Bogor, benang.id – Dalam upaya mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca sekaligus mengoptimalkan nilai ekonomi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS), Pusat Kajian, Advokasi, dan Konservasi Alam (Pusaka Kalam) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Permasalahan dan Strategi Pengelolaan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit secara Optimal dan Berkelanjutan”. Kegiatan ini digelar di IPB International Convention Center Bogor, Rabu (20/11/2024) dengan melibatkan akademisi, peneliti, dan pelaku industri guna membahas tantangan, peluang, serta inovasi pengelolaan LCPKS yang berkelanjutan.
Ketua Dewan Pakar Pusaka Kalam, Prof Dr Ir Yanto Santosa DEA, menyoroti perlunya perubahan paradigma dalam memandang LCPKS. Menurutnya, limbah cair sering dianggap berbahaya dan tidak bernilai, padahal jika dikelola dengan baik, LCPKS memiliki potensi besar sebagai sumber daya ekonomi.
“LCPKS adalah harta karun yang kaya kandungan hara dan dapat meningkatkan produktivitas jika dikelola secara profesional,” ujar Prof Yanto.
FGD menghadirkan sejumlah pembicara dan pembahas yang merupakan pakar di bidangnya, seperti Dr Ir Basuki Sumawinata MAgr dan Dr Ir Gunawan Djajakirana MSc,– keduanya peneliti Pusaka Kalam sekaligus tim penyusun roadmap pengelolaan LCPKS, Prof Dr Ir Suprihatin– Guru Besar FATETA IPB University, Prof Dr Eng Ir Udin Hasanudin MT– Guru Besar Fakultas Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung, Dr Haskarlianus Pasang– Head of Operations Sustainability PT SMART Tbk, Ir Achmad Fathoni MP–Direktur Riset First Resources, Prof Ir Tjandra Setiadi MEng PhD– Guru Besar FTI ITB, serta Johari Salleh– Director Production KLK Agriservindo.
Melalui berbagai perspektif, para ahli ini membahas strategi dan teknologi inovatif untuk pengelolaan LCPKS yang optimal dan berkelanjutan, sekaligus mendukung keberlanjutan industri kelapa sawit di Indonesia.
Land Application (LA) menjadi salah satu teknologi utama yang saat ini sedang menjadi perbincangan hangat. Pendekatan tersebut memungkinkan pemanfaatan LCPKS sebagai pupuk organik untuk meningkatkan kualitas tanah dan menggantikan bahan kimia sintetis.
Dr Haskarlianus Pasang dari PT SMART Tbk memaparkan bahwa LA tidak hanya mendukung efisiensi agronomi, tetapi juga mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan. Ia menambahkan, pendekatan ini menjawab tantangan keterbatasan bahan organik yang sering dihadapi di sektor perkebunan kelapa sawit.
Selain Land Application, teknologi Methane Capture (MC) juga menjadi sorotan yang tidak kalah penting sebagai salah satu opsi untuk menurunkan emisi GHG dengan cara menangkap gas metana yang dihasilkan dari proses dekomposisi secara anaerobik.
Prof Dr Eng Ir Udin Hasanudin MT dari Universitas Lampung menjelaskan bahwa metana, yang merupakan salah satu gas rumah kaca dengan potensi pemanasan global tinggi, dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan.
“Teknologi ini tidak hanya mengurangi emisi secara signifikan, tetapi juga membuka peluang pemanfaatan biogas untuk memenuhi kebutuhan energi di perkebunan,” jelasnya.
Dr Ir Basuki Sumawinata MAgr dalam kesempatan yang sama menyatakan bahwa walaupun limbah yang memiliki BOD bernilai 100 mg/L dibuang ke sungai juga sangat berbahaya bagi lingkungan dan memiliki potensi terjadinya fenomena eutrofikasi yang pada gilirannya dapat merusak biota perairan. Selain berbahayanya tindakan pembuangan limbah ke sungai, hal tersebut juga menjadi sia-sia karena banyak kandungan hara yang terbuang secara percuma. Adapun upaya untuk menghindari terjadinya emisi karbon dalam Land Application (LA), Dr Basuki menyoroti perlunya pengukuran Eh.
”Nilai Eh di bawah -150 mV menunjukkan potensi metana yang tinggi, sedangkan nilai di atas -150 mV relatif aman,” ungkap Dr. Basuki.
Dalam diskusi lanjutan, Prof Dr Ir Suprihatin dari FATETA IPB University menyoroti dampak negatif Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) terhadap lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Ia menjelaskan bahwa polutan utama dalam LCPKS mencakup bahan organik seperti BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand), minyak/lemak, nutrien, serta TSS (Total Suspended Solids).
“Tanpa pengolahan yang tepat, komponen-komponen ini dapat menimbulkan kerusakan serius pada lingkungan,” jelasnya.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya pengolahan LCPKS sebelum dilepaskan ke lingkungan, guna meminimalkan dampak negatifnya.
Prof Suprihatin juga menjelaskan bahwa saat ini telah tersedia berbagai teknologi untuk pengolahan LCPKS, baik teknologi konvensional maupun yang lebih maju (advanced technology). Setiap teknologi, menurutnya, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
“Pemilihan teknologi yang paling sesuai harus mempertimbangkan tiga aspek utama, yaitu ekonomi, lingkungan, dan sosial, serta disesuaikan dengan kondisi lokasi dan kebijakan pengelola perusahaan,” tambahnya.
Sementara itu, Prof Dr Eng Ir Udin Hasanudin MT dari Universitas Lampung dan Dr Haskarlianus Pasang dari PT SMART Tbk berbagi pengalaman tentang penerapan strategi pengelolaan LCPKS dalam praktik industri. Lebih lanjut, Dr. Haskarlianus juga menyampaikan peluang-peluang dari pemanfaatan LCPKS yang bermanfaat untuk lingkungan, agronomi maupun ekonomi melalui penggunaan LCPKS sebagai sumber bahan organik untuk kesuburan dan penambah bahan organik yang semakin terbatas, juga memberikan peluang bahan sumber energi terbarukan.
Sesi kedua, yang dimoderatori oleh Prof Dr Ir Yanto Santosa DEA, membahas strategi optimal dan keberlanjutan pengelolaan LCPKS. Dr Ir Gunawan Djajakirana MSc menguraikan roadmap pengelolaan LCPKS yang terintegrasi, dengan menyoroti pentingnya sinergi antara teknologi dan kebijakan.
Diskusi menjadi semakin menarik saat Dr Gunawan menyatakan bahwa keberadaan BOD dan COD dalam LCPKS bukanlah ancaman, melainkan peluang.
“Tingginya BOD dan COD meningkatkan kandungan unsur hara, tetapi juga membutuhkan pengelolaan amoniak yang lebih ketat karena unsur ini berpotensi membahayakan lingkungan, akan tetapi pengurangan BOD secara berlebihan hanya akan menghilangkan potensi manfaat hara dari limbah” ujarnya.
Lebih jauh, Dr Gunawan mengungkapkan bahwa pemantauan logam berat dalam LCPKS di lahan kelapa sawit tidaklah mendesak. “Tanah marginal kebun kelapa sawit cenderung miskin logam berat, sehingga perhatian lebih baik diarahkan pada pengelolaan unsur hara,” tambah mereka.
Ir Achmad Fathoni MP dari First Resources menyoroti peluang besar dari pemanfaatan LCPKS melalui pendekatan LA dalam meningkatkan produktivitas tanaman dan penurunan emisi gas rumah kaca. Di samping itu, penerapan methane capture juga dapat dipertimbangkan menjadi salah satu alternatif pilihan lainnya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.
Prof Ir Tjandra Setiadi MEng PhD dari ITB dan Johari Salleh dari KLK Agriservindo turut memberikan analisis mendalam dari sudut pandang akademis dan industri dalam menanggapi materi yang disampaikan oleh Dr Ir Gunawan Djajakirana dan Ir Achmad Fathoni. Diskusi ini menyoroti pentingnya sinergi antara inovasi teknologi dan keberlanjutan dalam pengelolaan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS).
Prof Tjandra menguraikan tiga tantangan utama dalam pengelolaan limbah cair kelapa sawit (POME) di masa depan. Pertama, keterbatasan lahan menjadi isu mendesak karena peningkatan produksi kelapa sawit membutuhkan lebih banyak ruang untuk pengolahan limbah.
Kedua, regulasi lingkungan yang semakin ketat mengharuskan industri mengadopsi langkah-langkah untuk mengontrol dan mencegah pencemaran dengan standar tinggi. Ketiga, efisiensi pengolahan menuntut pengembangan teknologi yang hemat energi, ramah lingkungan, namun tetap terjangkau secara ekonomi.
Di sisi lain, ia juga memaparkan prospek positif dari pengelolaan LCPKS. Limbah ini memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit energi terbarukan melalui pengolahan biogas, serta dapat digunakan sebagai pupuk komersial yang kaya nutrisi untuk pertanian.
Selain itu, penerapan teknologi hybrid menjadi salah satu solusi inovatif untuk memaksimalkan efisiensi pengolahan sekaligus mengurangi dampak lingkungan.
“Dengan menggabungkan pendekatan teknologi yang canggih dan kebijakan berkelanjutan, tantangan yang ada dapat diatasi, sementara peluang besar dalam pengelolaan LCPKS dapat dimaksimalkan,” ujar Prof Tjandra.
Selain presentasi, sesi diskusi interaktif memberikan ruang bagi peserta untuk menyusun rekomendasi strategis. Acara ini berhasil merumuskan beberapa langkah praktis yang diharapkan dapat diimplementasikan oleh pemerintah, industri, dan pemangku kepentingan lainnya.
Diselenggarakan oleh Pusaka Kalam dengan dukungan dari BPDPKS, FGD ini menjadi tonggak penting dalam upaya mengelola LCPKS secara optimal dan berkelanjutan. Langkah ini juga menjadi kontribusi signifikan baik dalam rangka pengurangan emisi gas rumah kaca juga sebagai sumber daya dengan potensi besar untuk penambahan daya energi listrik dan pemanfaatan biogas sebagai penggerak kendaraan bermotor. (*/GK)
Foto-Foto: benang.id/Gora Kunjana