan jika seseorang ingin mencapai hasil yang akurat dan dapat diandalkan dari Al,” ujarnya.
Untuk memastikan bahwa sistem Al dapat dipercaya, pendekatan verifikasi dan validasi sistem Al yang didasarkan pada metode formal dapat digunakan. Keakuratan sistem Al dapat diperiksa dengan menggunakan pendekatan-pendekatan ini, yang memerlukan penerapan prosedur matematis dan logis.
Di bidang pendidikan, kecerdasan buatan dapat digunakan untuk memfasilitasi pembelajaran dan memberi siswa lebih banyak kebebasan. Al juga dapat digunakan untuk meningkatkan pengambilan keputusan di berbagai disiplin ilmu, seperti kedokteran, pemasaran, dan media sosial. Namun, pemanfaatan Al dalam pengambilan keputusan menimbulkan kesulitan etis, seperti pertanyaan tentang bias, transparansi, dan tanggung jawab.
Di dunia yang didominasi Al saat ini, Dr Fios menilai masa depan epistemologi masih menjadi tanda tanya. Munculnya kecerdasan buatan yang dapat menghasilkan pengetahuan sekaligus menjadi tantangan bagi teknik penerapan validasi pengetahuan yang sudah mapan memiliki konsekuensi besar jelas, jaringan syaraf tiruan menghadirkan masalah epistemologi yang signifikan.
Terdapat ketidakjelasan dalam klasifikasi sistem Al, yang dapat mengakibatkan bahaya dan meninggalkan standar etika dan kerangka hukum yang tidak sepenuhnya terbentuk untuk mengisi lubang tersebut. “Contoh kasus kekerasan seksual secara virtual dalam sosok avatar di Inggris dan USA,” sebut dia.
Ia menekankan, untuk mendidik siswa secara memadai di masa depan, diperlukan insersi kecerdasan buatan (AI) ke dalam kurikulum, yang berfungsi sebagai benang penghubung antara berbagai topik.
Tidaklah mungkin untuk melebih-lebihkan pentingnya pendidikan interdisipliner dan penggabungan etika ke dalam pendidikan kecerdasan buatan di perguruan tinggi.
Dengan teknologi digital, implikasi Al terhadap pengetahuan dan kebenaran sangatlah besar Munculnya sistem kecerdasan buatan yang dapat menghasilkan pengetahuan dan menjadi ancaman bagi teknik akuisisi dan validasi pengetahuan yang sudah mapan, mendefinisikan ulang sifat dasar pengetahuan dan kebenaran.
Penggunaan kecerdasan buatan akan berdampak besar pada pendidikan, pengambilan keputusan, dan masyarakat secara umum, tetapi pertimbangan etika harus diprioritaskan terlebih dahulu.
Di era kecerdasan buatan, masa depan epistemologi masih belum jelas. Namun demikian, pendidikan multidisiplin dan insersi etika ke dalam pendidikan Al diperlukan untuk mempersiapkan generasi muda pembelajar secara memadai untuk masa depan lebih baik.
Dr Fios dalam kesempatan ini juga menyampaikan sejumlah catatan kritis. Menurut dia, AI berpotensi memproduksi kualitas kebenaran yang probabilistik. Di samping itu, pengetahuan yang dihasilkan oleh sistem AI tidak bersifat mutlak, tetapi berdasarkan teori kemungkinan saja dari suatu kejadian/peristiwa yang diprediksi secara mekanistik. “AI mengabaikan dimensi pengalaman dan observasi dan tidak ada intuisi dan kreativitas humanis,” ujar dia.
Pengetahuan AI berciri teknis-mekanistik tanpa proses refleksi dan pemahaman manusiawi, maupun Minimnya deskripsi Al mengakibatkan proses validasi/verifikasi pengetahuan sulit dilakukan. Ada juga kekhawatiran tentang keandalan pengetahuan yang dihasilkan oleh Al. Ia menyebut Al bisa menyebabkan kemalasan berpikir dan robot Al mengambil alih pekerjaan manusia sebagai subjek berpikir.
Peran Strategis Filsafat
Dalam konsekuensi itu, masih kata Dr Fios, filsafat dibutuhkan untuk pemaknaan nilai hidup, cara berada pertimbangan etis bagi manusia secara pribadi den sosial. Kehadiran filsafat dibutuhkan sebagai metode kritis untuk memvalidasi pengetahuan yang dihasilkan oleh Al dan memperkuat posisi manusia dalam debat kesadaran masin Aldi mase masa yang akan datang.
Filsafat berfungsi dalam dialog antara pendekatan filsafat konvensional dengan filosofi pengembangan Al masa kini perlu diberi ruang yang adaquet. “Bagian itu, filsafat dapat berkolaborasi dengan ilmu-ilmu lain dalam pengembangan,” kata dia.
Dr Fios menambahkan, dialektika Hegel tentang sintesis antara Filsafat dan Al bisa mengukuhkan eksistensi filsafat untuk terus bertumbuh dinamis relevan dan berkembang mengkawal pengembangan Al yang berperspektif filosofis.
Dia mengatakan, kemunculan Al dan pembelajaran mesin (ML) membawa konsekuensi pada beberapa uraian seperti pendidikan, pengambilan keputusan, dalam konteks masyarakat yang lebih luas.
Selain itu penelitian Al juga mengevaluasi konsekuensi dari pengetahuan yang dihasilkan AI terhadap pendidikan, pengambilan keputusan, dan konteks sosial yang lebih luas. Lebih jauh lagi, penelitian ini memproyeksikan kemajuan yang di masa depan dan potensi perubahan dalam diskursus filosofis
Sistem kecerdasan buatan (AI) yang menghasilkan pengetahuan dan terhadap akuisisi dan otentikasi pengetahuan membawa konsekuensi yang dapat membawa konsekuensi dari AI terhadap pendidikan, proses pengambilan keputusan yang lebih besar. Namun penting diperhatikan pertimbangan etika yang terkait dengan penggunaan AI era kecerdasan buatan tidak dapat dijamin.
Diperlukan penelitian dan eksplorasi tambahan diberbagai bidang seperti teknik sipil, kedokteran, dan teknologi maupun kebutuhan untuk penelitian tambahan untuk mengeksplorasi potensi penggunaan AI.
Artificial Intellegence antara yang Terbatas dan Tidak Terbatas
Sementara itu, narasumber yang hadir langsung RD Leonardus Mali LPh mengawali pemaparannya dengan melontarkan dua pertanyaan. Bagaimana manusia entah secara pribadi /kolektif sebagai masyarakat melampui ketegangan antara yang terbatas dan yang tidak terbatas. Lalu bagaimana dampak kehadiran mesin-mesin AI bagi pencarian ini?
Menurut dia, AI muncul hasil perjalanan panjang peradaban manusia mengatasi berbagai persoalan yang muncul karena keterbatasannya. Tetapi di depannya ternyata ada jawaban-jawaban yang tidak terbatas.
“Kalau kita lihat dalam AI kelamahan atau keterbatasan manusia itu ternyata kekuatan yang luar biasa. Karena keterbatasan itulah yang dimanipulasi tapi dimanfaatkan dengan baik oleh mesin-mesin ini. Mesin-mesin ini justru hidup dari keterbatasan manusia,” katanya.
Filsafat eksistensial membedakan tiga hal. Apatitus yang terarah pada objek yang nyata, dan terkait pada fungsi-fungsi indrawi. Kedua, voluntas atau kehendak pada manusia yang mengarahkan manusia pada segala yang dipandang baik. Dan, desiderium atau kerinduan yang mengarahkan manusia pada yang tidak terhingga atau tidak terbatas. “Ketiganya ini melekat pada manusia. Fungsi tubuh kita menunjukkan secara sempurna bahwa manusia itu terbatas tetapi sekaligus menunjukkan pada diri sendiri bahwa manusia itu punya kerinduan yang tidak terbatas,” jelasnya.
Hal yang sama berlaku juga pada teknologi. Romo Leo –demikian ia akrab disapa—memaparkan bahwa teknologi awal digagas sebagai cara uintuk memudahkan manusia dalam mewujudkan dirinya dalam dunia. Terimplisit di dalamnya antropomorfisme yang terwujud dalam relasi dialogal dengan dunia. Manusia diharapkan berkembang dari homo stultus menuju homo sapiens. Akan tetapi jalan homo sapiens ini ternayata harus melewati banyak jedah, kemunduran bahkan kejatuhan seperti tampak dalam berbagai tragedy kemanusiaan seperti berbagai perang, krisis ekologis yang sedang kita alami saat ini.
Lebih lanjut dikemukakan Romo Leo, bagaimana mesin-mesin dengan algoritma AI berusaha untuk menjawab kerinduan manusia, keinginan manusia yang tidak terbatas.Lahir dari keinginan itu, dan terus menerus mengeksploitasi memanfaatkan ruang kerinduan manusia yang tidak ada batasnya itu.
Jadi seluruh proses pengetahuan itu, urai Romo Leo, bermula dari curiousitas untuk mencari kebenaran. Tapi manusia justru turun kelas pada masa AI ini menjadi sekadar homo digitalis, yang dengan jari-jarinya berhubungan dengan dunia virtual.
“Sehingga saat ini dikenal kaum milenial yang disebut generasi strawberry atau generasi kaum rebahan. Karena sambil tidur-tiduran mencari informasi, menginginkan sesuatu, seperti itu. Strawberry kelihatan menarik tapi lemah gampang busuk, gampang rusak,” jelasnya.
Manusia, terutama generasi Z, tergiring untuk menjadi sekadar penerima jawaban-jawaban yang sudah disiapkan oleh penyedia AI, bahkan kerap jawaban-jawaban itu tiba sebelum pertanyaan-pertanyaan diajukan. AI menjadi pengisi ruang kosong human desire yang tidak terbatas sebagai dasar antropologi metafisik bagi autotransendensi manusia. Dengan begitu pula human desire menjadi “harta karun” yang dikejar oleh para pembuat mesi AI yang merancang kebutuhan membentuk perilaku dan kebiasan dan mengarahkan tindakan para pengguna AI. Akibatnya keterarahan manusia pada yang tidak terbatas beralih dan terbenam ke dalam ilusi sebuah mesin AI.
Lebih dalam Romo Leo membeberkan bahwa ada tiga tawaran AI. Pertama, AI membuka kesadaran kita bahwa manusia itu terbatas. Tapi justru dalam diri manusia yang ringkih dan terbatas itu ada kerinduan yang tidak terbatas. Sehingga keterbatasan manusia semestinya diterima dan dilihat secara prospektif sebagai satu kekuatan.”Ini agak problematis bahkan kontradiktif, karena kita selalu melihat kekurangan itu sebagai sesuatu yang dihindari,” katanya.
“Kalau kita sempurna maka tentu tidak ada kerinduan. Hati manusia itu merindukan apa yang dirasakan sebagai kekurangan. Pengakuan akan batas adalah syarat antropologis metafisis bagi autotransendensi menuju yang tidak terbatas,” katanya.
Yang ketiga, lanjut Romo Leo, human desire serta keterarahan hati manusia pada sesuatu yang tidak terbatas yang lahir dari keterbatasan manusia bukan hanya sekadar ekspresi subjektif belaka. Sehingga peencarian jawaban atasnya tidak hanya sekadar sebuah gerak pulang ke dalam diri sendiri. Tapi ketrecerahan hati ini mengarah pada sebuah entitas yang nyata.
Terakhir, Romo Leo mengatakan bahwa kehadiran mesin-mesin AI sebagai anak kandung modernitas dalam masyarakat teknologis menunjukkan kecerdasan manusia dalam membuatnya. Tapi di sisi yang lain ia juga menegaskan bahwa keterbatasan manusia adalah “harta karun” bagi mesin-mesin AI yang telah memanfaatkan secara kreatif paradox manusi ini: “yang terbatas” tetapi selalu terarah pada “yang tidak terbatas”.
Kerinduan hati manusia akan yang tidak terbatas ini hanya dapat dijawab oleh yang tidak terbatas itu sendiri. Inilah pertanyaan yang paling ultimo yang sebenarnya paling dicari manusia dan inilah pertanyaan yang tetap penting dan harus dijawab oleh filsafat. (*)
Foto-foto: tangkapan layar zoom Seminar Nasional Artificial Intellegence & Masa Depan Filsafat di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Sabtu (18/5/2024).