Thursday, July 10, 2025
No menu items!
spot_img
HomeOpiniEkonomi RI Genting, Saatnya Bertindak Nyata dan Berani --OPINI

Ekonomi RI Genting, Saatnya Bertindak Nyata dan Berani –OPINI

Dr Anggawira

Oleh: Dr Anggawira *)

Laporan INDEF yang menyebut kondisi ekonomi Indonesia saat ini dalam situasi “genting” seharusnya tidak diabaikan. Perlambatan pertumbuhan, melemahnya konsumsi, serta ketergantungan berlebih pada ekspor komoditas membuat fondasi ekonomi nasional rentan terhadap gejolak eksternal.

Pertumbuhan ekonomi kita pada kuartal I-2025 hanya mencapai 5,01%, melambat dari 5,11% pada periode yang sama tahun lalu. Ini terjadi saat sejumlah negara tetangga justru menunjukkan resiliensi yang lebih kuat. Vietnam tumbuh 5,7%, Filipina 6,0%, dan India bahkan mencatat 7,8% pada periode yang sama.

Perbedaan utama bukan hanya soal fiskal, tetapi kecepatan dalam memodernisasi struktur ekonomi dan menyiapkan pelaku usahanya. Di sinilah letak tantangan utama Indonesia: terlalu lambat melakukan reformasi struktural yang berpihak pada sektor produktif dan berdaya saing tinggi.

1. Industri Belum Jadi Tulang Punggung Sejati
Pemerintah memang telah menggulirkan program hilirisasi sumber daya alam, namun belum diimbangi dengan penguatan sektor industri pengolahan nonmigas. Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB nasional justru menurun, dari 20,48% pada 2013 menjadi hanya 18,75% pada 2024. Bandingkan dengan Vietnam, yang sektor industrinya menyumbang lebih dari 25% PDB dan menjadi magnet investasi asing karena kemudahan berusaha dan kejelasan insentif.

Kita masih didominasi industri padat karya dengan teknologi rendah, sementara dunia telah bergerak ke arah manufaktur berbasis otomasi, digitalisasi, dan energi hijau. Ini menyebabkan Indonesia kehilangan momentum menjadi pusat industri regional di tengah relokasi besar-besaran dari Tiongkok.

2. Kredit Menengah: Jantung Ekspansi UMKM dan Agroindustri
Hipmi mencermati adanya missing link dalam kebijakan pembiayaan. Saat kredit mikro sudah masif, dan pembiayaan korporasi besar tetap dijaga, segmen pelaku usaha menengah—terutama yang membutuhkan kredit Rp5–100 miliar—masih sulit mengakses pembiayaan dari perbankan.

Padahal, kelompok inilah yang paling siap naik kelas dan menggerakkan sektor strategis, termasuk agroindustri. Indonesia memiliki potensi besar dalam pertanian dan pangan, namun selama ini nilai tambah masih dinikmati oleh negara lain. Nilai ekspor olahan pertanian kita masih di bawah USD 20 miliar, tertinggal dari Thailand (USD 33 miliar) dan Vietnam (USD 25 miliar).

Hipmi merekomendasikan penciptaan skema kredit produktif menengah berbasis project finance, penjaminan dari lembaga penjamin pemerintah, dan insentif fiskal bagi sektor agroindustri skala nasional maupun daerah.

3. UMKM dan Rantai Nilai Global
UMKM menyumbang lebih dari 60% PDB dan menyerap 97% tenaga kerja nasional. Tapi kontribusinya terhadap ekspor hanya sekitar 14,3%, jauh tertinggal dari Korea Selatan (40%) atau Thailand (29%).

Jika UMKM tidak dilibatkan dalam rantai pasok industri dan ekspor, maka stimulus yang diberikan hanya akan bersifat jangka pendek dan tidak menciptakan transformasi struktural. Pemerintah harus mendorong sistem kemitraan terintegrasi, insentif berbasis integrasi vertikal, dan pembukaan akses ekspor melalui digitalisasi, pelatihan ekspor, dan konsolidasi logistik.

4. Jangan Takut Ekspansif, Asal Tepat Sasaran
Kondisi global memang tidak menentu, namun bukan alasan untuk bersikap pasif. Hipmi menilai bahwa pemerintah harus berani bersikap ekspansif dalam stimulus fiskal, asalkan tepat sasaran. Targetkan belanja modal untuk infrastruktur produktif, fasilitas riset industri, dan insentif bagi investasi teknologi tinggi serta padat karya berkualitas.

Di sisi lain, penerapan PP 28/2025 soal penyederhanaan izin usaha patut diapresiasi. Namun implementasinya di lapangan harus benar-benar diawasi agar tidak sekadar menjadi jargon. Dunia usaha memerlukan kecepatan, kepastian, dan keberpihakan nyata.

Penutup
Ekonomi Indonesia tidak boleh terus bergantung pada komoditas. Transformasi menuju negara industri modern, berbasis teknologi, dan berdaya saing tinggi harus menjadi misi bersama. Untuk itu, Hipmi siap menjadi mitra strategis pemerintah, menawarkan gagasan, sumber daya muda, dan jaringan yang tersebar di seluruh Indonesia.

Tetapi pemerintah juga harus mulai mendengar lebih serius. Kita tidak butuh kebijakan populis yang viral, tetapi langkah nyata yang berdampak.

*) Sekretaris Jenderal BPP Hipmi

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments