Kupang, benang.id – Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak Nusa Tenggara Timur (APPA NTT) menyatakan keprihatinan mendalam dan mengecam keras tindakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam menyusun dakwaan kasus kejahatan seksual yang melibatkan mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja. Dalam persidangan tertutup di Pengadilan Negeri Kupang, Senin (30/6/2025),
JPU justru memposisikan Fani Doko (F)—korban eksploitasi seksual dan kekerasan struktural—sebagai pelaku utama dalam dakwaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dengan empat pasal berlapis dan ancaman hingga 20 tahun penjara.
Fani adalah korban yang diperdaya oleh Fajar. Fajar memanfaatkan kekuasaan dan ketimpangan sosial-ekonomi untuk memaksa dan memanipulasi F menjadi alat perekrutan korban lain. Dalam konteks ini, Fani bukanlah pelaku otonom, melainkan bagian dari rantai kekerasan dan eksploitasi yang dirancang oleh Fajar. Maka, menghukum Fani lebih berat dari Fajar adalah bentuk reviktimisasi—yakni kekerasan kedua dari sistem hukum yang seharusnya melindungi korban.
Lebih ironis lagi, dakwaan terhadap Fajar justru tidak mencakup pasal-pasal utama seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), UU Perlindungan Anak, dan UU TPPO. Ini bertentangan dengan rekomendasi resmi Komisi III DPR RI yang pada 22 Mei 2025 meminta aparat penegak hukum menjerat Fajar dengan pasal-pasal yang mencerminkan beratnya kejahatan seksual yang ia lakukan, termasuk unsur penyalahgunaan narkotika dan kekuasaan.
Menanggapi hal ini, Koordinator APPA NTT yang juga ketua TP PKK NTT, Asti Laka Lena, menyatakan keprihatinannya. “Kami mengecam model dakwaan yang mengaburkan pelaku utama dan justru mengorbankan korban. Ini mencederai rasa keadilan dan mengabaikan rekomendasi dari lembaga tinggi negara. Seharusnya, keadilan berpihak pada yang lemah dan korban, bukan melindungi kekuasaan,” ujar Asti, dalam keterangan resminya, Selasa (1/7/2025).
Sementara itu, Penasihat APPA NTT, Pdt. Mery Kolimon, menilai bahwa kasus tersebut merefleksikan ketimpangan relasi gender yang sangat menyedihkan di dalam masyarakat. “F ini adalah korban dari penyalahgunaan kekuasaan dan posisi rentan. Dari sudut pandang iman, kita dipanggil untuk melindungi yang lemah dan tertindas. Proses hukum yang adil adalah wujud dari panggilan itu, dan apa yang kita saksikan dalam dakwaan ini adalah sebuah ironi yang menyakitkan. Kami mendorong para penegak hukum mempertimbangkan fakta bahwa F adalah korban dalam kasus ini,” tutur Pdt. Mery.
Kecaman keras juga datang dari Ketua Forum Perempuan Diaspora (FPD) NTT, Sere Aba. “Model persidangan yang terkesan timpang dan berat sebelah ini harus dilawan. Ini adalah preseden buruk bagi penegakan hukum di NTT. Bagaimana mungkin seorang korban yang jelas-jelas dieksploitasi justru yang dihadapkan pada ancaman hukuman paling berat, sementara terduga pelaku utama seakan mendapat karpet merah? Kami mengecam keras praktik hukum yang mencederai rasa keadilan ini,” tegasnya.
Menanggapi hasil persidangan tertutup di Pengadilan Negeri Kupang, Senin (30/6/2025) tersebut, APPA NTT mengajukan tuntutan:
-
Kejaksaan Tinggi NTT harus segera meninjau ulang dakwaan terhadap Fani Doko dan AKBP Fajar.
-
Fani Doko harus diperlakukan sebagai korban dan saksi penting, bukan pelaku utama.
-
AKBP Fajar harus dijerat dengan pasal-pasal berat sesuai UU TPKS, UU Perlindungan Anak, dan UU TPPO, sebagaimana direkomendasikan oleh Komisi III DPR RI.
-
Pengadilan harus memastikan transparansi dan akuntabilitas agar keadilan ditegakkan, bukan menjadi instrumen perlindungan pelaku kekerasan seksual.
APPA NTT mengingatkan bahwa penegakan hukum yang adil bukan hanya menyangkut legalitas, tetapi juga moralitas dan kemanusiaan. “Jangan sampai ruang peradilan menjadi ruang gelap perjudian antara kepentingan para APH serta panggung impunitas bagi pelaku kejahatan seksual dan perdagangan orang, di mana yang lemah dikorbankan untuk kedua kalinya sementara para penjahat dibenarkan dan dipuja- puji,” demikian APPA NTT.
Sidang kasus mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja dilanjutkan pada 7 Juli 2025 mendatang dengan agenda mendengarkan eksepsi atau pembelaan dari terdakwa.
Rekomendasi Komisi III DPR RI

Sebelumnya, usai menerima Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) NTT, Selasa (20/5/2025), di Komisi III DPR RI, Jakarta, Komisi III DPR RI kemudian mengeluarkan rekomendasi, yang isinya:
Pertama, meminta Kapolda Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTT bersinergi dalam penanganan perkara kekerasan seksual yang dilakukan oleh mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja secara transparan dan akuntabel.
Kedua, Komisi III DPR RI juga meminta Kapolda NTT dan Kajati NTT memastikan AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja dijerat dengan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU No. 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Ketiga, Komisi III DPR RI juga meminta Polda NTT untuk melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana kekerasan seksual di Nusa Tenggara Timur secara komprehensif, serta bekerja sama dengan berbagai kementerian/lembaga terkait.
Adapun RDP APPA NTT- Komisi III DPR RI tersebut dihadiri oleh Rm Leo Mali Pr, Asti Laka Lena (Ketua TP PKK Provinsi NTT), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) RI, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI, Ombudsman Republik Indonesia, dan Komisi Nasional Disabilitas (KND) RI. (*/GK)