Yogyakarta, benang.id – Keputusan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi memang terasa “pahit” bagi masyarakat dan pemerintah sendiri. Dari berbagai pilihan yang dihadapi pemerintah, keputusan tersebut merupakan yang “terbaik” dari pilihan yang ada. Meskipun harga naik, namun konsumen Pertalite dan Solar masih menikmati subsidi artinya Pemerintah “hanya” mengurangi subsdi bukan menghapusnya.
Demikian salah satu kesimpulan seminar ekonomi bertajuk “Isu Terkini Ekonomi Makro” yang diselenggarakan Perhimpunan Perbankan Bank Nasional (Perbanas) Kediri, di Hotel Rich Yogyakarta Sabtu (10/9/2022).
Hadir sebagai narasumber Djoko Raharto dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) DKI Jakarta, dan Y Sri Susilo (FBE UAJY/ISEI Cabang Yogyakarta). Seminar yang dipandu moderator Bambang Supriadi (Pengurus Perbanas Kediri/Bank Panin), juga dihadiri perwakilan pengurus/anggota Perbanas di wilayah eks Karesidenan Kediri, Jawa Timur.
Seperti diketahui Pemerintah telah memutuskan menaikkan harga BBM subsidi pada 3 September 2022 lalu. Harga Pertalite naik dari Rp 7.650,00 per liter menjadi Rp 10.000,00 ribu per liter. Harga Solar subsidi dari Rp 5.150,00 per liter menjadi Rp 6.800,00 per liter. Selanjutnya harga Pertamax non subsidi dari Rp 12.500,00 per liter menjadi Rp 14.500,00 per liter.
Djoko Raharto mengatakan bahwa alokasi anggaran subsidi BBM tahun 2022 naik 3 kali lipat lebih dari tahun 2021 menjadi Rp 502 triliun. Melonjaknya perubahan anggaran subsidi tersebut disebabkan kenaikan harga minyak mentah (crude oil) dunia.
“Dalam pagu APBN awal itu, asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) hanya sebesar US$ 63 per barel. Fakta saat ini harganya mencapai sekitar US$ 100 per barel,” ujar Djoko.
Djoko menjelaskan bahwa Indonesia termasuk negara net importer oil, jumlah yang diimpor lebih besar dari yang diekspor, dengan demikian jika harga minyak dunia naik maka anggaran subsidi BBM melonjak. Kondisi obyektif tersebut menjadi pertimbangan utama pemerimntah menaikkan harga BBM bersubsidi.
Y Sri Susilo mengatakan bahwa pemberian subsidi BBM dapat menimbulkan dampak positif dan negatif. “Tujuan pemerintah memberikan subsidi, antara lain pemerataan ekonomi, memenuhi kebutuhan dasar rakyat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan sebagai langkah stabilisasi harga,” jelas Sri Susilo.
Di samping memberikan dampak positif, kebijakan subsidi, lanjut Sri Susilo, juga dapat menimbulkan dampak negatif.
Sri Susilo pun memaparkan dampak negatif termaksud antara lain pertama, Subsidi menciptakan alokasi sumber daya yang tidak efisien karena konsumen membayar barang dan jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar (deadweight welfare loss). Hal ini memunculkan kecenderungan konsumen boros dalam mengonsumsi barang subsidi.
Kedua, Subsidi menyebabkan penggunaan sumber daya untuk produksi barang menjadi boros (ineficiency). Hal ini disebabkan oleh harga yang disubsidi lebih rendah daripada yang seharusnya dibayar oleh produsen.
Menutup acara seminar, Bambang Supriadi sebagai moderator memaparkan kesimpulan berikutnya selain bahwa Pemerintah “hanya” mengurangi subsdi bukan menghapusnya.
Yakni, kedua, pemerintah juga mengalokasikan anggaran jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin yang terdampak. Pemerintah telah menyiapkan 3 jenis bantuan sosial (Bansos). Ketiga Bansos termaksud adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Subsidi Upah (BSU) dan Bantuan Angkutan Umum (BAU).
Ketiga, ke depan anggaran subsidi BBM sebaiknya ditetapkan untuk setiap harga per liter.. Sebagai contoh, misalnya untuk setiap liter Solar pemerintah menyiapkan subsidi Rp 2.000,00. Dengan cara ini maka pemerintah dapat menghitung dengan pasti jumlah subsidi yang harus disiapkan dalam satu tahun anggaran berarapun tingkat harga Solar tersebut. Untuk itu pemerintah harus menghitung dengan cermat jumlah konsiumsi solar per tahun.
Keempat, ke depan sebaiknya secara bertahap subsidi BBM diberikan terbatas kepada sektor transportasi umum, nelayan, dan ojek online. Anggaran subsidi BBM dialokasikan untuk meningkatkan fasilitas Kesehatan dan Pendidikan bagi masyarakat miskin. Juga dapat digunakan untuk alokasikan untuk membangun infrastruktur ekonomi dan anggaran jaring pengaman sosial seperti Bansos dan sejenisnya. (*)