Bapak, ibu, saudara-saudari terkasih,
Penginjil Mateus di dalam petikan Injil pada hari ini menampilkan pemahaman Yesus tentang diriNya sebagai utusan Bapa di Surga dalam bahasa puitis dan mengagumkan. Teks berbicara tentang luapan rasa syukur dan sukacita melimpah atas sempurnanya penyelenggaraan Bapa Surgawi. Syukur dan sukacita Yesus menjadi lebih bermakna dan lebih mengesankan, bukan karena merupakan output atau hasil berlipatganda dari sebuah kapital yang besar, tetapi justru karena Tuhan datang dan menunjukan rahasiaNya kepada orang kecil dan yang tidak diperhitungkan di dalam masyarakat. Itulah Tuhan. Yang kecil dibuatNya besar; yang sedikit dibuatNya banyak; yang rendah dibuatNya tinggi. Dia gemar menulis sejarah indah di atas garis-garis patah.
Benarlah apa yang ditulis oleh nabi Yesaya tentang Tuhan “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan- Ku dari rancanganmu” (Yes 55:8-9). Hanya manusia yang memiliki karunia Roh “Takut akan Tuhan” memiliki pula kemampuan untuk memahami jalan dan kehendak Tuhan (Amsal 1:7a).
Yang menarik perhatian saya dari perikop Injil adalah bahwa Penginjil Mateus menempatkan undangan Yesus: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” hanya 3 bab setelah Kotbah di Bukit.
Berbagai macam peristiwa suka dan duka memenuhi tiga bab antara Kotbah di Bukit dan Undangan Yesus: Bermula dari massa yang berbondong-bondong mengikuti Yesus (masa romantik), dalam keadaan haus dan lapar (tragedi), tetapi juga dengan berbagai harapan dan ekspektasi tentang Yesus, baik yang realistis maupun yang bersifat ilusi; disusul penyembuhan berbagai jenis penyakit dan kemudian berkulminasi pada keraguan pendengar akan identitas ilahi dari Yesus. Semua ini menghantar Yesus kepada sebuah kesimpulan: Generasi di hadapanNya adalah sebuah generasi pincang, lemah, sakit, cacat, lelah dan berbeban berat.
Yesus tidak berbicara tentang tawaran mujizad untuk menghilangkan perasaan letih dan lesu. Tentu betapa menyenangkan! Tetapi bukan di situ duduk permasalahannya. Yesus tidak mau, kalau mereka melepaskan beban, tugas, tanggungjawab, dan segala ingatan yang sudah merupakan komitmen. Sebuah komitment juga kadang melelahkan. Di sini sebenarnya lebih menyangkut pertanyaan: bagaimana kita menghadapi tekanan serta beban hidup dan berusaha untuk berdamai dengannya tanpa harus menghancurkan diri kita sendiri.
Sebagai ganti mujizad, Yesus menawarkan diriNya sebagai Kuk, yang pada hakikatnya merupakan pembagi tekanan beban dan penjaga keseimbangan berat beban pada dua ujungnya. Pada Yesus ada ketenangan dan kedamaian sejati. Kekuatan sejati datang dari Yesus. Pada Dia ada keseimbangan yang sempurna. PadaNya: “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya, sampai Ia menjadikan hukum itu menang” (Mt 12:20). Dia yang membentuk, mengenal, menguduskan dan menetapkan.
Kepada Dia-lah kita harus kembali.
Di dalam konteks ini, Paus Fransiskus, ketika mengenang 52 tahun Imamatnya pada pada tanggal 13 Desember 2021 tahun lalu berbicara tentang hakikat panggilan kegembalaan, katanya:
“Ada begitu banyak orang yang terluka di dunia ini… Orang-orang terluka oleh ilusi dunia … Kita para imam harus berada di sana, dekat dengan orang-orang terluka tersebut. Belas kasihan berarti menyembuhkan luka”; dalam artian luas: Memberikan kelegaan kepada mereka.
Baca lanjutannya di