Jakarta, benang.id – Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan bahwa pertemuan G20 adalah pertemuan yang paling dilematis dan mungkin yang paling ribet.
Kemungkinan adanya banyak kendala karena adanya perang Rusia-Ukarina. Pertentangan Amerika, Rusia dan terakhir dengan Saudi. Adanya saling embargo Rusia dengan negara-negara Eropa hingga terjadilah krisis ekonomi di Eropa.
“Kita bersyukur dihadiri seluruh pemimpin negara-negara G20, kita berharap agar Indonesia bisa mendamaikan pimpinan-pimpinan negara, Putin-Biden dsb. Walaupun saya yakin ini bukan pekerjaan mudah,” ujar JK saat menjadi keynote speaker secara daring pada acara diskusi panel dengan tajuk Global Economy: Reflections and Challenges for Indonesia post G20 Presidency pada hari Rabu (2/11/2022) bertempat di Hotel JS Luwansa, Jakarta.
Diskusi panel yang digelar Universitas Paramadina dan Konrad Adenauer Stiftung (KAS), Jerman ini membahas tentang refleksi ekonomi Indonesia di tengah tekanan ekonomi dunia akibat pandemi Covid-19 serta perang Rusia dan Ukraina yang mengakibatkan krisis pangan dunia. Diskusi ini pun menyoroti tantangan ekonomi Indonesia sebagai tuan rumah G20 serta dalam menyongsong pemilu 2024.
Diskusi panel menghadirkan beberapa ekonom di antaranya Prof. Bambang Brojonegoro (Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan/ Kepala BRIN (2019-2021), Wijanto Samirin (Staf Khusus Bidang Ekonomi Wakil Presiden RI periode 2014-2019/ Ekonom Senior Universitas Paramadina) , Eddi Danusaputro (CEO PT BNI Modal Ventura) dan Prima Naomi (Dosen Senior Universitas Paramadina), dan dimoderatori oleh Dr Iin Mayasari (Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Paramadina).
Denis Suarsana sebagai Direktur KAS Indonesia dan Timor Leste serta Rektor Prof. Didik J Rachbini MSc PhD membuka acara diskusi panel ini.
JK melanjutkan, akibat konflik-konflik antar negara ini dan kebijakan-kebijakan bukan hanya di Rusia dan Ukraina juga China, Jepang, Amerika, Korea Selatan dan Utara itu juga bagian di Asia Timur yang memberi dampak kepada ekonomi kewilayahan.
“Namun di Asia Tenggara relatif jauh termasuk Indonesia. Karena itu kalau kita lihat ramalan Worldbank, Vietnam bisa tumbuh 7,5%, Filipina 6,5-7%, Malaysia 6,4%, Indonesia 5%. Jadi di ASEAN kita nomor 4, artinya kita mempunyai peluang lebih baik lagi. Itu Artinya ada peluang dari krisis energi, krisis pangan di dunia justru memberikan suatu kebutuhan yang dapat kita berikan,” imbuhnya.
Menurut JK, dimanapun terjadi suatu krisis di suatu wilayah itu bisa memberikan manfaat apabila negara itu mampu mengisi kebutuhan itu.
“Jadi jangan dianggap krisis dunia itu merupakan krisis keseluruhan, ada yang mengambil manfaat, Vietnam mengambil manfaat, Filipina, kenapa kita tidak? Berarti ada harus evaluasi kebijakan kita sehingga kita bisa dapat. Saya yakin resesi dunia tidak banyak menyentuh Asia tenggara. Karena kita cukup listrik berlebih untuk PLN, harga batubara naik. Kita baru swasembada pangan beras diberi penghargaan. Itu artinya kita tidak memiliki 2 masalah yang menyebabkan resesi negara-negara Eropa,” jelas JK.
“Pengalaman krisis keuangan perekonomian Amerika jatuh. tapi kita masih tumbuh 4,5% turun dari 6, tapi dalam 1 tahun kembali naik. Jadi ekonomi dunia tidak berarti semua ekonomi tersambung. Karena itu saya mengatakan jangan pesismis, mari kita optimis. Justru dari krisis itu kita mengambil manfaat mendukung dunia dengan mengambil manfaat ekonominya,” papar JK.
Lebih lanjut JK menyarankan bahwa Indonesia harus mempunyai hubungan baik dengan bangsa lain, perjanjian perdagangan harus cepat, jangan ketinggalan mengambil manfaatnya seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, karena kita jauh lebih baik Sumber Daya Alam kita jauh lebih baik.
