Dengfeng, benang.id – Anda tentu tidak asing dengan Biara atau Kuil Shaolin dan Kungfu. Kita mengenalnya lewat berbagai film silat China yang diputar di bioskop. Saya tahu kungfu pertama kali saat masih duduk di bangku SMP tahun 1980-an silam, dengan bintang tersohor waktu itu Bruce Lee, Yuan Biao, Gordon Liu, Lo Mang, Sammo Hung, Jacky Chan, dan Jet Li. Sementara film debut pertama Jet Li bertitel “The Shaolin Temple” yang dirilis tahun 1982 adalah titik awal saya mengenal Kuil Shaolin.
Meski film kisah Kuil Shaolin sudah ada sejak tahun 1972, sukses film “The Shaolin Temple” yang mengantarkan Jet Li menjadi aktor laga terkenal itu seakan menjadi tonggak ketenaran Kuil Shaolin di tahun-tahun berikutnya. Belasan film berlatar Kuil Shaolin terus diproduksi. “The Shaolin Temple” dibuat sekuelnya hingga tiga. Yakni, “Shaolin Temple 2: Kids From Shaolin” pada tahun 1984, dan “Martial Arts of Shaolin” pada 1986. Bahkan dibuat ulang pada tahun 2011, dengan judul “Shaolin” dengan bintang Andy Lau, dan penampilan khusus Jacky Chan.
Nah, setelah puluhan tahun hanya bisa melihat di film, akhirnya bersama AM Putut Prabantoro (Taprof Bidang Ideologi Lemhannas RI), Herman Handoko (CEO Pinjam Modal), Erben Norman (COO Bersama Untuk Nusantara), Ichwan Peryana (Direktur Pinjam Modal), dan Yohanes Galuh Bimantara (Kompas), saya bisa melihat langsung secara nyata Kuil Shaolin, dan kedahsyatan kungfu.
Kesempatan itu datang saat kami mengikuti konferensi Pemerintah Daerah/Kota se- Asia Pasifik atau The Second Session of The 2024 UCLG ASPAC Executive Bureau and The 2024 Council Meetings, 21-25 Oktober lalu di Zhengzhou. Henan, China. Difasilitasi tuan rumah/panitia, kami dan peserta konferensi lainnya dapat menapak tilas jejak para biksu di Kuil Shaolin di Gunung Songshan, Dengfeng, dan dibuat terpana menonton kehebatan master seni bela diri asli Tiongkok itu di sekolah kungfu Yanlu Martial Arts School.
Makan siang 20 menu otentik
Dengan mengendarai bus dari Hotel Jiajin di Zhengzhou, lazimnya perjalanan menuju Kuil Shaolin cuma memakan waktu sekitar 1,5 jam. Namun, karena ada kecelakaan di jalan tol, yang berpotensi membuat perjalanan ke Gunung Songshan molor satu jam, Ricky dan Amanda –liaison officer yang mendampingi rombongan kami—memutuskan untuk memajukan agenda makan siang.
“Mohon maaf karena ada kecelakaan di depan. Sebaiknya kita keluar tol untuk menikmati makan siang, agar tidak ada waktu terbuang,” ujar Amanda. “Setelah makan siang kita bisa lanjut ke Shaolin Temple,” imbuh Ricky.
Ternyata keputusan Amanda-Ricky tepat, meski jam belum menunjukkan waktu makan siang, namun rasa lapar sudah datang menyergap. Maklum, suhu di Zhengzhou selalu under 10 derajat Celcius. Apalagi di Gunung Songshan pasti bakal lebih rendah.
Acara makan siang di restoran ini ternyata memberikan pengalaman luar biasa. Kami mencicipi berbagai menu masakan otentik Tiongkok sebanyak 20 macam di meja “Lazy Susan” atau meja bundar dengan nampan di atasnya yang bisa diputar. Uniknya, untuk minuman dan menu spesial disajikan dengan diawali doa dan diiringi senandung sebelum kemudian diberikan kepada tamu tertua untuk dicicipi pertama kali.
Hutan bambu di kaki gunung Shao
Dikutip dari bamboocyberschool.com, nama Shaolin berasal dari lokasi kuil yang terletak di pegunungan Shao dan memiliki hutan bambu (lin dalam bahasa Mandarin) di kaki gunungnya. Sejarah Kuil Shaolin dapat dilacak hingga ke Dinasti Wei Utara (386 – 534 M), dan memainkan peran penting dalam perkembangan agama Buddha di Tiongkok. Kuil atau Biara ini merupakan tempat lahirnya Budhhisme Zen Tiongkok, juga seni bela diri Shaolin.
