Jakarta, benang.id — Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Kardinal Suharyo menyuarakan keresahan mendalam terhadap minimnya perhatian orangtua Katolik dalam memfasilitasi pendalaman iman anak-anak mereka. Kardinal Suharyo mengatakan banyak keluarga Katolik menyatakan pentingnya pendidikan iman, namun tidak mewujudkannya secara konkret dalam kehidupan anak-anak mereka.
Kardinal Suharyo menyampaikan hal tersebut saat beraudiensi dengan Sanctory, brand multimedia kreatif Katolik di Wisma Keuskupan Agung Jakarta, Senin (28/7/2025).
“Banyak yang mengatakan bahwa pendidikan agama itu penting, tapi ketika saya tanya, ‘Adakah yang mengikutsertakan anak-anaknya les agama?’ jawabannya tidak ada. Sementara les bahasa Inggris, matematika? Semua ikut. Jadi yang disebut penting itu, sebenarnya sama sekali tidak penting dibandingkan yang lain-lain,” ungkap Kardinal Suharyo.
Pernyataan tersebut merujuk pada realitas pastoral yang ditemui Kardinal Suharyo dalam berbagai pertemuan dengan orangtua Katolik. Fenomena ini menunjukkan adanya ketimpangan antara nilai yang diyakini dengan prioritas yang dijalankan dalam keluarga, di mana pendidikan rohani seringkali kalah dibanding pelajaran akademik.
Kardinal Suharyo juga menekankan tantangan ini dalam konteks yang lebih luas, yaitu minimnya partisipasi anak-anak dan remaja dalam kegiatan iman di paroki. “Coba dihitung, ada berapa keluarga muda di paroki? Berapa yang memfasilitasi anaknya untuk ikut BIR dan BIA? Kalah jauh dibanding yang lain,” ujarnya.
Dalam konteks tersebut Kardinal menyambut baik kehadiran Sanctory, sebuah karya visual naratif yang menghadirkan kisah para santo dan santa dalam berbagai format untuk anak-anak. Ia menyebut Sanctory sebagai bentuk tanggapan kreatif terhadap tantangan iman anak-anak Katolik masa kini.
“Saya menghargai inisiatif Sanctory sebagai sarana pembinaan iman anak-anak. Syukur kalau sudah ada tanggapan seperti ini. Itu artinya dihargai, dilanjutkan, dan diusahakan,” kata Kardinal Suharyo.
Kardinal Suharyo juga mengingatkan pentingnya membangun kerja sama yang konkret dan jangka panjang dengan berbagai elemen Gereja. Kardinal Suharyo mengatakan Komisi Kateketik, Komisi Panggilan, Komisi Komunikasi Sosial (Komsos), dan media Katolik lainnya, termasuk Sanctory, dapat bekerja sama demi memperluas jangkauan dan daya guna karya kerasulan ini.
“Kerja sama itu penting, meskipun kita tahu tidak mudah. Masing-masing punya wilayahnya sendiri, tapi kalau ada yang mau konkret dan berkelanjutan, itu akan sangat membantu,” tambah Kardinal Suharyo.
Sanctory adalah brand multimedia kreatif Katolik yang menghadirkan tokoh-tokoh orang kudus dalam bentuk untuk anak usia 6–12 tahun. Melalui gaya visual yang ceria, penuh imajinasi, dan tetap setia pada nilai-nilai iman Katolik, Sanctory bertujuan menjadi jembatan yang menyenangkan antara anak-anak dan kekayaan spiritual Gereja.
Melalui tokoh-tokoh seperti Santo Benediktus, Santa Anna, Santo Fransiskus dari Assisi, dan banyak lagi, anak-anak diajak mengenal teladan hidup kudus secara menyenangkan dan menyentuh. Karya-karya Sanctory dirancang tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai media katekese visual yang relevan dan aplikatif di tengah tantangan dunia digital dan isu sekularisme.
CEO Sanctory Deodatus Pradipto menuturkan Sanctory lahir dari keprihatinan terhadap minimnya materi visual Katolik yang cocok bagi anak-anak. Sanctory melihat anak-anak Katolik tidak memiliki bahan bacaan atau tontonan iman yang sesuai dengan usia dan cara berpikirnya. Materi-materi katekese yang ada seringkali terlalu berat, kaku, bahkan tidak menarik.
“Kami melihat ada kesenjangan besar antara kebutuhan anak-anak Katolik akan cerita iman yang hidup dan ketersediaan bahan yang sesuai dengan dunia mereka. Sanctory hadir untuk menjawab celah itu,” ujar Deodatus.

Art Director Sanctory Brigitta Maria Loisa menambahkan sebagian besar materi katekese visual yang beredar saat ini tidak dirancang dari awal dengan pendekatan psikologi dan budaya visual anak-anak. Sanctory ingin menyederhanakan materi katekese orang dewasa.
“Kami ingin membangun dunia cerita dan visual yang benar-benar berbicara dari dan untuk anak-anak,” tutur Brigitta.
Sanctory juga dibentuk dalam semangat kolaboratif. Deodatus mengatakan pihaknya membuka diri untuk bekerja sama dengan paroki, sekolah, komunitas keluarga muda, serta berbagai komisi di lingkungan keuskupan.
“Kami ingin menjadi sahabat bagi Gereja dalam mendampingi anak-anak untuk mencintai Yesus dan iman Katoliknya sejak dini,” kata Deodatus.
Pertemuan bersama Ignatius Kardinal Suharyo menjadi momentum penting bagi Sanctory dalam meneguhkan misinya, yaitu menghadirkan sukacita iman melalui kisah-kisah orang kudus yang menyentuh dan membangkitkan semangat kekudusan pada anak-anak.
Sanctory percaya bila anak-anak disapa dengan cara yang sesuai dengan dunia mereka, penuh warna, tokoh yang menyenangkan, dan kisah yang menggugah, maka benih iman akan tumbuh kuat dan menyala hingga dewasa.
“Kami ingin anak-anak tahu bahwa menjadi orang kudus itu bisa dimulai dari hal kecil, dari usia mereka. Yesus itu dekat, tidak asing, tidak menyeramkan. Justru penuh cinta dan sukacita,” kata Deodatus. (*/GK)