Jakarta, benang.id – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) IHSG ditutup di level 6.515 atau melemah -1,81% selama sepekan kemarin. Jika dilihat dari teknikal, IHSG saat ini berada di support penting di level 6400 – 6500.
“Level ini merupakan level support yang sudah berhasil bertahan sejak Oktober 2021 dan pada akhir bulan lalu di-breakdown dan membentuk lower low di level 6.249 bagi IHSG,” terang Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) Dimas Krisna Ramadhani, dalam keterangannya Senin (17/3/2025).
Ia menambahkan apabila minggu ini IHSG tidak mampu bertahan di level support penting tersebut imbuhnya, terbuka peluang bagi IHSG untuk terus mengalami penurunan untuk menguji support di level 6.249.
Selanjutnya Dimas menjelaskan jika dilihat dari indikator foreign flow selama seminggu kemarin, dimana investor asing mencatatkan outflow sebesar Rp3,2 triliun, ada 2 hal penting yang perlu dicermati. Pertama, kenaikan yang terjadi di IHSG sejak akhir Februari lalu hanyalah berupa mark-up dalam sebuah fase distribusi besar yang dilakukan investor asing sejak September lalu.
Kedua, apabila kedepannya tidak ada perubahan pada indikator foreign flow maka secara probabilitas lebih besar bagi IHSG untuk melanjutkan penurunannya dibandingkan kenaikan.

Dari sisi top gainers sektoral pada perdagangan 10-14 Maret 2025 lalu, IDX Technology yang menguat cukup signifikan sebesar 6,8% dalam sepekan kemarin menjadi satu-satunya sektor yang mengalami kenaikan.
Dimas menilai sektor ini menguat karena saham DCII yang berhasil mencatatkan kenaikan sebesar 17% dalam seminggu terakhir. DCII berhasil menjadi saham dengan kapitalisasi pasar terbesar ke-8 di IHSG, yang membuat bobot DCII bagi pergerakan IHSG keseluruhan menjadi besar.
“Namun saya melihat dari sudut pandang foreign flow, kenaikan DCII ini dijadikan cara untuk menjaga pergerakan IHSG di tengah aksi distribusi yang dilakukan investor asing.”
Sementara itu terkait top losers pada perdagangan 10-14 Maret 2025 lalu, terang Dimas, ada IDX Basic Materials dan IDX Healthcare membebani laju IHSG.
IDX Basic Materials melemah -6,5% dalam sepekan kemarin. Salah satu sentimen sektor ini di perdagangan minggu lalu adalah usulan pemerintah melalui Kementerian ESDM mengubah tarif PNBP komoditas minerba yang saat ini tertuang dalam PP 26/2022.
“Pemerintah berencana untuk merevisi PP yang sudah ada tersebut dalam bentuk penyesuaian tarif royalti sebagai PNBP untuk beberapa komoditas minerba,” jelas Dimas.
Ia menambahkan komoditas yang akan mengalami perubahan tarif royalti yang signifikan adalah emas dan nikel. Jika dilihat dari pergerakan harga saham emiten-emiten tersebut, ini juga yang paling mencerminkan perubahan yang signifikan.

Selanjutnya IDX Healthcare yang dalam sepekan kemarin turun sebesar -4%. Jika dilihat dari teknikalnya, sektor healthcare baru saja membentuk lower low pada minggu kemarin sekaligus mencatatkan level terendah sejak Agustus 2021 silam.
“Dengan data teknikal tersebut maka ada peluang bagi sektor healthcare untuk melanjutkan downtrend-nya ke level support terdekat yang berada di level 1250.”
Berbicara tentang potensi market pada 17-21 Maret 2025, Dimas mengimbau pelaku pasar saham untuk mencermati empat sentimen berikut agar tetap bisa mendulang cuan:
Pertama, sentimen keputusan suku bunga Bank Sentral Jepang (BOJ). Pada Rabu nanti, Bank Sentral Jepang akan mengumumkan keputusan tingkat suku bunga acuannya. Berdasarkan konsensus, BOJ diperkirakan akan menahan tingkat suku bunganya di level saat ini (0,5%).

Melihat kondisi makro ekonomi Negeri Sakura tersebut, dimana indikator inflasi yang konsisten mengalami kenaikan dalam 2 tahun terakhir, maka besar kemungkinan BOJ akan melakukan kenaikan suku bunga kedepannya.
“Kekhawatiran bagi pelaku pasar adalah jika BOJ mendadak meningkatkan suku bunganya atas dasar menjaga stabilitas perekonomian negaranya maka hal ini akan memicu Carry Trade terjadi lagi. Diketahui, pada 5 Agustus 2024 lalu indeks saham global mengalami penurunan yang signifikan yang disebabkan Carry Trade ini karena pada saat itu keputusan BOJ untuk meningkatkan suku bunganya yang diluar ekspektasi pelaku pasar.”
Kedua, keputusan RDG BI. Di tanggal yang sama BI pun akan mengumumkan tingkat suku bunga acuannya yang berdasarkan konsensus BI diperkirakan juga akan menahan di level saat ini (5,75%).
Jika melihat indikator makro ekonomi dalam negeri memang secara pertimbangan logis sebaiknya BI tetap mempertahankan tingkat suku bunganya di level saat ini di bulan ini.
“Dua indikator yang menjadi justifikasi saya adalah nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS dan inflasi di dalam negeri. Apabila BI memangkas suku bunganya di level saat ini untuk meningkatkan inflasi yang di Januari lalu Indonesia mencatatkan deflasi pertama kali sejak Maret 2000 maka akan berdampak terhadap tekanan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS,” terang Dimas.