“Berarti kebijakan kita, kebijakan keungan, moneter, investasi, energi, harus kita perbaiki. Hukum yang menyebabkan orang khawatir untuk investasi harus serius kita perbaiki.” pungkasnya.
Harus mampu kendalikan laju inflasi
Menurut Prof Bambang Brodjonegoro, pemerintah harus mampu mengendalikan inflasi secara langsung, karena inflasi memiliki dampak yang paling signifikan bagi daya beli dan konsumsi masyarakat, terutama pada kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Di Negara berkembang, separuh dari pengeluaran konsumsi rumah tangga dipergunakan untuk membeli makanan, dengan kata lain inflasi bisa memiliki dampak yang sangat akut untuk kesehatan dan standar hidup manusia.
“Selain itu, dampak yang ditimbulkan dari perang Rusia-Ukraina telah menyebabkan terjadinya krisis energi dan pangan, sehingga mendorong terjadinya inflasi lebih tinggi dalam waktu singkat. Dibeberapa negara, tekanan harga sebagian besar disebabkan oleh kenaikan harga komoditas global dan gangguan rantai pasokan yang sudah dimulai saat pandemi Covid-19. Kenaikan harga makanan dan energi selama setahun terakhir menjadi faktor pendorong utama kenaikan inflasi dalam beberapa waktu terakhir ini.“ terangnya.
Inflasi diperkirakan akan mencapai puncaknya pada akhir tahun 2022. Inflasi diperkirakan akan melambat dalam tahun 2023, akibat kebijakan moneter yang lebih ketat terutama tingkat suku bunga di beberapa negara. Turunnya harga komoditas minyak mentah dan makanan di pasar global, berkontribusi untuk menurunkan harga dan inflasi.
Di Indonesia sendiri, tingginya harga komoditas mendorong inflasi meningkat menjadi 5,95% pada bulan September 2022 (yoy). Peningkatan harga terjadi pada makanan dan transportasi. Untuk menopang daya beli dan konsumsi masyarakat, Pemerintah menggalihkan belanja subsidi BBM dan listrik, menajdi bantuan tunai untuk rumah tangga dan pekerja berpenghasilan rendah.
“Tingkat inflasi diperkirakan akan terus melonjak, pada bulan September hingga Desember 2022, disebabkan karena kenaikan harga BBM. Pemerintah merevisi perkiraan inflasi dari 3,6% menjadi 4,6% pada tahun 2022. Inflasi diperkirakan pada 5,5%–6,0% hingga Juni 2023 dan turun menjadi 3,8% pada bulan Desember. Rata-rata Inflasi diperkirakan sebesar 5,1% pada tahun 2023, naik dari proyeksi 3,0% sebelumnya. Konsumsi dan investasi bisa menjadi lebih kuat dari yang diharapkan, mengimbangi ekspor yang mulai melemah. Jika inflasi lebih tinggi dari yang diharapkan, menyebabkan permintaan masyarakat akan semakin melemah dari yang diharapkan.” tutupnya.
Dalam paparanya, Wijayanto Samirin menyoroti tentang semakin seringnya krisis besar dunia. Tiga krisis besar dunia terjadi dalam 25 tahun terakhir, tetapi 3 krisis besar sebelumnya terjadi dalam rentang waktu 225 tahun.
“Kalau kita melihat krisis sekarang, kita harus melihat bahwa krisis bukanlah sesuatu yang harus kita takutkan tetapi sesuatu yang harus kita hadapi”
Dalam paparanya, Wijayanto Samirin menyoroti tentang semakin sering terjadinya krisis besar dunia. Tiga krisis besar dunia terjadi dalam 25 tahun terakhir, tetapi 3 krisis besar sebelumnya terjadi dalam rentang waktu 225 tahun.
“Kalau kita melihat krisis sekarang, kita harus melihat bahwa krisis bukanlah sesuatu yang harus kita takutkan tetapi sesuatu yang harus kita hadapi,” ujarnya.
Ia juga mengibaratkan Indonesia adalah kapal tanker raksasa yang dapat menghadapi badai terburuk, akan tetapi butuh waktu yang lama dan upaya besar untuk mengubah arah.
“Indonesia dan dunia tidak bergerak ke arah yang benar. Indonesia perlu mengambil tindakan untuk memenuhi kepentingannya sendiri dan kepentingan dunia, terutama Indonesia adalah presidensi G20, sebuah posisi yang berdampak & memiliki peluang besar” ujarnya. (*)