Yogyakarta, benang.id – Bank Indonesia (BI) melanjutkan stance Kebijakan Makroprudensial yang akomodatif pada tahun 2024, kata Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (DKMP BI) Nugroho Joko Prastowo.
Nugroho Joko Prastowo mengatakan hal itu saat menjadi narasumber dalam focused group discussion (FGD) dengan topik “Perkembangan Stabilitas Sistem Keuangan dan Kebijakan Makroprudensial Terkini” di Hotel Marriot, Yogyakarta, Senin (11/11/2024).
Hadir dalam FGD yang digelar DKMP BI itu Hermanto –Deputi Kepala KPwBI DIY, dan Y Sri Susilo –Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan FBE UAJY. Selaku moderator Ima Nurmalia Kurniati –Deputi Direktur DKMP BI. Hadir juga 30 peserta aktif FGD yang merupakan perwakilan Akademisi, ISEI Cabang Yogyakarta, Perbankan, dan Pengusaha di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
“DKMP BI secara rutin berkesinambungan menyelenggarakan sosialisasi Kebijakan Makroprudensial kepada pemangku kepentingan di seluruh Indonesia”, jelas Nugroho di awal pemaparan materi sosialisasi.
Menurut Nugroho, pemangku kepentingan termaksud meliputi Akademisi (PTN/PTS/ISEI), Perbankan (BUMN, Swasta dan BPD), serta beberapa Asosiasi Pengusaha.
Nugroho yang pernah menjadi kepala KPwBI Solo menjelaskan kebijakan Makroprudensial yang akomodatif tersebut mencakup: (1) mendorong pertumbuhan kredit / pembiayaan, (2) menjaga ketahanan system keuangan, dan (3) menorong keuangan inklusif dan hijau.
“Khusus pertumbuhan kredit diperkirakan 10-12% pada tahun 2024 dan meningkat ke 11-13% pada tahun 2025”, jelas Nugroho Joko Prastowo.
Menurut Nugroho, Kebijakan Makropudensial tahun 2024 yang pro growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan tetap menjaga stabilitas sistem keuangan (SSK).
Sedangkan Hermanto menjelaskan peran Kantor Perwakilan BI (KPwBI) DIY dalam mendorong penguatan SSK melalui Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) dan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensila (KLM).
“Prospeknya ke depan, kami melihat penyaluran kredit perbankan masih perlu didorong pada sektor-sektor prioritas terutama yang memiliki growth kredit rendah”, jelas Hermanto.
Menurut nya, juga perlu dipertimbangkan pula aspek risiko yaitu non performance loan (NPL) masing-masing sektor ekonomi.
Dalam rangka mendorong penguatan SSK, KPwBI DIY mendorong terbentuknya UMKM Potensial yang layak dibiayai secara merata di berbagai wilayah serta intensifikasi pengmabnagan UMKM berbasis korporatisasi, peningkatan dan pembiayaan. Selanjutnya memetakan sektor-sektor potensial di daerah dengan kriteria ekonomi kuat, prosepek dan manajemen risiko yang baik sehingga dapat menjadi sektor potensial untuk perluasan KLM.
“Kami berupaya memperkuat sinergi kebijakan dengan Kantor Pusat dan K/L dalam mengawal sisi pembiayaan”, tegas Hermanto.
Di samping itu, juga mengawal kebiajkan lain seperti peningkatan potongan kewajiban GWM, restrukturisasi kredit, dan penjaminan kredit untuk seluruh sektor yang bertumpu pada pasar domestik.
Selanjutnya Y Sri Susilo menyatakan bahwa ada keterkaitan yang kuat antara aktivitas Pendidikan Tinggi, Pariwisata dan UMKM/Industri Kreatif. “Ketiga aktivitas tersebut disinergikan agar kontribusinya terhadap perekonomian dapat meningkat”, jelas Susilo yang juga Sekretaris ISEI Cabang Yogyakarta.
Menurut Susilo, diperlukan upaya Pemerintah Provinsi DIY dalam mengarahkan pariwisata dari mass tourism menuju quality tourism. Pada hasil simulasi dibuktikan bahwa mendorong length of stay selama 2 hari 1 malam dengan kelas pengeluaran turis sebesar Rp3.000.000-Rp5.000.000 dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Provinsi DIY sebesar 5,3% setiap tahunnya hingga tahun 2030.
“Pemerintah Provinsi DIY perlu mendorong ‘Eventonomics’ dengan mendorong aktivitas red-hot industry, multisport, dan MICE (Meeting, Incentive, Convention, dan Exhibition) sebagai alat yang dapat mendorong sektor yang berhubungan dengan UMKM/Ekonomi Kreatif”, jelas Susilo dalam rilisnya kepada media. (*/GK)