Jakarta, benang.id – Badan Anggaran (Banggar) DPR RI menyatakan langsung menyepakati usulan pemerintah untuk membuat desain APBN 2022 bisa maksimal sebagai absorber atas tekanan eksternal. Formulasi ini bertujuan untuk memberikan perlindungan maksimal terhadap segenap rakyat, khususnya terhadap kelompok rentan, yakni keluarga miskin. Namun dalam menjalankan fungsi absorber, prinsip APBN sehat tetap harus menjadi prinsip penting bagi tata kelola keuangan negara.
Demikian dikemukakan Ketua Banggar DPR RI MH Said Abdullah dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (7/9/2022).
Said Abdullah menjelaskan bahwa menghadapi tekanan eksternal berupa tingginya harga minyak dunia, pada tanggal 19 Mei 2022 Banggar DPR telah menyetujui usulan pemerintah untuk mengubah asumsi Indonesia Crude Price (ICP) yang semula dipatok 63 menjadi US$ 100 per barel. Penyesuian ini memberikan ruang gerak fiskal yang cukup bagi pemerintah untuk merespon harga minyak dunia yang masih volatile tetapi diharga tinggi. Minyak jenis brent misalnya sepanjang Agustus sampai Septermber 2022 di level US$ 91-105 per barel.
“Sebagai negara nett importir minyak situasi ini tentu berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi oil energy kita di dalam negeri. Selama satu semester 2022 realisasi lifting minyak bumi kita hanya mencapai 614,5 ribu barel per hari, dari target lifiting APBN 2022 sebesar 635-703 ribu barel per hari,” tuturnya.
Menurut Said Abdullah, selama rentang Januari – Agustus 2022 penggunaan pertalite telah mencapai 19,5 juta kilo liter, dari kuota 23 juta kilo liter. Terhadap penggunaan solar subsidi pada rentang waktu yang sama mencapai 11,4 juta kiloliter dari kuota 14,9 juta kiloliter.
Permintaan tinggi terhadap pertalite dan solar, sambung dia, sejalan dengan makin membaiknya pemulihan ekonomi masyarakat. Pada kuartal II- 2022 lalu pertumbuhan ekonomi Indonesia telah mencapai 5,44% (yoy). Pertumbuhan ini telah memposisikan situasi ekonomi Indonesia sedikit lebih baik dari sebelum pandemi Covid-19.
“Ekonomi kita yang pulih ini wajib kita syukuri, tetapi ada resiko kebutuhan pertalite dan solar yang meningkat drastic,” ucap Ketua Banggar DPR RI.
Akibatnya, lanjut Said Abdullah, pemerintah menghadapi dua persoalan sekaligus yang harus diselesaikan, yakni tekanan harga karena tingginya harga BBM, sekaligus membangkaknya kebutuhan pertalite dan solar karena permintaan yang naik.
Terhadap tingginya harga minyak dunia, karena sebagian besar kebutuhan minyak dari impor, pemerintah telah menaikkan harga BBM, baik yang subsidi maupun kompensasi pada 3 September 2022 lalu.
“Banggar DPR memberikan apresiasi atas langkah ini, sebab Banggar DPR sebenarnya sejak sebulan lalu telah mendorong agar mengubah tarif BBM,” tandas Said Abdullah.
Terhadap kebutuhan penambahan kuota, pemerintah telah menambah kuota BBM bersubsidi, untuk Pertalite dari semula 23 juta kiloliter menjadi 29 juta kiloliter, sedangkan untuk solar dari semula 14,9 juta kiloliter menjadi 17,4 juta kiloliter.
Atas kebijakan ini, kata Said, berkonsekuensi penambahan anggaran subsidi dan kompensasi energi yang semula Rp. 502 triliun menjadi Rp. 698 triliun. Asumsi ini belum memperhitungkan kenaikan harga BBM per 3 September lalu. Dengan memasukkan komponen perubahan harga harga BBM per 3 September 2022 lalu diperkirakan anggaran subsidi dan kompensasi energi menjadi Rp 650 triliun.
