Jakarta, benang.id – Negara-negara berkembang menjadi korban dari GDP Oriented, yang selalu menghitung perekonomian dan menjadikannya tujuannya. Demikian disampaikan Prof Didin S Damanhuri dalam peluncuran dan diskusi buku karyanya yang bertajuk “Ekonomi Politik Indonesia dan Antar Bangsa” yang diselenggarakan di Natan Book Store & Cafe, Kebayoran Baru, Jakarta, Senin (2/7/2024).
Menurut Guru Besar Ekonomi Politik Universitas Paramadina ini, Soeharto merupakan seorang pemimpin negara yang GDP Oriented, di era reformasi ini di mana Sri Mulyani memimpin 4 periode kementerian keuangan lebih sebagai orang yang neoliberalisme dan mengatakan “tidak mungkin sebuah negara maju dengan pertanian dan koperasi.”
“GDP Oriented mengeksploitasi pedesaan dan tidak kembali lagi ke desa. Dengan ini, akan terjadi middle income trap dan tidak akan terjadi Indonesia emas 2045 yang dicanangkan,” paparnya.
Hadir sebagai pembahas Wijayanto Samirin menyatakan bahwa GDP Oriented sering digunakan karena sangat konkret dan gampang digunakan, diukur dan dimanipulasi.
“Contohnya pulau di Maluku, di mana GDP pulau tersebut dianggap tinggi karena investasi masuk, kapal yang parkir dan lain sebagainya. Tetapi, GDP per kapita ini misleading di mana tingkat kemakmuran masyarakat di pulau tersebut tidak membaik sedangkan angka GDP-nya naik,” kata Wijayanto.
Menurut Ekonom Universitas Paramadina ini jika hanya berfokus pada GDP maka tidak akan fokus pada sumber pendapatannya, sehingga sektor yang di-inject uang menjadi naik GDP-nya.
“Rupiah melemah dibanding mata uang negara lain, karena terlalu fokus pada GDP. Apa solusinya? Harus ada sense of crisis, IMF dan World Bank terlalu diplomatis tetapi memaksa dan menekan habis-habisan, ideologinya harus jelas,” tuturnya.
Fachry Ali, editor dan pemberi pengantar buku ini menyatakan keterkejutannya mengenai konsep “degrowth” sebuah kritik atas GDP Oriented. Konsep ini bukan sebuah teori, melainkan gerakan sosial yang dimulai di negara Eropa bukan negara berkembang.
“Ekonomi itu kian lama mengklaim dirinya sebagai sains. Kemudian Didin tidak bangga mengklaim ‘economy is a queen of sciences’. Dalam konteks ini lah asumsi-asumsi dasar harus diterapkan di berbagai tempat. Tentu bisa di berbagai negara termasuk negara baru berkembang dan baru merdeka,” ujar Fachry.
Itulah sebabnya dalam perspektifnya sebagai ekonom menyampaikan anjuran terhadap pertanian, UMKM, masyarakat dan lembaga masyarakat. Dengan ini menganut paham holistic economic, dan melihat bahwa ekonomi itu adalah bagian integral ‘as a whole’ harus mempunyai pemihakan-pemihakan.
“Kalau kemudian pandangan negara dipusatkan pada pembangunan ekonomi pedesaan maka implikasinya akan banyak yang dapat berpartisipasi di dalamnya, kemudian akan terjadi ‘well of income distribute’ yang lebih adil. Kemudian jika ekonomi dikembangkan dalam sektor finance maka akan banyak yang tertinggal di belakang,”pungkas Fachry. (*)