Tuesday, August 12, 2025
No menu items!
spot_img
HomeNasionalIman, Kebijakan Publik dan Keadilan Ekologis: Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan

Iman, Kebijakan Publik dan Keadilan Ekologis: Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan

Jakarta, benang.id – “Ini merupakan kesempatan istimewa bagi kita untuk berbagi refleksi terkait bagaimana kebijakan publik dapat memastikan komitmen untuk terus-menerus merawat ibu pertiwi dengan segenap kekayaan sumber daya alam demi kesejehteraan seluruh warga negara bangsa ini sesuai dengan sila kelima Pancasila”.

Demikian dikatakan Romo Mikael Peruhe OFM dalam sambutan pembuka Seminar Kebangsaan bertajuk “Iman, Kebijakan Publik dan Keadilan Ekologis: Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan” yang berlangsung di Ballroom Vitra, Jakarta, Sabtu (9/8/2025). Seminar digelar Ordo Fraterum Minorum (OFM) Provinsi St Mikhael Malaikat Agung Indonesia, yang juga bertepatan dengan 800 tahun Kidung Segenap Ciptaan yang digubah St Fransiskus Asissi dan 10 tahun Ensiklik Laudato Si’.

Rm Mikael Peruhe, selaku Minister Provinsi mengatakan bahwa melalui Kidung Segenap Ciptaan ini St Fransiskus memberikan perspektif baru tentang makna kehadiran segenap ciptaan yang memiliki dimensi sakral pada dirinya sendiri.

Madah alam semesta ini mengingatkan kita adanya konektifitas integral yang ada di antara ciptaan yang tidak terpisahkan dan membetuk suatu relasi kekeluargaan sebagai saudara dan saudari. Kidung ini memberi pesan panggilan bagi kita untuk merawat ibu pertiwi, supaya kita mulai beralih dari cara berpikir menjadi penguasa atas alam menjadi perawat yang bertanggung jawab atas keutuhan alam demi kebaikan bersama,” ujarnya.

Kata Rm Mikael Peruhe, sebagai warga negara bangsa Indonesia kita juga berkesempatan untuk merefleksikan visi ekologi integral sesuai dengan perspektif keimanan kita masing sambil mendorong adanya kebijakan publik yang mengedepankan keadilan ekologis yang berhubungan dengan erat kelestarian dan kutuhan alam tetapi kesejahteraan umum, terutana mereka yang miskin dan terpinggirkan (keadilan sosial)”, jealsnya.

Pembicara di acara Seminar Kebangsaaan yang digelar OFM, Sabtu (9/8/2025).

Seminar yang diikuti kurang lebih 400-an peserta dari berbagai kalangan ini menghadirkan dua orang keynote speaker, yakni Menteri Kehutanan RI, Raja Juli Antoni yang diwakili Mikael Gobachev Dom sebagai Tenaga Ahli Tenaga Ahli Menteri Kehutanan Bidang KSDA dan Prof Dr Martin Harun OFM.

Selain itu, seminar juga menghadirkan empat narasumber, yakni Dr Andreas Bernadinus Atawolo OFM, Rosa Vivian Ratnawati SH MSD selaku Sekretaris Kementerian Lingkungan Hidup yang diwakili Sasmita Nugroho, dan Sandryati Moniaga SH, serta Dr Siti Maimunah.

Dalam sambutan yang dibacakan Mikael Gobachev Dom, Menteri Kehutanan mengatakan bahwa kondisi krisis ekologi yang dihadapi Indonesia saat ini masalah politik, sosial, budaya, dan spiritual. Di tengah tantangan multidimensional ini, Kementerian Kehutanan telah melakukan berbagai upaya nyata.

Visi kami adalah memastikan tata kelola kehutanan yang menyeimbangkan tiga komponen utama yaitu, pelestarian hutan, pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat”, kata Menteri Kehutanan.

Visi ini lebih lanjut diimplementasikan dalam lima program prioritas strategis yang berpijak pada prinsip transparansi, keadilan dan keberlanjutan, yakni pertama, digitalisasi layanan kehutanan; kedua, penguasaan hutan yang berkeadilan; ketiga, pemanfaatan hutan untuk swasembada pangan; keempat, melindungi hutan sebagai paru paru dunia, perlindungan keanekaragaman hayati, restorasi lahan kritis, serta pengendalian deforestasi; kelima, kebijakan satu peta yang menyediakan data dasar dalam pengambilan kebijakan dan menghindari tumpang tindih yang berujung pada konflik tenurial di lapangan.

