Jakarta, benang.id – Para tokoh perwakilan agama-agama dan aliran kepercayaan di Indonesia mendeklarasikan komitmen bersama untuk menjaga “Bumi sebagai Rumah Kita Bersama” di tengah sejumlah persoalan krisis ekologi saat ini, yang salah satunya dipicu eksploitasi industri ekstraktif dan berdampak pada peminggiran dan pengabaian hak masyarakat lokal.
Para tokoh – yang mewakili Katolik, Protestan, Islam, Hindu, Buddha, Khonghucu, dan aliran kepercayaan Baha’i – mendeklarasikan komitmen itu dalam sebuah dialog lintas iman bertema “Kemanusiaan dan Ekologi” di Pura Aditya Rawamangan, Jakarta, Rabu (14/8/2024).
Diinsiasi oleh lembaga Gereja Katolik, Ordo Fratrum Minorum atau yang dikenal dengan Fransiskan, dialog itu juga digelar dalam rangka menyambut kunjungan Pemimpin Umum atau Minister General mereka Pastor Massimo Fusarelli OFM.
Dialog ini, menurut para Fransiskan, juga bagian dari upaya persiapan kunjungan Paus Fransiskus bulan depan, dengan mendalami pesan pentingnya, terutama dalam Laudato Si dan Fratelli tutti – dokumen Vatikan yang khusus bicara soal krisis ekologi dan dialog antaragama.
Dalam deklarasi bersama usai dialog, para tokoh menyatakan komitmen terhadap sejumlah tujuh hal, termasuk “merawat bumi sebagai rumah bersama dengan mewujudkan gaya hidup hemat dan menghormati kesucian atau kesakralan alam.”
Mereka juga menyatakan komitmen “menciptakan lingkungan hidup yang bersih, sehat, dan berkelanjutan” dan “memastikan hak-hak masyarakat adat dan generasi mendatang terpenuhi, kearifan lokal terpelihara, dan kesejahteraan bumi dimungkinkan.”
Para tokoh juga menegaskan komitmen “mengejawantahkan cara hidup yang didasarkan pada semangat persaudaraan di tengah keberagaman, menghormati dan menjunjung tinggi martabat pribadi manusia, terutama mereka yang dikecualikan atau disingkirkan,” dan “menegakkan keadilan ketika terjadi diskriminasi, korupsi, dan eksploitasi” serta “mewartakan secara terus-menerus nilai-nilai perdamaian di tengah masyarakat luas.”
Selain Pastor Massimo Fusarelli OFM, para tokoh yang mendeklarasikan komitmen ini antara lain Matias Filemon Hadiputro– pendeta dari Gereja Kristen Jawa, Nissa Wargadipura– perempuan Muslim dan pimpinan Pesantren Ekologi Ath-Thaariq, Budhy Munawar Rachman– tokoh Muslim moderat, Atthadhiro Thera dari organisasi agama Budha Sangha Theravāda Indonesia, JM I Wayan Gelgel– perwakilan organsiasi Hindu Pinandita Sanggraha Nusantara, Budi S Tanuwibowo– Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, dan Nasrin Astani– aktivis dialog lintas agama aliran kepercayaan Baha’i.
Komitmen itu dirumuskan setelah mendengar paparan dari Dini Pramita, aktivis Jaringan Advokasi Tambang yang memberi gambaran tentang persoalan lingkungan di Indonesia saat ini, terutama dalam kaitan dengan industri eksraktif dan Ahmad Maulana, aktivis sosial yang menangani komunitas marginal di bantaran Sungai Ciliwung Jakarta tentang krisis ekologi di ibukota.
Dini memberi catatan soal pola-pola pemiskinan lewat implementasi proyek-proyek ekstraktif di Indonesia, yang memicu perampasan lahan warga setempat sehingga “membuat masyarakat jatuh miskin dan dipaksa hidup berdampingan dengan bencana,” seperti yang terjadi di wilayah Kalimantan, Maluku dan wilayah lainnya.
