Friday, November 22, 2024
No menu items!
spot_img
HomeEkonomiDBS Flash Indonesia: Awal Baik pada Tahun 2023

DBS Flash Indonesia: Awal Baik pada Tahun 2023

Jakarta, benang.id – Kementerian Keuangan mencatat defisit fiskal Indonesia pada 2022 turun tajam menjadi -2,38% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah yang dianggarkan, sebesar -4,9%. Itu akan mengembalikan defisit di bawah 3% dari PDB yang dimandatkan, setahun lebih cepat dari rencana. Secara khusus, defisit 2020-2021 juga lebih rendah dari target, meskipun dalam skala lebih kecil.

Demikian dikemukakan Radhika Rao, Senior Economist DBS Group Research dalam keterangan tulisnya di Jakarta, Jumat (27/1/2023).

Ia menguraikan bahwa realisasi pendapatan mencapai 116% dari target, naik 31% secara tahunan dan sekitar 16% di atas target. Penerimaan pajak krusial tumbuh 31% secara tahunan, sementara penerimaan bukan pajak melonjak 28%, seperlima lebih tinggi dari target.

Peningkatan pendapatan di atas rata-rata merupakan hasil dari

a) reformasi pajak, termasuk kenaikan pajak pertambahan nilai, pengampunan pajak yang berlaku untuk satu kali, pajak atas fintech P2P lending, dan pemain e-commerce, dan lain-lain;

b) perbaikan kegiatan ekonomi dan industri berbasis sumber daya menikmati peningkatan pendapatan perusahaan;

c) kinerja perdagangan kuat menyumbang ke pendapatan pajak impor/cukai lebih tinggi;

d) keuntungan tak terduga dari penerimaan pajak dan bukan pajak terkait komoditas.

Lebih jauh dipaparkan, pertumbuhan pengeluaran naik lebih lambat, sebesar 11% secara tahunan, sedikit lebih rendah dari yang dianggarkan. Kebutuhan pengeluaran didorong oleh alokasi subsidi lebih tinggi dan langkah untuk mengimbangi kenaikan harga BBM.

Kendati demikian, subsidi dan kompensasi untuk perusahaan negara mencapai Rp551 triliun, jauh lebih tinggi daripada yang dianggarkan, sebesar Rp153,5 triliun, namun juga lebih rendah dari proyeksi sebelumnya, yaitu di atas Rp600 triliun.

Pengeluaran terkait pandemi bertambah menjadi Rp396,7 triliun pada akhir tahun dan kemungkinan akan dikurangi secara bertahap. Berdasarkan  atas penilaian Fitch, defisit Indonesia pada 2022 “di bawah median kategori ‘BBB’ sebesar 3,6% dan akan menjadikan Indonesia salah satu pemerintah pertama di Asia-Pasifik yang kembali ke tingkat defisit fiskal sebelum pandemi”.

“Hal ini membantu memangkas kebutuhan pembiayaan menjadi Rp580 triliun pada 2022 (dibandingkan dengan yang dianggarkan, sebesar Rp840,2 triliun),” ucap Radhika Rao. 

Berdasarkan atas asumsi yang dianggarkan, pendapatan negara akan naik 1% pada 2023, dengan penurunan pengeluaran 3%, mematok defisit di angka -2,8%. Ketahanan pertumbuhan domestik, pajak tidak langsung lebih tinggi, dan harga komoditas (lebih rendah daripada 2022 tetapi stabil memasuki Desember 2022) yang tidak banyak berubah menjadi unsur pendukung.

“Pengurangan subsidi dan pelemahan harga minyak global juga akan membantu meringankan pengeluaran,” tandasnya.

Dengan reorientasi dalam prioritas pengeluaran, investasi publik lebih tinggi diharapkan akan muncul sebagai pendorong pertumbuhan tahun ini, yang diperkirakan DBS Group Research akan meredam kecenderungan membuat kebijakan populis menjelang pemilu 2024.

“Tergantung pada keadaan ekonomi, ada kemungkinan target defisit fiskal 2023 turun menjadi 2,0-2,5% dari PDB, yaitu kisaran prapandemi dibandingkan dengan target yang dianggarkan, sebesar -2,84%. Jika terjadi, maka ini akan berdampak positif bagi stabilitas makro secara keseluruhan. DBS Group Research memperkirakan target fiskal sebesar -2,7% dari PDB,” tutur Radhika Rao.

DBS Group Research
Radhika Rao, Senior Economist DBS Group Research. Foto: twitter

Menurut dia, pencapaian yang lebih baik di 2022 memberi pijakan lebih kuat untuk tahun ini, karena kelebihan saldo (Sisa Anggaran Lebih atau SAL) diteruskan ke tahun ini, misalnya ~Rp120 triliun vs Rp246 triliun pada 2021. Rencana pembiayaan yang lebih kecil juga akan mendukung pasar obligasi, mengingat bank sentral akan menghentikan pembelian obligasi di pasar perdana sejak 2023.

Selain permintaan rutin dari bank komersial dan pemain jangka panjang, investor asing secara bertahap kembali ke obligasi rupiah. Obligasi dolar AS multi-tranche pertama untuk tahun ini akan menarik minat kuat. 

Neraca perdagangan masih memiliki ruang untuk bermanuver

Lebih jauh dikemukakan, surplus neraca perdagangan diperkirakan akan mencatat rekor ~$55 miliar pada 2022, meningkat 55% dari 2021. Peningkatan ekspor komoditas dan nonmigas membantu mengimbangi defisit migas dan impor, yang meningkat pesat sejalan dengan kegiatan ekonomi.

“Untuk 2022, DBS Group Research melihat kemungkinan surplus neraca berjalan lebih baik dari perkiraan sebesar 0,7% dari PDB,” kata Radhika Rao. 

