Dublin, benang.id – Hermawi F Taslim, Ketua Forum Komunikasi Alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia (Forkoma) dikenal sebagai aktivis yang memiliki ciri khusus tertawa keras. Dan, itu sudah dilakukannya sejak duduk di bangku kuliah. Dia juga dikenal sebagai orang yang pandai melucu. Maklum, melucu atau kemampuan membuat orang lain tertawa merupakan tuntutan terutama saat bergaul dengan Gus Dur.
Namun kali ini tertawanya berbeda daripada biasanya. Melucunya tetap sama, tertawanya lebih keras. Selidik punya selidik Taslim memang layak tertawa lebih keras. Ada dua alasan mengapa Taslim harus tertawa lebih keras dan lebih lepas. Hal ini diungkapkan Hermawi Taslim dari Dublin, Irlandia, Jumat (15/12/2023).
Yesayas Fanaetu Taslim (22) telah menyelesaikan Program Pasca Sarjana. Anak bungsunya lulus dari University of Reading, Inggris. Reading adalah sebuah kota yang terletak di Inggris bagian Tenggara. Kota Reading dikenal dengan acara tahunannya yakni Reading Festival – festival musik Rock outdoor.
Di perguruan tinggi ini, Yesayas mendapat nilai Distinction, Atau kalau menggunakan sistem Pendidikan Amerika Serikat, Distinction setara dengan Cum Laude – dengan pujian. Yesayas mengambil jurusan Teknologi Pangan dan diwisuda awal Desember 2023. Taslim mengaku merasa lega, karena merasa tuntas tanggung jawab sebagai orangtua dalam bidang pendidikan. Yesayas diwisuda pada Rabu (6/12/2023) dan dia adalah wisudawan termuda.
Sementara alasan kedua, di Dublin, Irlandia, Hermawi Taslim dan Wati Taslim, isterinya, mendapat berkat dari tiga orang pastor dari Kongregasi SVD – Societas Verbi Divini (Serikat Sabda Allah). Mereka adalah Pater Yustinus Purba, SVD, Adrian Boysala SVD, dan Erick Ebot SVD. Semuanya berasal dari Indonesia. Karena banyaknya para romo yang berkarya di luar negara asalnya, SVD disebut sebagai kongregasi misionaris terbesar di Gereja Katolik. Budi Kleden SVD asal Nusa Tenggara Timur merupakan pemimpin umum SVD di dunia. Pemimpin Umum dalam Kongregasi disebut dengan istilah Superior Jenderal.
“Pertemuan kami berlangsung di Tempel Bar Hotel, Dublin pada 13 Desember 2023. Saya dan istri dapat berkat dari ketiga romo itu. Serasa saya mendapat berkat yang tak terhingga,” tutur Hermawi tanpa menguraikan lebih jauh berkat yang diperolehnya.
Pertemuan mereka berlangsung pada malam yang dingin meskipun belum sampai pada titik beku. “Suhu empat derajat celcius, sudah sangat dingin.“ ujar Taslim. Di bar ini, mereka kompak memesan nasi Basmati dengan kari ayam (khas India). Nasi ini merupakan makanan favorit di Temple-Bar.
Senda gurau dan gelak tawa khas Indonesia mereka pun berkali-kali memecahkan keheningan di restoran Tempel Bar Hotel – Dublin dan menarik perhatian tamu bar lainnya. Namun, itulah keakraban dan kehangatan yang terjadi dalam pertemuan itu. Bagi para romo, pertemuan dengan Taslim dan isterinya, dapat mengobati kerinduan mereka.
“Sesungguhnya jarang sekali kami menemui umat asal Indonesia di Irlandia ini. Makanya ketika mendapat undangan dinner dari Pak Taslim, saya langsung berinisiatif untuk mengajak dua rekan yang bertugas di sini untuk hadir,” ujar Romo Yustinus Purba, yang berasal dari Kotacane. Kotacane adalah kota kecil yang terletak di wilayah perbatasan Aceh-Sumatera Utara.
Lalu mereka terlibat dalam pembicaraan berbagai topik mulai dari situasi gereja di tanah air sampai dinamika gereja di Irlandia. Romo Yustinus Purba mengaku bahwa mereka betah di Irlandia. Karena, kehidupan gereja Katolik di wilayah ini relatif lebih menggairahkan. Lebih menggairahkan dibanding dengan hidup menggereja di negara lain di Eropa.
Lebih menggairahkan, menurut Pater Yustinus, terutama karena umatnya yang dinamis dan kehadiran mengikuti misa jauh lebih banyak dari negara Eropa lainnya. “Di sini setiap misa biasanya dihadiri oleh sekitar 60-70 umat, berbeda sekali dengan misa di negara Eropa lain yang rata-rata hanya diikuti oleh belasan umat,” imbuh Romo Yustinus.
Hal lain yang membuat betah ketiga romo asal Indonesia itu adalah sikap orang Irlandia yang “friendly” (bersahabat) seperti orang Indonesia. “Meskipun kehidupan di sini multi ras karena banyak imigran yang datang dari berbagai penjuru dunia, kehidupan relatif aman, jarang sekali terjadi peristiwa yang bernuansa rasial,” ujar Romo Yustinus.
Sementara itu, Hermawi Taslim merasa bersyukur bisa bertemu dengan ketiga gembala SVD itu lantaran sudah dua minggu menyinggahi beberapa kota di Inggris dan Irlandia belum bertemu dengan sesama warga Indonesia. “Dua minggu ini kami hanya bertemu dengan dua anak kami yang sedang studi di UK, dan baru malam ini bertemu dengan sesama warga Indonesia,” kata Hermawi.
Hermawi, yang memiliki perhatian terhadap para missionaris Indonesia di Luar Negeri, memaparkan bahwa Pater Erick Ebot baru beberapa bulan di Irlandia, dan masih belajar bahasa. Demikian juga Pater Adrian baru setahun bertugas. Sementara Pater Yustinus sudah 7 tahun melayani umat di Irlandia.
“Dia yang paling senior. Pengalamannya cukup banyak terutama berkomunikasi dengan umat dari berbagai negara. Dari bekal itu beliau semakin mantap pengabdiannya sebagai imam, karena manusia berbagai macam yang beliau temui itu persis seperti penggambaran dalam injil,” beber Hermawi, yang juga Sekjen Partai Nasdem.
Untuk diketahui, sesuai ketentuan negara Irlandia, seorang imam hanya boleh berada di Irlandia paling lama 9 (sembilan) tahun berturut-turut. Maka bila saatnya tiba, Pater Yustinus harus meninggalkan Irlandia. Seperti diungkapkannya kepada Hermawi, Romo Yustinus ingin tetap menggembala umat di salah satu negara di luar Indonesia, atau jika kongregasi memberi kesempatan, dirinya ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi lagi. (*)