“Atas langkah cepat pemerintah ini Banggar DPR juga memberikan apresiasi sebagai upaya pengamanan kebutuhan stok BBM, khususnya BBM bersubsidi untuk rakyat, karena hal ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” kata Said Abdullah.
Namun Banggar DPR mengharapkan pemerintah untuk mengambil langkah langkah strategis, antara lain;
Pertama, Besaran subsidi dan kompensasi BBM telah disetujui oleh Banggar sebesar Rp 502 triliun. Bila dalam perjalanannya bergeser, seperti yang disampaikan pemerintah bertambah menjadi sekitar Rp 650 triliun, sesungguhnya pemerintah bisa menempuh kebijakan seperti tahun sebelumnya, yakni kekurangan bayar terhadap pertamina yang dibiayai pada APBN 2023 setelah ada audit dari BPK. Namun Banggar DPR menyarankan ruang kekurangan bayar itu maksimal di rentang Rp 100-140 triliun dengan menyesuaikan pergeseran harga ICP, dan kurs rupiah terhadap US Dolar
Kedua, Terus melakukan operasi pasar, sebab gap harga yang tinggi antara BBM bersubsidi penuh dengan yang tidak bersubsidi penuh cukup lebar. Potensial para pengguna pertamax berpindah ke pertalite, meskipun pemerintah telah melakukan pembatasan para pengguna pertalite. Tingginya permintaan terhadap pertalite dan solar berpotensi untuk diselundupkan atau ditimbun. Dan kejadian seperti ini telah beberapa kali tertangkap oleh polisi.
Oleh sebab itu pemerintah perlu memastikan distribusi dan ketersediaan pertalite dan solar diseluruh wilayah tanah air. Untuk mencegah penyelundupan pertalite dan solar, TNI harus memberikan dukungan operasi operasi di laut, sebab wilayah laut menjadi ruang potensial penyelundupan BBM bersubsidi kita.
Ketiga, Memastikan kebutuhan solar dan pertalite untuk petani, nelayan, pelaku usaha mikro, tukang ojek, dan pendataan oleh Pertamina tidak mempersulit akses mereka terhadap BBM ini. Selain itu segerakan integrasi data pemilik kendaraan di Korlantas Polri dengan My Pertamina, sehingga warga tidak perlu melakukan input manual ke MY Pertamina.
Keempat, Melakukan operasi dan intervensi pasar atas kenaikan beberapa kebutuhan bahan pokok rakyat karena kenaikan harga BBM. Ulasan dari beberapa media telah menunjukkan beberapa bahan pangan rakyat perlahan naik dibeberapa tempat. Oleh sebab itu kegiatan operasi dan intervensi pasar harus cekatan, serta mempersiapkan dukungan kemampuan stok Bulog.
Terakhir, Said Abdullah mengaku banyak sekali wartawan yang melontarkan pertanyaan kepadanya, apakah penambahan anggaran subsidi dan kompensasi BBM ini telah mendapatkan persetujuan kepada DPR.
“Agar tidak menjawab satu per satu dari kawan kawan wartawan, perlu saya berikan penjelasan bahwa APBN 2022 masih terikat dengan kerangka Undang Undang No2 tahun 2020 tentang Perppu No 1 tahun 2020,” jelas Said Abdullah.
Ia kemudian memaparkan bahwa Perppu No1 tahun 2020 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan relokasi dan refokusing anggaran. Hal itu telah ditempuh oleh pemerintah melalui Program PEN sejak 2020. Relokasi dan refocusing anggaran cukup ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Sesuai Perppu No 1 tahun 2020, pemerintah berwenang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang ljasa, termasuk penggunaan anggaran SAL, dana abadi pendidikan, dan anggaran BLU. Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang undang ini, maka pemerintah berhak menetapkan besaran belanja subsidi dan kompensasi BBM.
“Berbeda dengan tahun depan, karena APBN 2023 tidak lagi terikat dengan Undang Undang No 2 tahun 2020, maka setiap melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia harus mendapatkan persetujuan DPR,” tutup Ketua Banggar DPR RI. (*)