Jakarta, benang.id – Indonesia memiliki target untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060. Walaupun objektif ini dinilai ambisius karena banyaknya jumlah pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, studi oleh International Energy Agency (IEA) bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa Indonesia dapat mencapainya dengan pengadaan sumber daya energi terbarukan, elektrifikasi efisiensi energi, dan interkoneksi jaringan.
Guna mencapai target tersebut, pemerintah telah menyiapkan rencana dekarbonisasi yang konkret melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang disebut sebagai RUPTL terhijau sepanjang sejarah. Dalam perencanaan ini, energi terbarukan akan berkontribusi sebesar 21GW (gigawatt) dari total penambahan daya. Selain itu, pemerintah berkomitmen untuk mewujudkan proyek pembangkit listrik 35GW dengan beberapa penyesuaian seperti target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 dan rencana penutupan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.
Ke depannya, pemerintah Indonesia dapat memberlakukan langkah-langkah yang lebih ketat seperti pajak karbon dan langkah-langkah terkait dekarbonisasi lainnya kepada perusahaan tambang batu bara sebagai bagian dari rencana dekarbonisasi.
Senior Equity Researcher DBS Group William Simadiputra mengatakan, emisi nol bersih merupakan tolok ukur dekarbonisasi yang patut dicapai secara kolektif sehingga tidak menambahkan emisi baru di atmosfer.
“Untuk mencapainya, terdapat beberapa jalur yang dapat ditempuh, yaitu energi bersih dan elektrifikasi, penggunaan bahan new age dan mineral baterai, serta ekonomi sirkular dan efisiensi energi. Kolaborasi berbagai pihak merupakan kunci untuk mendukung upaya pemerintah dalam menciptakan Indonesia bebas emisi karbon pada tahun 2060 dan mewujudkan dunia yang lebih baik bagi generasi mendatang,” ujarnya.
Dalam upaya untuk mencapai emisi nol bersih tahun 2060, Perusahaan Listrik Negara (PLN) berkomitmen untuk menambahkan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT atau New and Renewable Energy) sebesar 40,6GW pada tahun 2030.
Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan listrik yang meningkat secara tahunan sebesar 4,9% berdasarkan atas data dalam RUPTL PLN. Lebih dari 50% pembangkit EBT tersebut akan terdiri dari komponen terbarukan, yakni 26% hydro, 12% solar, 8% energi panas bumi atau geothermal, 4% dari energi terbarukan lainnya, serta 2% campuran energi terbarukan lainnya dan gas.
Executive Director, Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Heru Hatman mengatakan, transisi dari energi konvensional menuju ke energi yang lebih hijau memang membutuhkan waktu. Tantangan yang dihadapi oleh industri dalam melakukan transisi energi adalah keamanan pasokan, keberlanjutan, serta keterjangkauan harga.
Dalam perjalanannya, transisi ini pun membutuhkan dana yang besar untuk membangun fasilitas baru dan menyediakan teknologi yang mumpuni untuk menciptakan independensi dan mengurangi impor bahan baku.
“Oleh karena itu, kontribusi yang dapat diberikan oleh industri perbankan adalah dengan memberikan pembiayaan berupa green loans atau bonds, sustainability-linked loans atau bonds, serta transition loans atau bonds. Sebagai purpose-driven bank, kami senantiasa mendorong transition financing di mana pada tahun 2022 Bank DBS Indonesia telah menyalurkan pendanaan sebesar Rp2 triliun untuk membantu sejumlah korporasi dalam bertransisi. Hal ini sejalan dengan semangat kami untuk menjadi Bank of Choice for Transition,” ujar Heru Hatman.
DBS Group memiliki tiga pilar keberlanjutan yaitu Responsible Banking, Responsible Business Practices, serta Impact Beyond Banking. Pendanaan sebagai upaya membantu nasabah bertransisi menuju energi hijau merupakan wujud nyata dari pilar pertama yaitu Responsible Banking. Pilar tersebut menjadi landasan DBS Group dalam merealisasikan visinya sebagai Best Bank for a Better World. DBS Group mencanangkan rencana dalam mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050, lebih cepat dari sejumlah negara tempat DBS Group beroperasi.
Untuk itu, DBS Group mengambil langkah yang lebih proaktif salah satunya dengan meluncurkan panduan dekarbonisasi bertajuk “Our Path to Net Zero–Supporting Asia’s Transition to a Low-carbon Economy”.
Dalam panduan tersebut, terdapat sembilan sektor yang menjadi fokus utama, mulai dari sektor aviasi, otomotif, properti, kimia, pangan dan pertanian, minyak dan gas, energi, baja, dan pelayaran. Kesembilan sektor tersebut dipilih karena telah mewakili 31% keseluruhan portofolio kredit, namun sektor-sektor tersebut menyumbang lebih dari 90% emisi karbon.
Selain itu, potensi sinergi antar sektor juga tergolong tinggi sehingga turut memberikan nilai tambah pemilihan sektor tersebut. Melalui kesembilan sektor tersebut, DBS Group berkomitmen untuk menjadi advisor nasabah korporat dalam melalui proses transisi ke energi terbarukan.
“Kami senang melihat tren dan tingkat kepedulian korporasi terhadap isu ESG (environmental, social, and governance) kian meningkat. Dengan kolaborasi dari berbagai pihak, baik pelaku bisnis, perbankan hingga pemerintah, pendekatan strategis dapat dikaji dan dirumuskan bersama demi tercapainya Indonesia yang berkelanjutan,” tutup Heru Hatman. (*)