Sunday, July 13, 2025
No menu items!
spot_img
HomeOpiniMerespon Tarif 32 Persen Presiden Trump -- OPINI

Merespon Tarif 32 Persen Presiden Trump — OPINI

Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah. Foto: dpr.go.id

Oleh: Said Abdullah *)

Saya membaca di berbagai media massa, bahwa Presiden Trump mengirim surat kepada Presiden Prabowo, yang memberikan tanggapan atas upaya lobi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia atas pengenaan tarif perdagangan. Terbaru, tertanggal 7 Juli 2025, Presiden Trump mengenakan tarif sebesar 32 persen atas barang-barang Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat. Dengan demikian tarif ini tidak berubah dari yang telah dikenakan Presiden Trump sejak April 2025 lalu. Sementara negara negara tetangga kita seperti Malaysia, Jepang, dan Korea Selatan dikenakan tarif lebih rendah, sebesar 24 persen, dan Thailand lebih tinggi, yakni 36 persen.

Tarif yang diberlakukan kepada Indonesia tersebut akan berlaku mulai 1 Agustus 2025, atau kurang dari sebulan lagi. Alasan Presiden Trump menjatuhkan tarif sebesar 32 persen kepada Indonesia di antaranya tidak ada perusahaan dari Indonesia yang melakukan aktivitas manufaktur di Amerika Serikat (AS). Sebelum tenggat waktu, AS memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk melakukan negosiasi kembali.

Pengenaan tarif oleh Presiden Trump ini membahayakan masa depan perekonomian global, banyak negara akan menempuh jalan proteksionisme, dan itu tidak menguntungkan bagi kerjasama global untuk kemakmuran bersama.

Bagaimana sebaiknya kita merespon kebijakan ini? Sekadar memberikan sumbang saran, hendaknya pemerintah menempuh berbagai langkah antara lain:

1. Dari tenggat waktu yang tersedia, tidak ada pilihan bagi pemerintah agar tetap menempuh jalan negosiasi kembali dengan Pemerintah AS. Tentu saja pemerintah harus membawa bekal yang lebih menjanjikan dalam proses negosiasi tersebut, seperti poin yang ditekankan, yakni memungkinkan adanya perusahaan Indonesia melakukan aktivitas manufacturing di AS, selain tawaran untuk menurunkan tingkat defisitnya AS dalam perdagangan dengan Indonesia. Seperti terekam dalam data BPS, neraca dagang Indonesia dengan AS mencatat surplus US$ 6,42 miliar atau sekitar Rp 104,9 triliun (kurs Rp 16.350 per dollar AS).

2. Kita mengakui AS negara berpenduduk besar, dengan daya beli yang sangat besar. Sehingga menjadi market yang menjanjikan bagi produk-produk ekspor Indonesia. Produk=produk Indoensia seperti; tekstil, pakaian jadi, alas kaki, peralatan listrik, karet, dan produk karet, alat penerangan, ikan, udang, kakao, dan mesin banyak diminati di pasar AS. Hendaknya pemerintah memiliki banyak opsi jika tarif 32 persen tetap diberlakukan. Pemerintah harus sesegera mungkin mengupayakan pasar pengganti terhadap beberapa barang ekspor ke AS yang tidak layak dari sisi harga paska pengenaan tarif. Pasar seperti BRICS, Eropa, kawasan Amerika Latin serta Afrika patut untuk didalami.

3. Secara bersamaan pemerintah harus mengupayakan jalan penyelesaian multilateral. Semua negara sedang disanksi oleh AS dengan pengenaan tarif perdagangan. Mereka memiliki kegelisahaan yang sama. Ibaratnya, AS sedang memusuhi semua negara, bahkan sekutunya sendiri seperti negara-negara di Eropa barat yang selama ini seiring dan sejalan. Pemerintah bisa menggalang negara-negara tersebut untuk memperkuat kedudukan World Trade Organization (WTO) sebagai kelembagaan yang sah dan adil untuk masalah perdagangan internasional.

4. Melalui perundingan multilateral, terutama di WTO, atau kelembagaan multilateral lainnya seperti G20 minus AS, pemerintah bisa mengajak untuk membentuk komtimen kerjasama perdagangan internasional, tujuannya mendapatkan pasar baru atas produk produk antar negara yang tidak dapat masuk ke AS karena pengenaan tarif tinggi. Dengan demikian, semua negara tidak perlu khawatir sebab produk mereka mendapatkan pasar pengganti.

5. Pemerintah juga perlu menggalang dukungan internasional lebih luas, karena kepemimpinan Presiden Trump telah mengabaikan seluruh pranata internasional. Dalam soal perdagangan mereka mengabaikan WTO, IMF dan Bank Dunia. Dalam bidang politik dan militer AS juga mengabaikan segala penyelesaian multilateral. Sudah waktunya pemerintah memelopori penyelesaian multilateral, khususnya dalam masalah perdagangan, moneter, dan keamanan.

6. Di dalam negeri, kita harus memperkuat ketahanan terutama pada sektor pangan, energi, dan moneter. Karena ketiga sektor tersebut banyak ditopang dari aktivitas impor, dan pengaruh eksternal. Pemerintah perlu mempercepat program ketahanan pangan dan energi, serta menempuh berbagai pembayaran internasional dengan tidak hanya bertumpu pada Dolar AS. (**)

*) Ketua Badan Anggaran DPR

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments