Jakarta, benang.id – Destinasi wisata yang beragam, kaya seni budaya, dan etnik hanyalah sejumlah kecil yang membuat orang asing jatuh cinta pada Indonesia. Pasalnya, masih banyak hal lain yang menjadi daya tarik Indonesia. Pimpinan Kongregasi Suster-Suster Pasionis Sedunia, Madre Celia, misalnya. Jatuh cinta pada keramahan masyarakat dan buah Naga.
“Saya suka dengan keramahan masyarakat Indonesia, dan suka dengan buah-buahan khas di sini, terutama buah Naga,” tutur Madre Celia, saat ditemui AM Putut Prabantoro –Penasihat Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI), dan L Gora Kunjana –Sekretaris PWKI, di kediaman Suster Pasionis di Jl Pakis Raya 11, Jakarta Barat, Senin (9/12/2024) pekan lalu.
Madre Celia yang berasal dari Brasil dan para suster dari berbagai Negara berada di Indonesia dalam rangka merayakan 50 tahun kehadiran Kongregasi Suster Pasionis St Paulus dari Salib di Indonesia.
“Saya sangat suka dengan kesederhanaan dan keramahan para suster dan juga masyarakat Indonesia, kedekatan para suster dengan masyarakat, dengan anak-anak Panti Asuhan, anak-anak asrama dan juga kedekatan masyarakat dengan Para Suster. Saya juga sangat suka dengan cara Para Suster dan masyarakat menyambut tamu dengan ramah dan penuh sukacita,” jelas Madre Celia.
Madre Celia mengungkapkan sangat senang dengan kualitas, dan kapasitas yang dimiliki oleh para Suster Pasionis Indonesia. Di sisi lain, lanjutnya, masyarakat juga sangat mendukung kongregasi, yang tampak pada kedekatan mereka dengan para suster, memperhatikan kongregasi dan para suster.
“Masyarakat Indonesia murah hati memberi berbagai sumbangan kepada para suster, bukan hanya dalam bentuk makanan tetapi juga mendukung karya para suster dengan memberi sumbangan untuk meningkatkan karya pelayanan baik kepada anak-anak di Panti Asuhan, di asrama maupun di sekolah,” jelasnya.
Madre Celia juga menyatakan sangat senang karena para suster membangun sejarah kongregasi dengan baik, dengan kesaksian hidup yang baik, semangat dalam melayani, mengambil bagian dalam karya kongregasi dan bertanggungjawab dalam menjalankan karya kongregasi.
Ia menilai, kesaksian para suster inilah yang membuat masyarakat percaya kepada kongregasi, kepada para suster, dan mendukung para suster dalam karya pelayanan.
Lebih jauh, Madre Celia mengatakan rasa bahagianya melihat sampai saat ini Komunitas Suster Pasionis di Indonesia yang sudah mencapai 27 komunitas, namun masih ada Keuskupan dan Pastor Paroki yang mengundang dan menginginkan kehadiran Suster Pasionis di tempat mereka, sehingga Provinsial dan dewan juga masih perlu mempersiapkan para suster untuk menanggapi permintaan tersebut.
“Ini adalah tanda bahwa para suster sungguh-sungguh menghayati identitas sebagai pasionis. Hal ini bukannya muncul tiba-tiba tetapi ini adalah buah dari suatu proses dalam membangun kongregasi yang dilakukan dengan banyak pengorbanan, kemurahan hati dan pemberian diri,” ucapnya.
Terkait dengan perayaan 50 tahun kehadiran kongregasi suster Pasionis di Indonesia yang dirayakan di Sekadau, Kalimantan Barat, Madre Celia membeberkan bahwa perayaan sangat meriah, disertai dengan tarian daerah, lagu-lagu yang bagus. Selain itu dimeriahkan juga dengan resepsi, menyanyi dan menari bersama. “Mgr Agustinus Agus menyanyi beberapa lagu daerah dan para suster bersama dengan umat yang hadir juga ikut menari,” papar Madre Celia.
Selain di Sekadau, sambung Madre Celia, perayaan syukur 50 tahun kehadiran kongregasi Suster Pasionis di Indonesia juga dirayakan di Malang tetapi perayaan di Malang lebih intern untuk komunitas-komunitas suster Pasionis yang ada di Malang dan sekitarnya. Perayaan sangat meriah, disertai dengan tarian dan lagu-lagu daerah yang sangat meriah dan perayaan lebih terasa kekeluargaan, persekutuan karena hanya untuk para suster.