Pembicara di acara Seminar Kebangsaaan yang digelar OFM, Sabtu (9/8/2025).

Sedangkan Prof Dr Martin Harun OFM mengungkapkan keprihatinannya atas alam ciptaan yang kini dinodai dan dirusak manusia melalui sejumlah fakta kerusakan yang berdampak pada kesenjangan yang mengerikan dan berbahaya, tidak Pancasialis, melainkan neoliberal dan oligarkis.

Negara kita gagal melibatkan mayoritas bangsa dalam pembangunan. Ketika 10% warga terkaya Indonesia sudah menguasai 77% kekayaan nasional dan sisa kekayaan diperebutkan 90% rakyat, maka negara kita sedang menuju kegagalan mencapai Indonesia Emas”, tegas Guru Besar Emeritus STF Driyarkara ini.

Karena itu, tandasnya, dibutuhkan suatu spiritualitas keadilan sosial ekologis yang lahir dari nilai fraternitas (persaudaraan) dan minoritas (kerendahan) manusia yang mengarah pada pertobatan ekologis dan meresap dalam berbagai tindakan nyata. Gereja dan lembaga religius dapat menjadi kekuatan transformasi sistemik dan struktural agar lebih berdampak perubahan dan mempercepat solusi krisis.

Dalam pemaparannya, Rm Andre mengekplorasi secara khusus kekayaan spiritualitas keadilan sosial ekologis yang terkandung di dalam Kidung Segenap Ciptaan yang mengekpresikan visi persaudaraan semesta sebagai panggilan merawat bumi. Dalam kidung ini, lanjutnya, Fransiskus mengungkapkan tiga dimensi relasi sekaligus, yakni manusia dengan Allah, manusia dengan ciptaan lain dan manusia dengan sesama. Fransiskus yang memuji Tuhan bersama (cum) semua makhluk dan menyapanya sebagai saudari dan saudara sesungguhnya mewariskan beberapa prinsip keadilan sosial ekologis Fransiskan.

Penyerahan cinderamata pembicara di Seminar Kebangsaan yang digelar OFM, Sabtu (9/8/2025).

Prinsip tersebut meliputi, pertama, persaudaraan semesta yang melibatkan segenap ciptaan; kedua interbeing dan interdependen bahwa setiap makhluk dan elemen ciptaan terhubung dan tergantung satu sama lain; ketiga, minoritas bahwa manusia dalam kerendahannya menempatkan diri sebagai bagian dari komunitas semesta, bukan sebagai penguasa melainkan saudara bagi ciptaan lain yang membangun relasi setara; keempat, martabat manusia bahwa sebagai pribadi menjadi semakin utuh karena relasi dengan segenap ciptaan, bukan sebagai individu. Prinsip keadilan sosial ekologis itu menjadi syarat agar terciptanya perdamaian semesta, ketika manusia tidak bersikap dominatif, melainkan penuh kasih dan kepedulian.

Panggilan merawat bumi sebagai rumah bersama berarti berani berkata cukup dan menghindari eksploitasi terhadap ciptaan, melawan logika bisnis untuk mendapat keuntungan maksimal dengan biaya minimal, membangun solidaritas terutama dengan mereka yang paling rentan, berdamai dengan segenap ciptaan, dan menurunkan level gaya hidup yang terlalu mahal dan menghabiskan porsi energi yang lebih banyak, sehingga banyak orang miskin tidak mendapat bagian haknya”, tegas Dosen STF Driyarkara ini.

Sementara Rosa Vivien Ratnawati SH MSD mengakui bahwa masalah lingkungan hidup tidak hanya berdampak buruk bagi penghidupan masyarakat, tetapi juga menimbulkan konsekuensi ekonomi yang mahal. Indonesia memiliki posisi rentan atas berbagai dampak kerusakan seperti kelangkaan air dan pangan, kerusakan ekosistem lahan dan hutan, dan penurunan kualitas kesehatan.

Karena itu, melalui pasal 1 butir 3 UU UUPPLH Pemerintah diberi mandat untuk mengelola lingkungan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, yakni keadilan antargenerasi, keadilan dalam satu generasi, kehati-hatian, pencemaran terbayar, perlindungan keanekaragaman hayati, internasasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif,” ujarnya.

