Jakarta, benang.id – Pada pekan ini para pelaku pasar modal akan fokus pada sentimen positif suku bunga dari domestik dan global setelah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di level 7.324 atau melemah -0,8% dalam sepekan terakhir pada akhir perdagangan, Jumat (13/12/2024). Sentimen pergerakan IHSG pekan lalu yakni aliran dana asing keluar (outflow) yang mencapai Rp1,9 Triliun di pasar reguler. Data ini mencerminkan adanya tekanan jual dari investor asing.
“Kondisi ini juga menunjukkan kewaspadaan pelaku pasar terhadap perkembangan global terutama keputusan suku bunga the Fed dan Bank of Japan di pekan ini,” jelas Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), David Kurniawan.
Ia menilai ada 2 sentimen global yang memengaruhi market pada pekan lalu yakni Inflation Rate US dan Producer Price Index. Dijelaskan David, tingkat inflasi di Amerika Serikat untuk November menunjukkan peningkatan tahunan sebesar 0,1%, sehingga mencapai angka 2,7% jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Kenaikan ini mencerminkan adanya perubahan dalam kondisi ekonomi yang perlu diperhatikan dengan serius. Angka inflasi ini akan menjadi acuan bagi the Fed dalam menentukan kebijakan moneter yang tepat ke depannya.
Selanjutnya terkait sentimen Producer Price Index (PPI), pada November Amerika Serikat melaporkan bahwa Producer Price Index (PPI) mengalami kenaikan yang melebihi ekspektasi. Indeks tersebut naik sebesar 0,4%, yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi konsensus pasar yang hanya sebesar 0,1%. Kenaikan ini menunjukkan adanya tekanan inflasi yang lebih kuat di tingkat produsen daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain itu, hal ini juga mencerminkan adanya peningkatan biaya produksi yang kemungkinan akan berdampak pada harga barang di tingkat konsumen dalam waktu dekat.
Tak hanya data global, David juga melihat 2 sentimen domestik yang memengaruhi market yakni tingkat keyakinan konsumen di Indonesia dan nilai tukar USD. Dijelaskan David, tingkat keyakinan konsumen di Indonesia pada November 2024 menunjukkan peningkatan yang signifikan, dengan angka yang naik ke level 125,9 dibandingkan bulan sebelumnya yang berada pada level 121,1. Kenaikan ini mencerminkan optimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi saat ini maupun prospek ekonomi di masa mendatang. Indeks keyakinan konsumen yang lebih tinggi biasanya mencerminkan kepercayaan masyarakat yang meningkat terhadap stabilitas pendapatan, lapangan kerja, dan kemampuan daya beli. Hal ini juga dapat berdampak positif pada pola konsumsi domestik, yang merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Selanjutnya terkait nilai tukar mata uang Dolar Amerika Serikat (USD) terhadap Rupiah Indonesia (IDR) yang ternyata kembali mengalami pergerakan signifikan dengan menyentuh level Rp16.022. Angka ini menunjukkan depresiasi nilai Rupiah terhadap Dolar AS, yang kemungkinan disebabkan oleh berbagai faktor, baik domestik maupun global.
“Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) diharapkan dapat mengambil langkah-langkah strategis untuk menjaga stabilitas nilai tukar, seperti melalui intervensi pasar atau kebijakan moneter yang lebih ketat, demi memastikan dampak negatif dari pelemahan Rupiah dapat diminimalkan,” jelas David.
Mencermati potensi market pada 16-20 Desember 2024, David mengimbau para trader untuk memerhatikan sejumlah sentimen yang bakal mempengaruhi pasar selama satu pekan kedepan, yakni data export-import Indonesia, suku bunga domestik dan global.
David menyampaikan pada pekan ini, tepatnya 16 Desember 2024 dari domestik akan dirilis data export-import Indonesia. Sebagai gambaran perdagangan Indonesia menyempit menjadi USD 2,47 miliar pada Oktober 2024, turun dari USD 3,47 miliar pada bulan yang sama di tahun sebelumnya dan di bawah estimasi pasar sebesar USD 3,05 miliar. Ini menandai surplus perdagangan terkecil sejak Juni, terutama karena lonjakan impor.
Selanjutnya pada 18 Desember 2024, Bank Indonesia diprediksi akan mempertahankan suku bunga acuannya pada level 6% selama rapat November 2024, sesuai dengan ekspektasi banyak pihak. Keputusan ini bertujuan untuk memperkuat stabilitas Rupiah dalam menanggapi meningkatnya ketidakpastian geopolitik dan ekonomi global, khususnya perkembangan di Amerika Serikat.