Ia menambahkan sedangkan apabila BI meningkatkan suku bunga acuannya, hal ini cenderung berat dilakukan karena tren penurunan suku bunga yang dilakukan mayoritas bank sentral dunia dan justru akan semakin menurunkan kemampuan daya beli masyarakat yang digambarkan melalui indikator inflasi tadi.
“Oleh karenanya, menahan suku bunga di level saat ini saya kira menjadi keputusan yang paling tepat bagi BI di bulan ini karena di bulan ini juga bertepatan dengan musim Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri yang akan meningkatkan konsumsi masyarakat yang harapannya akan memberikan catatan baik untuk inflasi di bulan ini.
Ketiga, keputusan suku bunga The Fed. Pada Kamis mendatang The Fed juga akan mengumumkan keputusan tingkat suku bunganya yang berdasarkan konsensusnya, The Fed akan juga menahan tingkat suku bunganya di level saat ini (4,25% – 4,5%).
Selama seminggu kemarin, narasi kemungkinan resesi terjadi pada ekonomi AS terdengar sangat nyaring bagi pelaku pasar. Hal ini dipicu oleh ketidakjelasan kebijakan tarif yang dilakukan Trump.
“Seperti yang kita ketahui, apabila tarif impor ini diberlakukan oleh AS untuk negara-negara yang dituju maka hal ini akan membuat negara lain melakukan tarif balasan yang sama bagi AS. Hal ini akan berdampak terhadap kenaikan harga barang-barang (inflasi), dan juga pertumbuhan ekonomi global.”
Maka dalam beberapa minggu-bulan kedepan, akan sangat penting bagi pelaku pasar memperhatikan perkembangan yang terjadi di perekonomian global ini. Apabila perang tarif dilakukan dan berdampak terhadap kondisi ekonomi maka besar kemungkinan The Fed juga akan mengambil keputusan mengikuti kondisi yang ada dan juga akan berpengaruh terhadap pergerakan indeks saham dunia.
Keempat, ex-date dividen BBCA. Pada hari terakhir di minggu ini bertepatan dengan ex-date jadwal pembagian dividen BBCA. BBCA akan melakukan pembagian dividen final untuk tahun buku 2024 sebesar Rp250 per lembar saham setelah dikurangi dividen interim yang telah dibagikan 11 Desember 2024.
Secara historikal, apabila suatu saham berencana untuk membagikan dividen maka menciptakan volatilitas bagi pergerakan sahamnya.
“Oleh karenanya, saya ingin mengingatkan bagi investor untuk tetap mempertimbangkan kondisi market saat ini yang cenderung sangat volatile meskipun momentum pembagian dividen ini sangat menggiurkan,” pesan Dimas.

Berkaca pada sentimen di atas, PT Indo Premier Sekuritas merekomendasikan:
- Buy UNVR (Current Price 1.300, Entry 1.300, Target Price 1.480 (13,85%), Stop Loss 1.210 (-6,92%) dan Risk to Reward Ratio 1:2,0).
UNVR mendapatkan flow dengan keluarnya saham ini dari indeks FTSE large cap, namun dilihat dari teknikalnya justru menunjukan hal menarik dengan berhasil membentuk higher high dan higher low. UNVR ini juga sektor consumer yang cenderung mendapatkan keuntungan dengan momentum Ramadan dan Idul Fitri.
- Buy GOTO (Current Price 80, Entry 80, Target Price 89 (11.25%), Stop Loss 76 (-5,00%) dan Risk to Reward Ratio).G
GOTO terkerek sentimen positif berupa capaian perbaikan kinerja pada FY2024 yang disertai dengan konfirmasi price action yang secara teknikal bergerak uptrend dalam parallel channel-nya. Selain itu, GOTO menjadi satu dari sedikit saham yang bergerak uptrend untuk tren jangka menengahnya di tengah pergerakan IHSG yang cenderung tertekan.
- Buy on Pullback JPFA (Current Price 2.090, Entry 2.000-2030, Target Price 2.200 (10,00%), Stop Loss 1.900 (-5,00%), Risk to Reward Ratio 1:2,0).
Emiten ini menjadi satu dari sedikit saham yang bergerak uptrend untuk trend jangka menengahnya di tengah pergerakan IHSG yang cenderung tertekan. Emiten ini memberikan gambaran teknikal yang bagus selama sideways volume cenderung mengecil dan ketika naik disertai lonjakan volume. JPFA termasuk sektor consumer yang cenderung mendapatkan keuntungan dengan momentum Ramadan dan Idul Fitri
- Buy Reksa Dana Saham Premier ETF PEFINDO i-Grade (XIPI).
Power Fund Series (PFS) ini underlying-nya saham-saham perbankan yang berpotensi mengalami mark-up memasuki persiapan musim pembagian dividen. (*/GK)