Secara khusus, Kementerian Lingkungan Hidup memberi perhatian pada masalah pengelolaan sampah sebagai tanggung jawab semua pihak melalui berbagai pendekatan. Mengutip pesan Paus Fransiskus dalam Laudato Si, ia mengaja.k “Kita semua mempunyai tanggung jawab untuk menjaga kelestarian alam, mengolah sampah dengan baik, memprioritaskan kebutuhan kita, menggugah rasa kepedulian kita pada alam, dan mengutamakan keadilan, solidaritas, dan martabat bagi banyak orang”.

Lebih lanjut Sandrayati Moniaga SH kembali menyoroti sejumlah fakta kerusakan lingkungan, baik lokal, regional maupun global yang berdampak pada ketidakadilan sosial ekologis. Ada kelompok “privilege yang terus menikmati kekayaan dan para korban yang hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik dilanggar. Selain itu, tegasnya, ketidakadilan sosial ekologis ini telah merugikan negara karena koruspi sumber daya alam sehingga sulit mewujudkan kesejahteraan bersama dan perdamaian.

Foto bersama pembicara dan seluruh peserta Seminar Kebangsaan yang digelar OFM, Sabtu (9/8/2025)

Ketidakadilan ini berakar pada dominasi manusia terhadap alam (antroposentrisme) yang mengabaikan kearifan lokal dan dikotomi ilmu pengetahuan, sistem hukum yang lemah dan kebijakan pro perusakan lingkungan serta korupsi dan kolusi. Momentum 800 Tahun Kidung Segenap Ciptaan Tuhan dan 80 Tahun Indonesia Merdeka menjadi kesempatan untuk melakukan refleksi menyeluruh menuju pertobatan ekologis.

Mulailah dari diri kita sendiri untuk menjaga alam dan mengurangi sampah plastik dan jangan pernah lelah untuk mengajak orang lain untuk sama-sama bertanggung jawab dalam menjaga keutuhan alam ini”, ucap Sandara Moniaga.

Sebagai penutup materi, Dr Siti Maimunah menelusuri kerusakan lingkungan melalui rerantai ekstravisme pengambilan sumber daya alam dengan sangat kejam dan rakus. Menurutnya, rezim ekonomi ekstraktif ini sesungguhnya telah menghancurkan tubuh ganda, yakni tubuh alam dan tubuh kita sendiri. Siti Maimunah mengajak semua pihak untuk melihat kondisi hari ini dari perspektif masyarakat lokal yang melihat alam sebagai tubuh dan harus dijaga layaknya tubuh kita sendiri. Kita perlu mereposisi diri belajar dan berlatih menghadapi krisis jamak melalui koalisi dengan alam dan leluhur untuk membangun ekonomi solidaritas yang berpihak pada kaum perempuan dan anak yang sering kali menjadi korban.

Perjuangan Tubuh berarti perjuangan tanah air untuk melawan relasi kuasa yang berkelindan sebagai praktek perlawanan sehari-hari. Belajar dari kaum perempuan pejuang seperti Aleta Baun, Jull Takaliuang, Maria Loretha, Mariana Daren, dan Gunarti kita perlu membangun solidaritas tubuh dan tanah air untuk melawan setiap bentuk penghancuran ekstraktif sekaligus menjaga alam ini layaknya tubuh kita sendiri;” pungkasnya.

Romo Yohanes Kristoforus Tara OFM, panitia penyelenggara Seminar Kebangsaan ini dalam rilisnya, Senin (11/8/2025), menggarisbawahi bahwa seperti dikatakan Rm Mikael Peruhe OFM, seminar ini membantu peserta untuk memperharui komitmen bersama dalam rangka merawat rumah kita bersama. Kepedulain terhadap ibu bumi tidak terpisahkan dari keadilan sosial dan perdamaian. Jeritan bumi adalah jeritan orang-orang miskin.

Kita bisa menemukan kembali Allah dalam segenap ciptaan dan bertanggung jawab melakukan berbagai tindakan nyata untuk menyelamatkan ibu bumi dan terus memperjuangkan keadilan bagi seluruh bangsa ini, terutama saudara dan saudari yang miskin dan terpinggirkan,” ujar Rm Kristo. (*/GK)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments