Friday, November 22, 2024
No menu items!
spot_img
HomeNasionalKetinggalan Zaman, UU No 39/1999 tentang HAM Mendesak Direvisi

Ketinggalan Zaman, UU No 39/1999 tentang HAM Mendesak Direvisi

Bandung, benang.id – Undang Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) secara de facto telah ketinggalan zamanmenyusulmunculnya berbagai bentuk pelanggaran HAM yang kian bervariasi di dalam praktiknya. Hal ini menunjukkan bahwa UU HAM mendesak untuk diperbaharui agar sesuai dengan perkembangan pengaturan HAM yang telah berkembang pesat dalam forum internasional.

Demikian disampaikan Liona Nanang Supriatna, pakar hukum HAM yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH Unpar) dalam acara Diskusi Pakar Terhadap Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang diselenggarakan oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dan Badan Pembinaan Hukum Nasional serta FH Unpar di Kampus Ciumbuleuit 94 Bandung, Rabu (10/8/2022).

Hadir juga para dosen pengajar HAM FH Unpar antara lain, Adrianus Vito Ramon, Dyan Sitanggang, dan Anna Anindita.

Menurut Liona, terdapat beberapa hal yang penting untuk diubah dan disempurnakan dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan perjanjian internasional tentang HAM yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.

“Antara lain mendesaknya perluasan definisi dan atau pengaturan tentang diskriminasi yang lebih komprehensif, lebih luas jangkauannya guna menjamin kesejahteraan bagi kelompok rentan yang mencakup anak, perempuan, lansia, penyandang disabilitas, pengaturan dan atau jaminan HAM terhadap kehidupan kaum transgender dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat, termasuk keyakinan dan atau kepercayaan asli masyarakat adat,” tutur Liona.

Liona Nanang
Liona Nanang Supriatna, pakar hukum HAM yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH Unpar). Foto: Istimewa

Dikatakan Liona, seringkali Masyarakat Hukum Adat tidak mendapatkan pengakuan yang datang justru dari Pemerintah Daerah sementara masyarakat mengakuinya.

Menurut dia, Pemerintah Pusat harus bertanggung jawab terhadap Pemerintah Daerah yang menolak memberikan pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat yang merupakan cikal bakal adanya bangsa Indonesia.

“Pengaturan tentang tindakan intoleransi dalam kehidupan sehari-hari, juga harus menjadi prioritas untuk diatur mengingat meningkatnya tindakan intoleransi sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa serta terganggunya penghormatan hak asasi manusia,” ujar Liona yang juga anggota Pakar DPP Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (DPP ISKA).

Lebih lanjut President The Best Lawyers Club Indonesia (BLCI) ini mengungkapkan bahwa asas-asas dasar penghormatan terhadap HAM harus secara tegas dan rinci diatur, terlebih adanya ratifikasi perjanjian internasional tentang HAM setelah UU HAM lahir.

Penegasan asas-asas dasar HAM ini, tandas Liona, penting secara eksplisit diatur mengingat dalam praktiknya pelanggaran-pelanggaran terjadi karena asas-asas dasar tidak secara tegas mengaturnya misalnya asas-asas dasar dari kelompok minoritas yang belum sepenuhnya terakomodasi dalam UU HAM.

Kemudian, sambung Liona, masalah yang disoroti secara tajam adalah Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar. Bahwa setiap warga negara berhak untuk memeluk agama sesuai keyakinan masing-masing, negara juga tidak bisa melarang aliran atau agama apapun yang diyakini dan berkembang dalam masyarakat Indonesia sepanjang untuk kedamaian lahir batin dan tidak bertentangan dengan hukum.

Masalah yang paling krusial dalam HAM dan kebebasan dasar, lanjut Alumni Lemhannas RI Angkatan 58 ini, adalah munculnya konflik pendirian rumah ibadah sekaligus juga merupakan kontroversi dalam kebebasan beragama.

“Secara prinsip, kebebasan beragama dan berkeyakinan mencakup hak untuk beribadah. Sayangnya, konflik pendirian rumah ibadah masih terjadi hingga saat ini. Salah satu konflik yang terjadi adalah penolakan dan pelarangan pendirian rumah ibadah,” ucapnya.

Pemerintah, tandas Liona, harus menjamin tersedianya rumah ibadah bagi rakyatnya dan perijinan bukanlah merupakan suatu kendala bagi kebebasan dasar ini.

Kemudian kebebasan berpendapat yang seringkali dimaknai secara mutlak mengakibatkan kebebasan berpendapat yang tanpa batas.

“Perkembangan teknologi yang pesat mengalihkan trend menyampaikan pendapat melalui media tulis ke media sosial. Tanpa pengatarun secara jelas dan tegas, berpotensi menyebabkan pelanggaran HAM pencemaran nama baik, dan merusak ke-bhinneka-an dan pada akhirnya akan mendegradasi pernghormatan HAM,” tegas Liona yang juga Penasihat Lawyers Social Indonesia (Lysoi).

Permasalahan selanjutnya, masih kata Liona, adalah bagaimana kaidah hukum internasional khususnya tentang Konvensi Hak Asasi Manusia yang telah diratifikasi oleh negara  menjadi bagian dari sistem hukum nasional Indonesia. Diskusi ini seringkali terbatas pada teori Monisme dan Dualisme yang justru teori ini sudah usang.

Dewan Pakar DPC Vox Point Bandung ini lantas menyebutkan berbagai variasi pendekatan yang berkembang dalam masyarakat internasional seperti: Pertama adoption, yakni perjanjian internasional menjadi bagian dari sistem hukum internasional dengan jalan meratifikasi konvensi internasional dan kemudian diumumkan dalam Lembaran Negara tanpa ada tindakan legislasi lainnya karena sudah dianggap mengikat.

Kedua incorporation, implementasi perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional tidak cukup hanya mengadopsi saja, namun harus ada tindakan legislasi lainnya misalnya membuat undang undang baru dimana substansi atau ketentuan-ketentuannya berasal dari perjanjian internasional tanpa perlu mengulang istilah yang sama dalam perjanjian iternasional.

Ketiga, transformation, ketentuan-ketentuan perjanjian internasional tidak perlu diterima secara formal atau diatur dalam sistem hukum nasional seperti adption dan incorporation, namun hukum nasional yang sudah eksis yang mengatur hal sama dengan hukum internasional maka hukum nasional harus diamendemen atau diubah dan disesuaikan substansinya dengan hukum internasional yang sudah diratifikasi.

“Keempat, reference, adalah istilah teknis bagaimana hukum internasional menjadi bagian dari hukum nasional dengan cara setiap pembentukan hukum nasional akan selalu merujuk ke dalam sistem hukum internasional,” pungkas Liona.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments