Jakarta, benang.id – Ignatius Sandyawan Sumardi, salah satu anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa 12–15 Mei 1998, mengatakan bahwa pengingkaran terjadinya tindak perkosaan massal Mei 1998 merupakan bentuk kekerasan baru dari negara.
“Saya tidak yakin bahwa Pak Fadli Zon itu slip of the the tounge, jadi salah ngomong.. saya kira sadar dan saya kenal juga dan dia orang yang…ya cukup punya otak untuk berbicara…,” ujar Sandyawan, saat diwawancarai oleh tim Narasi Newsroom via Google Meeting yang ditayangkan di Kanal Youtube Narasi Newsroom, Kamis (19/6/2025), seperti dikutip dari ikadriyarkara.org.
Suaranya terdengar berat, bukan karena tak tahu harus bicara apa, tetapi karena beban sejarah yang harus ia pikul kembali.
Wartawan Narasi, bagian dari tim jurnalis independen yang dipimpin Najwa Shihab, mewawancarai Sandyawan untuk menggali kesaksiannya. Wawancara ini muncul sebagai respons atas pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang meragukan keberadaan perkosaan massal dalam tragedi tersebut.
“Sebenarnya saya agak malas, saya tidak ingin berkomentar kalau hanya untuk menjawab keraguan seorang Fadli Zon, bahwa perkosaan itu terbukti ada faktanya atau tidak; perkosaan massal itu hanya rumor,” kata Sandyawan.
“Karena saya duga, itu hanyalah salah satu tak-tik Fadli Zon untuk mendelegitimasi eksistensi TGPF yang de facto sangat tidak disukai oleh pihak yang sedang berkuasa saat ini, terutama bagian rekomendasinya yang 8 butir itu. Berbahaya,” imbuhnya.
Namun ia akhirnya memilih untuk berbicara. Alasannya sederhana tetapi menyentuh: demi para korban.
“Saya membayangkan apa yang bergolak dalam perasaan dan pikiran para korban dan keluarga korban, juga para pendamping korban, yang sebagian besar saya kenal. Saya ingin terus dapat menemani mereka, meskipun saat ini saya secara fisik sedang agak jauh dari mereka,” tuturnya.
Kekerasan yang Terstruktur dan Terencana

Dalam wawancara tersebut, alumnus STF Driyarkara ini mengungkap kembali data penting TGPF: dari 85 korban kekerasan seksual yang teridentifikasi, 52 di antaranya adalah korban perkosaan, termasuk 14 korban dengan penganiayaan berat. Banyak dari aksi kekerasan tersebut dilakukan secara brutal dan di ruang publik—termasuk geng perkosaan yang dilakukan di hadapan orang lain.
Ia menjelaskan bahwa TGPF menggunakan standar hukum Indonesia dalam verifikasi kasus, bukan sekadar standar internasional. Maka, setiap kasus yang dikategorikan sebagai “perkosaan” telah melewati konfirmasi dari dua atau tiga anggota tim investigasi.
Sandyawan juga mengingatkan bahwa upaya untuk mengecilkan jumlah korban atau mempertanyakan “berapa saksi yang dia temui” adalah pendekatan yang salah dan membahayakan. “Apakah artinya hanya satu korban? Satu saja sudah terlalu banyak. Kita bicara tentang pelanggaran HAM berat, bukan statistik,” tandasnya..
Salah satu kisah yang tak pernah lepas dari ingatannya adalah tragedi yang menimpa sebut saja IMD. Sandyawan, bersama jurnalis Tempo Iwan Setiawan, menjadi saksi pertama yang tiba di lokasi kejadian. Ia menggambarkan dengan detail kondisi tubuh korban dan bagaimana aparat berusaha menutup-nutupi kasus tersebut sebagai kriminal biasa.
“Saya melihat sendiri bercak darah di dinding sampai ke loteng. Tubuh korban telanjang, luka di leher… sangat mengerikan,” kenangnya. Namun upaya keluarga korban untuk bersuara dicegah. Bahkan kakak kandung IMD diminta mengubah kesaksiannya. Polisi, menurut Sandyawan, datang bukan untuk melindungi, tetapi membungkam. Kesaksian keluarga IMD pun kemudian ditekan, dan kakak korban diminta memberikan kesaksian yang berbeda di Polda.
Delapan Rekomendasi yang Diabaikan

TGPF, menurut Sandyawan, telah menyerahkan delapan rekomendasi penting kepada Presiden BJ Habibie saat itu, termasuk pengusutan hukum terhadap pelaku kekerasan dan reformasi sektor keamanan. Namun sebagian besar rekomendasi itu diabaikan. Ia menilai pengabaian ini berbahaya.
“Kalau alat kekerasannya tidak diganti, dan operatornya masih sama, maka kekerasan itu bisa berulang. Bahkan sekadar membicarakan kasus ini di ruang publik saja sudah membuka kembali luka para korban,” ujarnya.
Ia menambahkan, para korban tidak menuntut balas, melainkan ingin memastikan bahwa kekejaman itu tidak terulang. “Ibu-ibu korban yang saya kenal adalah orang-orang pemaaf. Tapi mereka ingin penderitaan serupa tidak menimpa orang lain,”tegasnya.
Sandyawan mendesak agar penyelidikan kasus-kasus HAM tidak berhenti di meja investigasi, tetapi masuk ke tahap penyidikan dan proses pengadilan yang adil dan sensitif terhadap hak asasi manusia. Menurutnya, pengadilan HAM Indonesia harus menjalani perombakan serius agar lebih peka terhadap hak asasi manusia dan trauma korban, terutama perempuan.
“Kita butuh revolusi dalam sistem hukum kita. Hukum kita harus sensitif terhadap HAM dan gender. Kalau tidak, negara justru menjadi pelaku kekerasan baru,” tutupnya. (*/GK)