“Sangat menyenangkan, karena para suster dan masyarakat sangat menghargai budaya, dengan tarian daerah yang sangat bagus, lagu-lagu daerah yang sangat meriah dan makanan khas yang lezat,” imbuhnya.
Selain itu semua, Madre Celia juga mengikuti perayaan ekaristi di beberapa paroki yang dekat dengan komunitas para suster. Ia juga merasa sangat senang melihat di paroki-paroki, banyak umat yang dengan penuh semangat menghadiri perayaan ekaristi, gereja selalu penuh dengan umat dan umat aktif dalam kehidupan mengereja. “Ini tanda bahwa gereja di Indonesia mengalami perkembangan, kemajuan dan tanda bahwa Yesus diperkenalkan dan semakin banyak orang mengenal Kristus,” tukasnya.
Sejarah singkat Suster Pasionis di Indonesia
Dikutip dari gemapasionis.org, Kongregasi Suster Pasionis St Paulus dari Salib pertama kali hadir di Indonesia pada tahun 1974 silam. Berawal pada tanggal 7 Mei 1974 tiga suster pertama tiba di Jakarta yang diutus untuk menjawab undangan para Pasionis yang berkarya di wilayah gereja apostolik Sekadau.
Mereka adalah Sr Maria Etienne Coopman, Sr Clorinda Aresta, dan Sr Beatriz Mendizabal. Setelah beberapa hari di Jakarta dan Pontianak, pada tanggal 22 Juni 1974 mereka berangkat menuju Sekadau. Kalimantan Barat pada waktu itu, yang menjadi awal sejarah kongregasi merupakan daerah pedalaman yang sulit dijangkau dengan transportasi darat.
Perjalanan dari Ibu kota provinsi Kalimantan Barat yaitu Pontianak menuju Sekadau di mana Kongregasi Suster Pasionis akan berkarya hanya bisa ditempuh melalui jalur sungai Kapuas menggunakan motor air dengan lama perjalanan sekitar satu minggu. Perjalanan yang melelahkan bagi para suster yang baru datang dari luar negeri itu cukup terobati dengan sambutan hangat secara adat Dayak oleh para Pasionis dan umat Katolik Sekadau.
Persoalan pertama dan utama yang dihadapi ketiga misionaris ini adalah bahasa untuk komunikasi. Dengan kemampuan bahasa Indonesia yang terbatas mereka harus berbicara dengan anak-anak asrama dan masyarakat desa, terutama orang tua yang pada umumnya waktu itu masih menggunakan bahasa daerah. Namun, persoalan ini menjadi sedikit lebih mudah diatasi karena masyarakat setempat meskipun tidak bisa berkomunikasi dengan baik, dengan penuh semangat dan akrab menerima kehadiran ketiga suster itu. Pada waktu itu, di Sekadau mereka harus tinggal di rumah kecil dan sederhana.
Persoalan lain yang tak kalah menantang adalah menyaksikan sungai Kapuas yang luas dengan airnya yang berwarna coklat. Mereka sangat takut untuk memulai misi ke daerah pedalaman karena tidak seorang pun di antara mereka yang dapat berenang. Namun, seiring dengan berjalannya waktu mereka justru sangat menikmati panaroma dan percikan-percikan air sungai di pulau yang kaya akan sungai ini.
Mereka semakin terbiasa untuk bepergian dengan sampan kecil atau motor air. Pengalaman jatuh ke sungai karena sampan tenggelam saat melawan arus menjadi cerita indah untuk dikisahkan kepada para Pasionis muda di kemudian hari. Mereka berjuang dan terus bertahan melawan lelah untuk menghadirkan memoria pasionis kepada umat sederhana, mereka ketinggalan dari berbagai aspek kehidupan, yang tersisih dan kurang diperhitungkan, terutama di kampung-kampung yang masih terpencil. Lebih dari pada itu mereka melihat ke masa depan, masa di mana Kongregasi Suster-Suster Pasionis St Paulus dari Salib akan berkembang pesat di wilayah itu.
Beberapa tahun kemudian tepatnya pada 17 Februari 1975 menyusul dua suster asal Brasil yaitu Sr Noberta Busato (kembali ke Brasil pada 21 Agustus 1983) dan Sr Maria Gema Strapasson (kembali ke Brasil pada 3 September 2007). Beberapa tahun kemudian yaitu 19 Maret 1977 tiba di Indonesia Sr Anna Maria Funzi (kembali ke Italia pada 15 November 1999) disusul oleh Sr Maria Moretti pada 27 Agustus 1982 (kembali ke Italia pada 25 September 1992). Dan yang terakhir pada 14 Februari 1985 datang ke Indonesia Sr Jonilda Ferreira asal Brasil, namun karena kesulitan izin masuk akhirnya cita-cita untuk menjadi misionaris di Indonesia kandas di akhir tahun 1987.