Sejarah mencatat, selama dinasti Yuan dan Ming, Biara Shaolin menampung sekitar 1.000 biksu dan menjadi biara Buddha besar yang terkenal di dalam maupun luar negeri. Biara Shaolin memiliki banyak biksu yang menguasai sejumlah seni bela diri sebelum masuk biara. Mereka yang paham bela diri mengajar dan saling membantu untuk meningkatkan keterampilan di antara mereka. Mereka juga menyerap ilmu para pendahulu dan secara bertahap mengembangkan seni bela diri mereka di Biara Shaolin ini.
Kini Biara Shaolin di Gunung Songshan, Dengfeng menjadi salah satu kuil kuno yang terkenal bagi wisatawan. Dari depan wisatawan akan memasuki gerbang raksasa yang bertuliskan Kuil Shaolin. Untuk memasuki ke lingkungan biara yang berjarak kurang lebih 1 km, wisatawan diantar dengan feeder bus terbuka.
Begitu masuk ke lingkungan kuil, memori kita langsung memutar kembali apa yang telah kita lihat di film “The Shaolin Temple”. Di sini kita dapat melihat para biksu Shaolin sedang melakukan aktivitas keseharian mereka seperti membersihkan kuil, bersembahyang, menjaga pintu, sampai –ini yang tidak ada di film— menjual cenderamata untuk pengunjung. Tidak sedikit juga dari wisatawan yang berdoa di Kuil Shaolin.
Di akhir tur, wisatawan dapat berhenti di sejumlah kedai souvenir atau makanan minuman ringan khas lokal. Sebelum menuju tempat parkir bus feeder, kita bisa foto di depan hutan pagoda terlebih dahulu. Di sini, kembali memori kita dibawa ke adegan saat Jet Li tergopoh-gopoh berlari meliuk-liuk di antara pagoda memikul mayat anjing yang tidak sengaja “dibunuhnya”.
Hutan pagoda yang memiliki beragam ukuran ini merupakan tempat pemakaman para master Shaolin yang dihormati dari masa lampau. Ukuran pagoda menentukan kedudukan seorang guru besar Shaolin pada masanya.
Yanlu Martial Arts School
Setelah mengeksplorasi sebagian besar kompleks kuil, rombongan kami kemudian berpindah keYanlu Martial Arts atau Kungfu School tak jauh dari kuil. Setelah melihat pelajar berbagai usia tengah berlatih kungfu tingkat dasar di lapangan di bawah bimbingan guru, kami kemudian diajak ke sebuah aula di lantai 2 salah satu gedung sekolah.
Belum habis mereka-reka dan membayangkan apa yang bakal ditonton, rombongan dibuat surprise. Begitu lift terbuka, tepuk tangan bergemuruh menyambut kami. Para pendekar kungfu yang akan menampilkan atraksi tampak berjajar rapi sambil tak henti-henti bertepuk tangan hingga kami semua duduk di tempat yang telah disediakan. Begitu semuanya duduk mereka memberikan salam hormat dan langsung beraksi menyuduhkan semua atraksi kungfu.
Sesungguhnya, pertunjukan bakal lebih menarik jika dilakukan di luar ruangan apalagi di area Kuil Shaolin. Boleh jadi karena kondisi suhu di kaki Gunung Songshan yang berada di 6 derajat, belum lagi hujan rintik-rintik yang menambah udara makin beku, maka atraksi digelar di dalam aula.
Para pendekar dari remaja hingga dewasa ada juga yang masih kecil memperlihatkan kemampuan kungfu, hasil dari latihan keras penuh disiplin, memukau kami yang menyaksikan. Karena selain mempertunjukkan kelincahan gerak, seni bela diri kungfu utamanya dari biksu Shaolin memiliki keunikan.
Sekitar 50-an pendekar menampilkan berbagai atraksi baik tangan kosong atau mengeluarkan berbagai jurus, maupun menggunakan senjata mulai dari toya, pedang, tombak, hingga tali atau rantai berujung pisau, secara berkelanjutan mirip medley di dalam musik.
Mereka juga memeragakan saat melatih kekuatan tangan dengan memukulkan berkali-kali ke bara api, menjepitkannya di antara dua balok kayu besar yang berputar menghimpit, juga mengangkat besi yang besar dengan telapak tangan.
Ada juga atraksi memecah batu dengan tangan, memecahkan kaca dengan melemparkan jarum kecil menembus sejumlah balon, hingga tenaga dalam mengeraskan perut yang mampu tidak terluka sedikitpun meski diletakkan ke ujung sejumlah tombak yang menghujam dari bawah.
Meski menegangkan, berbagai aksi para pendekar Shaolin sekitar hampir satu jam itu terasa cepat karena disajikan tanpa jeda hingga tak ada kesempatan bagi kami untuk memalingkan muka. Bahkan berkedip pun tidak, alih-alih meneguk air minum yang tersedia. Luar biasa. Ciaaattt! (*)
Gora Kunjana dari Gunung Songshan, Dengfeng, China