Jakarta, benang.id – Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya. Budayawan, sosiolog, dan juga filsuf Ignas Kleden wafat Senin pagi (22/1/2024) dalam usia 75 tahun.
Kabar tentang meninggalnya Ignas Kleden disampaikan adik perempuan almarhun, Hermien Y Kleden melalui pesan WhatsApp kepada benang.id pada Senin siang.
“Terakhir Pak Ignas dirawat selama satu pekan di RS Suyoto, Jakarta Selatan. Beliau berpulang meninggal tadi pagi 03.41 WIB di RS Suyoto,” ujar Hermien.
“Beliau meninggalkan isteri, Dr Ninuk Kleden – Probonegoro, antropolog. Dan anak tunggal, Dr Paskal Kleden,” sambung Hermien.
Menurut Hermin, Ignas Kleden meninggal akibat menderita gagal ginjal.
Jenazah Ignas disemayamkan di Rumah Duka Carolus Lantai 3, Ruang Mikael E. Misa Requiem dan tutup peti akan diadakan Selasa (23/1/2024) pukul 18.30 WIB dan Misa Pelepasan pada Rabu (24/1/2024) pukul 19.00 WIB.
Adapun jenazah Ignas Kleden akan dikremasi di Krematorium Rumah Duka Carolus, ruang Paulus Lt R, Rabu (24/1/2024) pukul 11.00 WIB.
Kritis dan berani melawan arus
Lahir di Larantuka, Flores Timur, NTT, pada 19 Mei 1948, Ignas adalah seorang sosiolog dan sarjana filsafat Indonesia yang dikenal dengan pemikirannya yang kritis dan berani melawan arus.
Sejak kecil, Ignas sudah menunjukkan kecerdasan dan ketertarikannya pada dunia intelektual.
Ia lulus dengan predikat terbaik di sekolah dasar, dan kemudian diterima di seminari di Flores untuk menjadi pastor. Tapi, setelah beberapa tahun di seminari, Ignas mulai menyadari bahwa dirinya tidak cocok untuk menjadi pastor.
Alasannya, ia merasa tidak bisa menjadi pengkhotbah yang baik, dan lebih tertarik untuk mengembangkan gagasan keilmuan dengan menulis. Setahun lagi ditahbiskan menjadi pastor, Ignas memutuskan keluar dari seminari. Dia yakin bahwa keputusan itu adalah pilihan yang tepat untuknya.
Selepas dari seminari, Ignas melanjutkan pendidikannya di Jerman dan meraih gelar sarjana muda di bidang filsafat, serta kemudian gelar master dan doktor di bidang sosiologi.
Selama di Jerman itulah, Ignas mulai aktif menulis untuk majalah-majalah dan jurnal di Indonesia. Ia pun kerap berdiskusi dengan para intelektual dan aktivis, dan mulai mengembangkan pemikirannya tentang berbagai isu sosial dan politik. (*/berbagai sumber)