“Keputusan ini juga berupaya memastikan inflasi tetap berada dalam kisaran sasaran 2,5±1% untuk tahun 2024 dan 2025, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Diketahui, Rupiah telah terdepresiasi sebesar 0,84% secara bulanan, terutama didorong oleh penguatan Dolar AS secara luas dan pergeseran preferensi investor global terhadap aset AS menyusul hasil pemilu AS. Sementara itu, tingkat inflasi tahunan Indonesia menurun menjadi 1,71% pada Oktober 2024 dari 1,84% pada bulan sebelumnya. Angka ini terendah sejak Oktober 2021 dan tetap berada dalam kisaran sasaran bank sentral.”
Sementara itu dari dari global, perhatian pelaku pasar seluruh dunia pada sepekan ini adalah keputusan The Fed dan Bank of Japan terkait suku bunga. Sebelumnya Bank of Japan (BoJ) dengan suara bulat mempertahankan suku bunga jangka pendek utamanya di sekitar 0,25% selama pertemuannya di bulan Oktober, mempertahankannya pada level tertinggi sejak 2008 dan sesuai dengan estimasi pasar. Dewan Kebijakan tetap berkomitmen untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut, jika data ekonomi dan harga sesuai dengan perkiraan. Dalam prospek triwulanan, BoJ mempertahankan perkiraannya bahwa inflasi inti akan mencapai 2,5% pada tahun fiskal 2024, dengan inflasi diperkirakan berada di sekitar 1,9% untuk tahun fiskal 2025.
Berkaca pada sejumlah sentimen di atas, PT Indo Premier Sekuritas yang menghadirkan Booster Modal hingga 10x dan fitur trading canggih yang dirancang untuk membantu para trader mengoptimalkan potensi profit mereka dan Reksa Dana Saham Power Fund Series yang memberikan akses transparan dan likuiditas yang lebih tinggi bagi investor merekomendasikan:
- Buy MAPA (Current Price: 1.040, Entry: 1.040, Target Price: 1.140, Stop Loss: 985, Risk to Reward Ratio: 1:1,8).
PT Map Aktif Adiperkasa Tbk (MAPA) yang bergerak di sektor retail akan menjadi salah satu emiten favorit akhir tahun, sentimen ini juga didukung dengan data makro ekonomi yaitu IKK yang naik di level 125,9. Saat ini MAPA bergerak di atas rata-rata indikator MA5 & MA20 dan selama MAPA mampu bergerak di atas MA50 maka ada potensi untuk MAPA uji area resist penting di level 1.170.
- Buy TBIG (Current Price: 2.985, Entry: 2.030, Target Price: 2.170, Stop Loss: 1.970, Risk to Reward Ratio: 1:2,3).
PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) memiliki probability kenaikan 60% di bulan Desember dalam 5 tahun terakhir dan dalam jangka pendek ada potensi untuk TBIG breakout dan keluar dari area sideways-nya. Menariknya, indikator MACD mulai terlihat bullish dan histogram bergerak positif. TBIG yang selama ini sering kali menerbitkan obligasi untuk mendapatkan pinjaman, di era suku bunga yang lebih murah memiliki kesempatan untuk mendapatkan pinjaman yang bonafit dengan melihat ruang dan kesempatan sektor tower dan telekomunikasi yang masih luas.
- Buy ISAT (Current Price: 2.630, Entry: 2.630, Target Price: 2.820, Stop Loss: 2.520, Risk to Reward Ratio: 1:1,7).
PT Indosat Tbk (ISAT) saat ini bergerak di atas rata-rata harian MA5 & MA20, terlihat juga ISAT mulai keluar dari area downtrend channelnya dan indikator MACD bergerak di area bullish serta kenaikan kemarin didukung dengan high volume breakout.
- Buy Reksa Dana Saham Premier ETF IDX30 (XIIT).
Stabilitas ekonomi Indonesia ini ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang solid terlihat dari indeks IKK ke level 125 dan didukung peningkatan belanja pemerintah untuk infrastruktur dan membaiknya aliran investasi di akhir tahun ini. IPOT merekomendasikan Reksa Dana Saham Power Fund Series XIIT yang berisikan IDX30 dengan komposisi emiten-emiten seperti ACES BBCA BBRI ADRO yang saat ini memiliki attractive value, bahkan ditambah dengan valuasi IHSG yang sangat atraktif dengan forward P/E: 12x, -1 standar deviasi di bawah average P/E 5Y: 17x menciptakan tailwind bagi pasar saham Indonesia di masa mendatang.
Terlebih, di tengah dinamika suku bunga, emiten sektor perbankan yang menjadi underlying PFS ini ikut mendongkrak. Nasabah atau masyarakat luas akan lebih konsumtif dan berani untuk mengajukan pinjaman. (*/GK)