Jakarta, benang.id – Menjelang Idulfitri, pelanggan gas dari sektor industri dan komersial non-PGBT (Pengguna Gas Bumi Tertentu) dikejutkan dengan lonjakan harga gas yang signifikan. Sejak kuartal pertama 2024, harga gas telah naik dari $10,2 per MMBtu menjadi $14,27 per MMBtu. Kenaikan lebih lanjut akan terjadi pada April 2025, dengan harga melonjak menjadi $16,89 per MMBtu, sebagaimana tertuang dalam surat pemberitahuan kepada pelanggan dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) pada akhir Maret 2025.
Kenaikan ini diduga terjadi akibat ketimpangan kebijakan energi yang membuat pelanggan non-PGBT harus menanggung biaya tinggi akibat keterbatasan pasokan gas dalam negeri. Penurunan produksi gas sekitar 15% dari Blok Koridor yang dikelola oleh Medco sejak kuartal pertama 2024 semakin memperparah situasi.
Lebih lanjut, keputusan pemerintah untuk memperpanjang kebijakan PGBT pada awal 2025 memperburuk keadaan. Pasokan gas pipa dialokasikan lebih dipriotitaskan ke pelanggan PGBT, sementara pelanggan non-PGBT harus bergantung pada tambahan LNG akibat berkurangnya suplai Akibatnya, harga gas bagi pelanggan non-PGBT melonjak hingga 60% dibandingkan kondisi normal sebelumnya.
Padahal, pelanggan non-PGBT membeli gas dengan harga yang lebih kompetitif dibanding pelanggan PGBT. Seharusnya, pemerintah berlaku adil, karena industri yang membeli gas dengan harga non-PGBT jelas lebih kompetitif dan membayar lebih tinggi. Namun, justru mereka yang harus menanggung beban kenaikan harga yang drastis, sementara pelanggan PGBT tetap mendapatkan harga yang lebih rendah.
“Situasi ini tidak adil. Pelanggan non-PGBT bukan penyebab kelangkaan gas, tetapi justru harus menanggung seluruh beban kenaikan harga. Kami mendesak pemerintah untuk segera bertindak mengatasi kekurangan pasokan gas dalam negeri,” ujar I Made Nugraha Jaya Wardana, Sekretaris Jenderal Aspebindo (Asosiasi Pemasok Energi Mineral & Batubara Indonesia), dalam keterangannya Sabtu (29/3/2025).
Kenaikan harga gas non-PGBT berdampak luas pada sektor industri. Industri seperti tekstil dan makanan terancam mengalami kenaikan biaya produksi sebesar 20-30%, yang berisiko menyebabkan PHK massal di sektor industri dan komersial jika harga gas tidak segera distabilkan setelah Lebaran. Selain itu, daya saing ekspor Indonesia dalam berbagai sektor industri juga berpotensi melemah akibat lonjakan biaya energi.
Sebagai langkah konkret, Aspebindo meminta pemerintah untuk mengalihkan sementara sebagian ekspor gas pipa ke Singapura untuk kebutuhan dalam negeri melalui PGN sebagai bentuk domestic market obligation (DMO). Langkah ini diyakini dapat menyeimbangkan pasokan, menekan biaya energi, serta menjaga keberlangsungan usaha industri dan sektor komersial.
Lebih dari itu, Aspebindo menekankan pentingnya kebijakan ketahanan energi nasional yang lebih adil dan proporsional bagi seluruh pelanggan. Pemerintah harus memastikan bahwa pasokan gas dalam negeri cukup untuk mendukung industri nasional sebelum mengutamakan ekspor. Kepastian pasokan gas yang stabil dan harga yang wajar akan menjadi faktor kunci dalam menjaga pertumbuhan ekonomi, kelangsungan industri, dan kesejahteraan tenaga kerja di Indonesia. (*/GK)