Pada tahun ini, keuntungan dari selisih harga ekspor komoditas dan harga impor akan menyempit (neraca perdagangan barang diperkirakan mencapai $35 miliar), dengan defisit di unsur jasa, yang kemungkinan lebih kecil karena pemulihan sektor pariwisata dan keringanan biaya transportasi.

Selain itu, lanjut dia, tema pembukaan kembali Tiongkok juga membantu menopang harga komoditas, dengan ekspektasi laju pertumbuhan lebih cepat pada tahun ini.

Untuk 2023, DBS Group Research tidak lagi memperkirakan defisit transaksi berjalan kecil tapi melihat potensi surplus ketiga sebesar 0,2% dari PDB. Aliran investasi kuat dan surplus perdagangan akan membantu menjaga neraca pembayaran (BOP) utama tetap positif untuk tahun ke empat secara berturut-turut. 

Perluasan mandat BI dan dorongan Omnibus Law

DPR telah menyetujui undang-undang yang memperluas mandat Bank Indonesia dengan menambahkan perannya untuk mendukung pertumbuhan dan stabilitas pasar keuangan selain bertanggung jawab atas program pembelian obligasi BI dalam situasi krisis apa pun, sebagai bagian dari RUU Keuangan yang disahkan pada pertengahan Desember 2022. Berdasarkan atas perubahan itu, DBS Group Research tidak mengantisipasi perubahan dalam bias kebijakan bank sentral karena pembuat kebijakan telah mempertimbangkan risiko inflasi, pergerakan nilai tukar global, dan arah mata uang. 

Secara terpisah, pemerintah menandatangani peraturan darurat pada akhir Desember 2022 (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang/Perppu Nomor 2 Tahun 2022) untuk menggantikan ketentuan dalam UU Cipta Kerja. Pengesahan oleh parlemen masih diperlukan pada akhir sidang berikut sebelum Perppu tersebut diperlakukan sebagai undang-undang. Itu terjadi setelah pada tahun lalu, Mahkamah Konstitusi menganggap undang-undang tersebut belum sempurna dan memerintahkan penilaian ulang dalam waktu dua tahun. Undang-undang tersebut mencakup beberapa aspek utama yang berdampak pada pasar tenaga kerja, antara lain mengatur upah minimum, uang pesangon, dan PHK. 

Untuk menentramkan serikat pekerja, beberapa perubahan yang diusulkan berkisar pada pembatasan outsourcing pada sektor tertentu dan mengubah formula untuk menetapkan upah minimum dengan menambahkan faktor untuk mempertimbangkan daya beli (pers). Keputusan darurat itu diperkirakan kembali mengundang penolakan dari serikat pekerja. Kekakuan dalam undang-undang pasar tenaga kerja dipandang sebagai salah satu hambatan bagi kemajuan struktural dalam investasi langsung domestik dan asing.

Bank DBS
Ilustrasi Bank DBS. Foto: Bank DBS

Babak terakhir dari siklus kenaikan suku bunga 

Dalam tinjauan kebijakan pertengahan Desember, pembuat kebijakan Indonesia mendapatkan kepercayaan diri karena inflasi domestik telah mencapai puncaknya, bersamaan dengan meredanya gejolak di pasar keuangan global karena kenaikan suku bunga Bank Sentral AS, yang lebih kecil. Pengumuman angka inflasi Desember mencatat kejutan dengan kenaikan 5,5% secara tahunan saat moderasi harga pangan disertai dengan dorongan akhir tahun untuk unsur layanan dan penyesuaian harga utilitas oleh provinsi terbesar ketiga AS. Sementara itu, inflasi utama menembus target BI, yang sebesar 2-4%, namun inflasi inti sebagian besar terkonsolidasi di angka 3,0-3,5%.

Dengan inflasi melewati puncaknya dan Bank Sentral AS diperkirakan menghentikan siklus kenaikan suku bunganya pada tahun ini, Indonesia tidak lagi berada dalam keadaan mendesak untuk menaikkan suku bunga secara agresif. Meskipun demikian, dengan rupiah (-2,2% pada triwulan terakhir tahun 2022) tidak dapat berpartisipasi dalam reli mata uang kawasan dan inflasi di atas target resmi, BI memilih mempertahankan bias pengetatan dan beralih ke peningkatan secara bertahap dan tidak terlalu berarti, sebesar 25bp.

Terakhir, DBS Group Research memperkirakan kenaikan suku bunga satu kali pada bulan ini dan satu lagi pada Februari 2023 sebelum mencapai puncak menjadi 6%, sesuai dengan jumlah kenaikan yang diharapkan dari Bank Sentral AS.

Kondisi likuiditas dalam negeri kemungkinan tetap kondusif untuk mempertahankan sikap pro-pertumbuhan.

Prioritas lain bank sentral adalah menarik likuiditas mata uang asing (FX) kembali ke sistem keuangan dalam negeri. Pada Desember lalu, BI menguraikan rencana memperkenalkan instrumen moneter FX baru untuk menarik pendapatan dolar dari ekspor di pasar dalam negeri dengan menawarkan pengembalian kompetitif.

Selain meningkatkan ketersediaan mata uang asing domestik, arus masuk itu akan mendukung rupiah dan menurunkan biaya pinjaman terkait. Pengembalian rendah telah menghalangi likuiditas mata uang asing untuk kembali ke pasar domestik, kendati ada surplus perdagangan barang sejak awal tahun serta aliran investasi yang mencatat rekor tertinggi hingga saat ini. Ada indikasi bahwa kumpulan sektor yang diperlukan untuk mengalihkan pendapatan dari luar negeri kembali ke sistem lokal akan diperluas. (*)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments