Jakarta, benang.id – Kondisi ekonomi dunia kini tengah mengalami berbagai guncangan, di antaranya akibat perang yang tengah terjadi antara Rusia dan Ukraina, kenaikan tingkat suku bunga Amerika Serikat (AS), dan beberapa faktor lainnya.
Dengan situasi yang terjadi saat ini, Chief Economist DBS Taimur Baig optimistis perekonomian dunia memiliki secercah harapan, di mana Indonesia memiliki prospek yang cukup menjanjikan.
Perang yang masih terjadi antara Rusia dan Ukraina tak ayal menimbulkan kekhawatiran terhadap ketidakstabilan pasokan pangan di banyak negara, termasuk Indonesia. Pasalnya, beberapa waktu lalu, pemerintah Ukraina mengumumkan adanya pembatasan ekspor beberapa komoditas pangan penting, seperti gandum, gula, dan minyak sawit guna mencukupi kebutuhan pangan selama perang. Indonesia sendiri telah menjadi salah satu negara dengan impor gandum terbesar dari Ukraina, menduduki peringkat kedua berdasarkan hasil riset United Nations (UN) Comtrade 2021.
Berdasarkan data tersebut, tahun lalu, Indonesia mengimpor 2,81 juta ton atau 14,49% dari jumlah keseluruhan ekspor gandum Ukraina dalam setahun, membuahkan transaksi impor yang melebihi US$ 638 juta dolar, terbesar dibandingkan negara-negara lainnya di Asia.
Taimur memandang hal ini tidak perlu dikhawatirkan mengingat negara-negara yang terdampak masih bisa menemukan sumber pengekspor pangan lain yang dapat menggantikan Ukraina.
“Saya rasa kita masih memiliki sumber suplai komoditas dalam jumlah besar di dunia ini, baik itu nasi, gandum, mau pun kopi. Saya juga tidak melihat bahwa kita sedang berada di tengah krisis suplai parah karena kondisi ini lebih menyangkut ke permasalahan distribusi saja,” jelas Taimur, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (6/6/2022).
Faktanya, pemerintah senantiasa berupaya menciptakan rasa aman bagi masyarakat, tak terkecuali keamanan pangan. Apabila sektor publik tidak mampu mempertahankan keamanan pangan, ada beberapa peran yang dapat dilakukan pemerintah melalui pengadaan publik (public procurement) dan kepemilikan publik (public ownership).
Hal ini dapat dilakukan melalui reformasi kelembagaan yang tujuannya menyediakan layanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk pengelolaan rantai pasokan.
Selain tantangan distribusi pangan, pasar berkembang (emerging market) juga mengalami tantangan lain dalam 35 tahun terakhir. Setiap kali AS menaikkan tingkat suku bunga, di mana menyebabkan volatilitas dan pasar global menekan mata uang, perekonomian negara yang bergantung pada aliran modal global menjadi sulit karena tingkat suku bunganya mengikuti tren global.
Meski menjadi tantangan tersendiri, Taimur percaya hal ini masih dapat dikendalikan. Mengingat tidak seperti sebelumnya, ketika peningkatan bunga menimbulkan berbagai permasalahan di Asia, kini ekonomi Asia memiliki cadangan devisa yang jauh lebih tinggi dan luas serta defisit ekonomi yang lebih rendah, sehingga membuat Asia lebih siap menaklukkan tantangan perekonomian yang kompleks.
Pada Mei 2022 lalu, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga. Taimur menganggap langkah ini tidak menjadi persoalan, mengingat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) stabil, dan Indonesia sejauh ini tidak menghadapi kesulitan pangan yang di luar kendali.
Secara keseluruhan, meskipun tingkat suku bunga di AS naik, tetapi hal ini tidak berpengaruh terhadap volatilitas rupiah. Alasannya, Indonesia telah memiliki eksposur terhadap banyak komoditas, dan harga komoditas yang tinggi pun tersedia di Indonesia. Kendati Indonesia juga pernah mengalami beberapa masalah krisis pangan global, tetapi di saat yang bersamaan, diimbangi juga dengan ekspor gas dan minyak.
Dari berbagai perspektif, cepat atau lambat, ada banyak risiko yang mengintai Indonesia, tetapi tidak segenting negara lain, di mana inflasi dan risikonya jauh lebih terkendali, sehingga bisa dikatakan prospek Indonesia berjalan baik dan mampu mencapai target.
Berdasarkan atas basis historis, DBS menganalisis ekonomi Indonesia yang tumbuh 4,5 dan 4,8% sepanjang tahun ini tidak serta-merta bergantung pada apa yang terjadi di AS atau Tiongkok, berbeda dengan negara lain di Asia yang merasakan dampaknya. Sebaliknya, kondisi Indonesia lebih menitikberatkan pada ekonomi domestik pascapandemi yang kini mulai bangkit kembali.
Selain itu, Taimur juga mengamati kenaikan pajak di Indonesia yang mulai diberlakukan pada April 2022 silam, dan menganggap kebijakan tersebut perlu untuk diterapkan. Rasio digit Indonesia berdasarkan perbandingan internasional sangat rendah dibandingkan AS yang hampir menyentuh 100% dari Produk Domestik Bruto (PDB), dan India sebesar 70% dari PDB, sementara Indonesia bahkan tidak menyentuh 40% dari PDB.
Sejak krisis finansial yang terjadi pada 1997-1998, Indonesia sangat konservatif dalam hal pemberlakuan perusahaan induk (public sector holding) dan defisit fiskal. Negara-negara yang memperhitungkan PDB sebagian besar memiliki defisit PDB kisaran 4-6%.
Dengan perspektif tersebut, defisit tahunan Indonesia dapat terbilang sangat rendah, namun perlu diingat jika terjadi kenaikan defisit yang tinggi, maka tetap perlu diwaspadai.
“Pada dua tahun terakhir, 10-15% defisit, dibandingkan dengan Indonesia, sangatlah rendah. Hal ini memberi sinyal bahwa memasuki tahun 2020 ke depan, ada banyak negara di dunia yang mengkhawatirkan defisit fiskal,” ungkap Taimur.
Menjelang pemilihan presiden pada 2024, Taimur menelaah bahwa Indonesia tidak akan mengalami perubahan kebijakan ekonomi yang besar.
“Dalam 10-20 tahun ini, terlepas dari adanya pergantian presiden, kebijakan ekonomi Indonesia tidak pernah mengalami perubahan yang signifikan mengingat partai politik di Indonesia tidak memiliki ideologi ekonomi yang sangat bertolak belakang. Berbeda dengan apa yang terjadi di AS, ketika satu partai memiliki kekuasaan, maka kebijakan yang sudah dijalankan seringkali dirombak sepenuhnya, sehingga mengakibatkan perekonomian AS yang berada dalam ketidakpastian,” tutup Taimur Baig.