Ironisnya, kata dia, hal seperti itu dilakukan “atas nama pembangunan berkelanjutan, transisi energi, transisi bersih, dan transisi berkeadilan.” Menurut dia, sematan embel-embel hijau dan bersih “hanya upaya untuk melanggengkan sistem ekonomi kapitalistik yang lagi-lagi bertumpu pada ekstrativisme.”
“Transisi semu ini hanya mengganti penggunaan energi fosil ke energi fosil terbarukan, dengan daya rusak yang sama,” katanya.
Sementara Ahmad Maulana berkisah tentang lingkungan Jakarta yang semakin hari tidak ramah lagi. “Tempat bermain dan ruang terbuka hijau menjadi sebuah hal yang mahal untuk anak-anak kita di Jakarta,” katanya.
Di sisi lain, sungai yang tercemar dan kualitas udara yang semakin buruk menjadi hal yang biasa dan bukan sebagai hal yang memprihatinkan. “Ukuran ideal sebuah kota Jakarta adalah luas teritorial itu sebanyak 30% menjadi ruang terbuka hijau, tetapi kenyataannya saat ini terus menurun sekitar 5% dari luas Jakarta,” katanya.
Tokoh Muslim Budhy Munawar Rahman memberi catatan tentang pentingnya peran agama-agama, yang pada prinsipnya memiliki ajaran untuk mendorong konservasi lingkungan dan aksi iklim.
Ia mengatakan, dalam Islam misalnya, ada konsep khalifah bahwa manusia adalah penjaga bumi dan memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan merawat ciptaan Tuhan, yang sejalan dengan ensiklik Laudato Si dari Paus Fransiskus yang menekankan tanggung jawab kolektif untuk merawat bumi sebagai rumah bersama.
Ia menyatakan, kerja sama lintas agama menjadi penting karena Indonesia sedang bergulat dengan masalah lingkungan yang parah seperti deforestasi, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
“Sekarang adalah waktunya yang tepat, di mana agama-agama harus menyadari satu kriris yang sudah dan akan lebih besar lagi kita alami, yaitu krisis lingkungan, krisis iklim,” katanya usai dialog.
“Kita di Indonesia belum terlalu menganggap ini masalah, belum banyak orang yang membicarakan krisis iklim di rumah ibadah dan perhatian dari tokoh agama juga sangat sedikit, sehingga masyarakat tidak anggap ini sebagai masalah serius,” katanya.
Ia menyatakan, poin-poin dalam komitmen itu masih perlu dikonkretkan dengan mulai dari yang sederhana di kalangan umat masing-masing agama, seperti menanam pohon, olah sampah, sampai pada yang lebih luas soal mempertanyakan komitmen pemerintah pada isu lingkungan.
Romo Yohanes Kristoforus Tara, dari divisi advokasi Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation [JPIC] Fransiskan mengatakan bahwa mereka menerapkan sejumlah komitmen itu dalam pelbagai kebijakan lembaga.
“Kebetulan di Fransiskan, JPIC yang menangani bidang dialog dan ekologi dan sejumlah poin komitmen itu telah kami jalankan selama ini dalam upaya advokasi kami terhadap masalah pertambangan, geothermal, dan isu lainnya,” katanya.
“Dengan komitmen bersama ini, kami memperkuat kembali energi untuk berjuang dan kini bersama lembaga-lembaga agama lainnya,” katanya.
Ia menyatakan, dialog ini juga merupakan bagian dari upaya persiapan menyambut kunjungan Paus Fransiskus ke Jakarta bulan depan.
“Sebagaimana yang ditekankan Konferensi Waligereja Indonesia, kunjungan Paus sama pentingnya dengan upaya mendalami dan mencari bentuk-bentuk konkret implementasi pesan-pesannya dalam memperkuat persaudaraan semesta,” katanya.
“Dalam konteks dialog ini, kami juga ingin mengajak lebih banyak orang memahami masalah ekologi sebagai masalah kemanusiaan, sebagaimana yang selama ini ditekankan oleh Gereja, terutama dalam dokumen Laudato Si,” katanya. (*)