Dalam sejarah perjalanan kongregasi di Indonesia, ada delapan orang suster misionaris yang datang untuk menabur benih awal di bumi tercinta ini. Berbekal semangat misioner yang tinggi mereka terus bertekun dalam mewartakan misteri Kristus Tersalib melalui kesaksian hidup dan karya-karya yang pada waktu itu diserahkan oleh pihak Gereja yang diwakili oleh Perfektur Apostolik-Sekadau, dan yang menjabat sebagai perfektur waktu itu adalah Mgr Lukas Spinosi CP. Mereka terlibat dalam pelayanan kasih di sekolah, yayasan dan paroki, walaupun belum menguasai bahasa Indonesia dengan baik.
Dua suster, karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan untuk tetap berada di Indonesia, dengan terpaksa harus kembali lebih awal ke tanah air mereka. Sr Beatriz pada 13 Maret 1975 harus kembali ke Negeri asalnya, Spanyol dan Sr Clorinda, kembali ke Italia dalam keadaan sakit parah pada 29 Agustus 1983. Tidak lama kemudian Sang Pencipta menjemputnya pada 9 Maret 1984. Dia dimakamkan di pemakaman di Signa-Italia.
Anggota Suster Pasionis di Indonesia
Seiring bergulirnya waktu dan hasil dari perjuangan, pengabdian serta kesaksian hidup para misionaris, juga buah doa yang terus-menerus dari para anggota Kongregasi Suster-Suster Pasionis St Paulus dari Salib di seluruh dunia, lahirlah benih-benih panggilan baru bagi Kongregasi. Benih yang ditaburkan itu perlahan-lahan bertumbuh subur menghasilkan buah yang menggembirakan. Ini ditandai dengan peristiwa bersejarah bagi Kongregasi di Indonesia yaitu pada tgl 18 Februari 1979 di Sekadau diadakan Profesi pertama bagi ke-empat Novis pertama yaitu Sr Dominika Jili CP, Sr Yuliana Salsiyah CP, Sr Sesilia Menseni CP (meninggal di Signa-Italia tgl 20 Juni 2007), dan Sr Maria Magdalena CP.
Pembauran antara Suster yang datang dari Italia, Belgia, Brasil dan Suster Pribumi menunjukkan persaudaraan sejati, kendati terus menerus menjadi perjuangan bersama, agar nilai persaudaraan tetap dipelihara dan dihidupi.
Rahmat Tuhan tidak pernah berhenti dan berkat-Nya senantiasa berlimpah. Dia terus mengirim panggilan-panggilan baru dalam kongregasi. “Yang menabur dengan bercucuran air mata, akan menuai dengan bersora-sorai” (Mzm. 125:6).
Para Suster misionaris dan Suster pribumi senantiasa menyerahkan seluruh perjuangan mereka kepada penyelenggaraan Ilahi. Hasil dari perjuangan dan pengorbanan para misionaris dan para pendahulu, kongregasi berkembang dan mulai membuka komunitas-komunitas baru di daerah-daerah lain di Indonesia, baik di Kalimantan, Jawa, dan Flores.
Menikmati buah khas Indonesia
Kembali ke Madre Celia. Di luar perayaan 50 tahun Kongregasi Pasionis di Indonesia, biarawati yang baru kali pertama berkunjung ini mengatakan sangat menikmati memakan buah-buahan di Indonesia yang sangat beragam dan enak.
“Saya lebih senang makan buah-buahan khas Indonesia, misalnya buah kelengkeng, matoa, salak, buah naga dan buah durian. Saya baru makan sedikit buah durian, apakah karena belum musim ya. Tapi yang paling saya suka buah Naga,” kata Madre Celia.
Secara umum, Madre Celia memiliki kesan yang sangat baik tentang Indonesia. Ia menilai masyarakat Indonesia murah hati dan sangat ramah. “Saya sangat senang bisa mengenal realitas Kongregasi di Indonesia secara langsung dan nanti saya kembali ke Roma dengan suatu pandangan yang sangat bagus tentang perkembangan Kongregasi di Indonesia,” pungkasnya. (*/GK)