Friday, November 22, 2024
No menu items!
spot_img
HomeNasionalIndonesia Harus Koreksi Pasal-Pasal Karet

Indonesia Harus Koreksi Pasal-Pasal Karet

Jakarta, benang.id – Indonesia cukup maju dengan UU ITE, tetapi Indonesia harus mengoreksi pasal-pasal karet yang cukup membahayakan, seperti pasal mengenai pencemaran nama baik.

Demikian dikemukakan Dr Haidar Bagir, Penulis dan Pemikir Islam dalam diskusi secara daring The Lead Institute Universitas dengan tema “Fatsoen Politik dan Media: Menuju Media sebagai Pilar dan Bukan Perusak Demokrasi”, Selasa (12/12/2023).

Ia mengatakan bahwa akses dari sosial media telah menggantikan media konvensional baik cetak maupun elektronik yang tumbuh dari berbagai website, portal, dan lain sebagainya.

Diskusi secara daring The Lead Institute Universitas dengan tema “Fatsoen Politik dan Media: Menuju Media sebagai Pilar dan Bukan Perusak Demokrasi”, Selasa (12/12/2023). Foto: Paramadina

“Sosial media memberikan kesempatan bagi semua orang untuk mengirimkan berita yang disajikan sebagai suatu kebenaran. Tulisan yang sensasional, adalah semata-mata hal yang half truth tetapi bukan berarti memberikan setengah kebenaran, tetapi benar-benar hal yang salah,” kata Haidar, dalam diskusi yang dimoderatori oleh Tri Wahyuti MSi.

Narasumber berikutnya Rizal Nova Mujahid dari Drone Emprit memaparkan peta media sosial terkait KPK Taliban, Capres-Cawapres 2023, Pilpres 2024, pemilu dan lain sebagainya.

“Narasi yang dibawa oleh media turut direspoon dengan baik, tetapi banyak sekali isu-isu lain yang membawa isu-isu politik identitas lain pada tahun 2023,” ujarnya.

Diskusi secara daring The Lead Institute Universitas dengan tema “Fatsoen Politik dan Media: Menuju Media sebagai Pilar dan Bukan Perusak Demokrasi”, Selasa (12/12/2023). Foto: Paramadina

Dr Agus Sudibyo, Peneliti Media dan Mantan Dewan Pers menyebutkan bahwa “Keadaan pers secara global sedang tidak baik-baik saja, mengalami disrupsi dan kualitas jurnalis mengalami penurunan” katanya.

Agus juga memaparkan bahwa lama kelamaan masyarakat berada dalam kondisi tidak bisa lagi membedakan media media konvensional, media massa, ataupun media sosial karena semuanya sama saja. “Media sosial menyajikan dan memberikan model-model baru, distribusi, dan monetisasi konten sehingga disebut sebagai friend and enemy secara bersamaan,” ungkap Agus.

Tetapi dalam diplomasi digital lanjut Agus, media sosial disebut sebagai musuh dari media konvensional. “Dalam konteks ini, menyajikan good content, dan good journalism bukan hanya sekedar diamanatkan oleh undang-undang tetapi dengan alasan bisnis dan harus ada diversity content,” ucap Agus.

“Polarisasi yang muncul hendaknya direspon oleh media massa untuk kembali sebagai pers pilar keempat yang menjadi pilar publik yang beretika.” pungkasnya. (*)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments