Jakarta, benang.id – Gagasan pembentukan Mahkamah Pancasila (MP) untuk menjaga etika dan perilaku warga negara khususnya para pejabat, dianggap absurd. Jika dilihat dari pandangan filosofis bernegara dan hierarki norma di Indonesia.
“Lima dasar dalam landasan filosofis bernegara itu adalah rumusan filosofis, bukan normatif. Sebagaimana rumusan norma peraturan perundang-undangan dan code of conduct,” kata Guru Besar Hukum Tata Negara UI, Yusril Ihza Mahendra, dalam keterangan tulis yang diterima Rabu (19/6/2024).
Pancasila itu adalah landasan filosofis (filosofische grondslaag) bernegara kita yang dirumuskan oleh the founding fathers bangsa kita dengan susah payah di tahun 1945 yang ditempatkan di dalam Pembukaan UUD 1945.
Sebagai landasan filosofis, kedudukannya lebih tinggi dari norma-norma dasar penyelenggaraan negara sebagaimana tertuang di dalam teks pasal-pasal UUD NRI 1945. Norma di dalam pasal UUD NRI 1945 itu seharusnya dirumuskan berdasarkan landasan filosofis bernegara di dalam lima dasar Pancasila itu.
“Begitu pula norma undang-undang, selain merupakan penjabaran lebih lanjut dari norma konstitusi, norma itu juga merupakan transformasi dari landasan filosofis Pancasila itu dalam arti praktis penyelenggaraan negara,” jelas Yusril.
Selain itu. Kalau etika para pejabat atau penyelenggara negara, hal tersebut tidaklah berkaitan secara langsung dengan landasan filosofis bernegara dalam lima dasar Pancasila itu, melainkan suatu code of cunduct yang berisi kewajiban dan larangan yang berlaku bagi penyelenggara negara. Dari mana sumber perintah untuk menyusun code of conduct itu? Dari norma undang-undang.
“Contohnya, UU KPK memerintahkan kepada Dewan Pengawas KPK untuk merumuskan kode etik KPK, UU ASN memerintahkan untuk merumuskan Kode Etik ASN. Begitu juga UU Advokat memerintahkan agar organisasi advokat merumuskan Kode Etik Advokat. Demikian juga profesi-profesi yang lain seperti Notaris, Dokter, Akuntan dan seterusnya,” tegas Yusril.
“Karena kode etik atau code of conduct itu diperintahkan perumusannya oleh undang-undang, begitu pula untuk menegakkannya perlu dibentuk dewan kehormatan dan sejenisnya oleh undang-undang, maka kedudukan norma kode etik atau code of conduct itu tidak mungkin lebih tinggi dari undang-undang,” kata Yusril.
Jadi, Mahkamah Kode Etik atau Dewan Kehormatan kedudukannya tidak akan lebih tinggi dari badan peradilan yang menjalankan fungsi menegakkan hukum dan undang-undang.
Berdasarkan uraian di atas, gagasan untuk membentuk Mahkamah Pancasila untuk memeriksa pelanggaran kode etik atau code of conduct penyelenggara negara adalah sebuah gagasan yang absurd.
Lima dasar yang dirumuskan dalam landasan filosofis bernegara itu adalah rumusan filosofis, bukan rumusan normatif sebagaimana rumusan norma peraturan perundang-undangan dan code of conduct.
“Karena itu, gagasan membentuk Mahkamah Pancasila adalah gagasan yang tidak pada tempatnya jika dilihat dari pandangan filosofis bernegara kita, serta hierarki norma yang berlaku di negara kita ini,” tutup Yusril. (*)