Friday, November 22, 2024
No menu items!
spot_img
HomeNasionalHukuman Mati Nir Keadilan

Hukuman Mati Nir Keadilan

Bandung, benang.id – Hukuman mati nir keadilan, demikian dinyatakan oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Liona Nanang Supriatna, menanggapi Vonis Mati terhadap kasus-kasus pembunuhan berencana, teroris, narkoba atau korupsi.

Menurut Liona, yang Alumni Fachbereich Rechtswissenschaft der Justus Liebig Universität Gießen, Jerman, secara juridis formal pidana mati (dood straf) yang diberlakukan di Hindia Belanda (Indonesia) pada tanggal 1 Januari 1918 adalah peninggalan Penjajahan Hindia Belanda.

Pemberlakuan pidana mati di Indonesia berdasarkan asas Konkordasi yang ternyata tidak konsisten dengan KUHPidana Belanda itu sendiri. Pasalnya Pemerintah Hindia Belanda memanipulasi hukuman mati, karena sejak tahun 1870 hukuman mati untuk masyarakat sipil ternyata telah dihapuskan dan bagi kalangan militer baru pada tahun 1983.

“Hukuman mati tetap diberlakukan di Hindia Belanda oleh penjajah, tujuan utamanya adalah sebagai dasar hukum untuk menghukum mati para Pejuang Indonesia yang menentang penjajahan Belanda,” tegas Alumni Lemhannas RI Angkatan 58 itu dalam keterangan tulisnya di Bandung, Kamis (16/2/2023).

Pidana mati bertentangan dengan tujuan pemidanaan

Liona Nanang Supriatna, pakar hukum HAM yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH Unpar). Foto: unpar.ac.id

President The Best Lawyers Club Indonesia (BLCI) ini lebih jauh mengatakan, dalam masyarakat yang modern serta dalam berbagai literatur terkini bahkan dalam KUHPidana baru  pidana mati dikeluarkan dari pidana pokok.

KUHPidana baru tujuan pemidanaan bagi pelaku tindak pidana tidak lagi semata-mata untuk balas dendam terhadap kejahatan apa yang dilakukan, melainkan mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat,  memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana, serta pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia, jika terpidana dihukum mati maka tujuan-tujuan pemidanaan di atas tidak akan pernah tercapai.

Pidana mati, lanjut Liona, juga kontradiktif dengan hukum positif. Menurut dia, pidana mati menimbulkan persoalan tersendiri jika ditinjau dari: Pertama UUD NRI 1945, khususnya Pasal 28 I ayat 1 yang menegaskan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kedaan apapun.

“Kedua, UU No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 4 secara tegas menyatakan hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun,” ujar Dewan Penasihat DPP ISKA dan Lawyers Social Indonesia (Lysoi) ini.

Dalam konteks hak asasi manusia, sambung Liona, kedua pasal di atas termasuk pada Non-derogable rights (hak yang tidak bisa dikesampingkan atau ditawar lagi) yakni hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun termasuk dalam keadaan perang, sengketa bersenjata dan atau dalam keadaan darurat.

“Ketiga, UU No. 2 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan, hukuman mati mengakibatkan tujuan dan fungsi dari pemasyarakatan tidak berguna, sementara itu pemasyarakatan bertujan meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian Warga Binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,” pungkas Liona. (*)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments