Jakarta, benang.id – Setiap orang memiliki definisi sukses masing-masing, begitu pun kiat untuk meraih kesuksesan. Beberapa orang terkenal di dunia menyebutkan kunci sukses mereka. Sang penemu Thomas Alfa Edison misalnya sukses adalah 1% inspirasi, 99% keringat. Miliader tenar di dunia sekaligus CEO Tesla, Elon Musk menuturkan sukses adalah selama kamu dapat melakukan hal yang menyenangkan dalam hidup. Lain halnya dengan Warren Buffet, investor AS yang juga filantropis ini menyatakan bahwa sukses adalah ketika orang terdekatmu bahagia dan mencintaimu.
Nah, bagi Brigjen TNI Dr Nugraha Gumilar MSc sukses adalah tidak pernah menyerah akan kegagalan. Kesuksesan bukan berarti harus lolos dari ujian tetapi saat menemui kegagalan memutuskan untuk tidak menyerah. Terus gigih berjuang, bekerja dengan jujur, dan tetap mengandalkan pertolongan Tuhan.
“Jadi itu prinsip mendiang bapak saya yang terus saya pegang hingga saat ini. Jujur dan berusaha sebaik mungkin, jika ada masalah pasti nanti Tuhan akan menolong lewat orang-orang di sekitar kita,” tutur Brigjen TNI Nugraha Gumilar kepada benang.id di sela-sela acara peluncuran bukunya berjudul “Anak Yatim Jadi Jenderal: Tragedi Pesawat Nurtanio” di Jakarta, akhir pekan lalu (24/6/2023).
Brigjen TNI Nugraha Gumilar berharap bukunya bisa memberikan inspirasi khususnya kepada kaum muda untuk bekal menghadapi tantangan ke depan yang makin kompleks.
Terlahir 23 Januari 1968 di Bandung, Jawa Barat, sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara, Gumilar –demikian ia akrab disapa—mengalami perjalanan panjang hidupnya dari satu kegagalan ke kegagalan yang lain. Namun di saat itu pula ia selalu mendapatkan pertolongan Tuhan.
Bahkan “kegagalan” sudah ia rasakan saat ia lahir. Betapa tidak, orangtuanya Nazar Gumbira dan Rosidah mengatakan bahwa Gumilar adalah anak yang tidak diharapkan. Karena saat itu orantuanya menganggap memiliki enam anak sudah lebih dari cukup, ditambah kondisi ekonomi mereka yang jauh dari berkecukupan. Terlebih Rosidah mengalami pendarahan yang cukup hebat saat melahirkan anak keenam. Namun kedua orangtua Gumilar tetap menerimanya sebagai titipan Tuhan.
Ternyata, di awal hidupnya pun Tuhan sudah turun tangan menolong. Bayi yang tidak diharapkan itu ternyata membawa keberuntungan. Ketika ia lahir, sang ayah Nazar Gumbira berkesempatan sekolah di Belanda. Karena itulah ia lantas diberi nama Nugraha Gumilar yang artinya anugerah yang terhampar.
Pertolongan Tuhan terus dirasakan Gumilar dan keluarga. Pun saat ayahnya, Nazar Gumbira meninggal dunia akibat jatuhnya Pesawat Casa 212 Nurtanio pada Januari 1980. Gumilar yang kala itu masih berusia 12 tahun terpaksa menjadi Yatim. Sejak itu Gumilar tidak punya figur bapak dan dibesarkan oleh ibu yang berjuang membesarkan ketujuh anak-anaknya.
“Ibu saya jualan di pasar. Karena bapak mendadak meninggalnya (kecelakaan pesawat-red), dia tidak siap ditinggalkan, lain halnya jika sakit kan sudah siap. Ibu lagi makan pagi tiba-tiba ada berita kecelakaan pesawat itu, ibu merasakan seakan langit rumah runtuh,” papar Gumilar.
Menurut dia, ibunya waktu itu bingung mau berbuat apa karena cuma berjualan di pasar harus menghidupi anak yang masih kecil-kecil.
“Hanya satu yang sudah menikah baru setahun artinya kehidupan ekonominya pun masih berat. Saya masih SD, jadi belum ada yang bisa dijadikan pegangan,” kenang Gumilar.
Tuhan pun bekerja. Ketika kesulitan semakin terasa, sekitar tahun 1982, atau 2 tahun sepeninggal ayahnya, Nurtanio memberikan kesempatan kepada para janda korban keselakaan pesawat Casa untuk membuka usaha kantin di Nurtanio. Hal ini tentu saja mendatangkan perbaikan hidup keluarga.
Pertolongan Tuhan melalui tangan orang di sekitar Gumilar kembali terjadi saat ia lulus SMA. Sadar kemampuan finansial keluarga, Gumilar berusaha mencari pendidikan lanjut yang tidak memungut biaya alias gratis. Mulai dari Akmil, Ilmu Gizi, Ilmu Pelayaran, hingga keperawatan. Pilihan jatuh ke Akmil. Mengetahui anak bungsunya itu mendaftar ke Akmil, sang ibu memberikan secarik kertas yang isinya berpesan agar Gumilar menemui seseorang di Kantor Komando Pemeliharaan Materiil Angkatan Udara (Koharmatau) di Husein Satranegara. Ia adalah Marsekal Pertama TNI Soemarno PS, Wakil Komandan Koharmatau saat itu yang ternyata adalah mantan komandan mendiang ayahnya, Nazar Gumbira. Singkat cerita setelah ia menghadap dan mendapat pesan untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin menghadapi test, Gumilar lolos menjadi tentara.
“Itu yang terjadi saya bisa masuk tentara bukan karena hebat tapi karena Tuhan bekerja melalui orang lain. Pemahaman saya begini misalnya kita punya anak buah kinerjanya jelek banget terus dia kesulitan minta tolong, kita tentu males kan mau menolong. Nah, kalau bapak saya kerjanya jelek gak mungkin kan saya dibantu. Itu kesimpulan saya. Coba kalau bapak saya korupsi, orangnya begajulan, dan hal jelek lainnya Komandan itu tentu bilang ah ini anak pasti kayak bapaknya,” jelas Gumilar seraya tertawa.
Lebih jauh Brigjen TNI Gumilar mengungkapkan bahwa sukses juga berarti berani menolak suap dan tidak pernah punya utang.
Menurut dia, sang ayah Nazar Gumbira merupakan orang jujur. Ia bekerja di industri pesawat bagian sparepart. Nazar memiliki prinsip sparepart itu harus nomor satu, karena menyangkut keselamatan penerbangan.
“Kalau ada yang menawarkan sparepart pesawat no 2 sambil ngasih uang beliau gak mau. Soal ini bapak saya tegas,” ucap Gumilar.
Ia lantas bercerita di saat sang ayahnya tidak ada di rumah, ibunya menerima tamu yang memberikan sesuatu barang plus amplop berisi uang. “Begitu tau bapak saya marah besar. Beliau bilang kepada ibu saya: ‘kalau kamu makan uang ini anak-anak kelak hidupnya bakal susah’. Kisah itu sangat berkesan kepada saya dan saya jadikan pegangan hidup. Tidak terima suap dan juga jangan pernah punya utang. Itu yang sangat saya kenang dari bapak saya,” cerita Gumilar.
Bukan sekadar basa-basi, Gumilar mengaku sama sekali belum pernah berutang sepanjang perjalanan hidupnya. Lantas bagaimana dengan kebutuhan mendadak atau darurat? Untuk ini ia punya kiat. “Kalau butuh duit saya bisa jual apa yang saya punya untuk memnuhi kebutuhan hidup. Misalnya mobil bisa saya jual terus beli yang lebih murah, selisih uang itulah untuk memenuhi kebutuhan hidup,” aku Gumilar. “Sampai sekarang seperak pun saya gak pernah punya utang,” sambung dia.
Tertempa hidup yang keras sejak kecil membuat Brigjen TNI Nugraha Gumilar lebih memilih menjalani hidup sederhana meski saat ini berkecukupan. Mapan secara karir dan ekonomi, menyandang bintang satu dan gelar S3.
“Saat tentara pangkat letnan, ketika ekonomi sulit saya bisa makan cuma nasi dan telor ceplok pakai kecap dan bawang merah. Saya pikir makan mewah atau sederhana yang keluar di belakang kan sama juga kotornya. Bau juga kenapa harus makan enak?” katanya tertawa.
Di samping kejujuran, bekerja keras, tidak mempunyai utang juga ia ajarkan kepada anak-anaknya. “Mungkin karena saya tidak berbisnis ya, jadi tidak perlu berutang. Kalau pebisnis mungkin harus utang untuk modal usaha,” ujarnya.
Dalam bukunya “Anak Yatim Jadi Jenderal: Tragedi Pesawat Nurtanio”, Brigjen TNI Dr Nugraha Gumilar MSc berbagi kisah hidupnya sejak lahir, ditinggal ayahnya, tumbuh dan berkembang menjadi pribadi dewasa berintegritas, kisah kasih dengan pendamping hidupnya, hingga sukses menyandang pangkat jenderal bintang satu. Selain kisah hidup yang terbagi dalam 17 bab, buku setebal 183 halaman yang ditulis oleh Andhini ini juga memuat sejumlah testimoni tentang pribadi Brigjen TNI Nugraha Gumilar.
Terakhir, ia kembali mengingatkan bahwa di dalam hidup kita ada orang-orang di sekitar yang membantu berkat tangan Tuhan. “Saya bisa jadi jenderal juga karena banyak menerima bantuan, bukan karena hebat.Hidup itu harus bermasyarakat, banyak membantu orang lain,” katanya. (*)