Situbondo, benang.id – Masyarakat khususnya antar umat beragama harus lebih dewasa dalam menjalani hidup beragama, lebih mawas diri, dan lebih meningkatkan rasa toleransi agar peristiwa tragedi Situbondo, 10 Oktober 1996 tidak terjadi lagi.
Demikian salah satu poin hasil Seminar & Talkshow dalam rangka Memperingati Hari Paguyuban 10 Oktober 1996 dan Pesta Pelindung Gereja Maria Bintang Samudera, Situbondo, Jawa Timur, yang digelar di Gereja Maria Bintang Samudera, Situbondo, Jumat (18/10/2024).
Seminar yang mengangkat tema “Menengok Tragedi 10 Oktober 1996, Membangun Jembatan Kasih dan Merajut Toleransi” ini menghadirkan pembicara Dr H Mahmudi Bajuri MAg MPdI– Dosen Universitas Ibrahimy Sukorejo, dan RD Damianus Fadjar Tedjo Soekarno –Promotor Dokumen Abudhabi.
Poin selanjutnya, kata Rudi Afianto SPd MPd, selaku moderator yang membacakan kesimpulan. Masyarakat harus lebih menitikberatkan sisi kemanusiaan dalam dirinya dalam menjalin kehidupan beragama. Sebab bakti manusia kepada Tuhan bisa dilihat dari ia berharga bagi manusia lain.
“Masalah ibadah adalah ranah pribadi menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya. Perbedaan tidak perlu menjadi pemecah atau penghalang namun justru harus menjadi kekayaan yang mendewasakan,” ujarnya.
“Yang terpenting kita harus mempunyai hati yang jernih ketika melakukan persaudaraan sejati, melakukan kerja sama di antara umat beragama,” tandas Rudi Afianto.
Untuk melihat seminar dan talkshow secara lengkap klik di sini: https://www.youtube.com/live/EfrM_mRt9uo
Menolak lupa
Mengawali seminar dan talkshow, dalam sambutannya Pastor Kepala Paroki Maria Bintang Samudera Situbondo Yakobus Hugo Susdiyanto OCarm mengatakan panitia sengaja menggunakan kata tragedi 10 Oktober 1996, bukan untuk membuka luka lama, tetapi upaya untuk menolak lupa.
“Karena kita ini orang-orang yang mudah lupa. Dengan mengangkat kata tragedi kami ingin menolak lupa, kenapa tragedi karena sebetulnya di kota Situbondo ini tidak pernah terjadi konflik yang berbalut agama, ras, suku tidak pernah ada. Tetapi tba-tiba 10 Oktober 1996 praktis terjadi kerusuhan yang luar biasa besar dan korbannya juga luar biasa besar. Praktis tidak ada fasilitas kristiani, Katolik dan Kristen, yang tidak hancur. Bahkan ada korban nyawa,” tandasnya.
Bagi Pastor Yakobus Hugo, persitiwa kerusuhan Situbondo adalah hal yang luar biasa, sebuah tragedi. Sebab tidak ada dalam sejarah Kota Situbondo terjadi konflik yang berbalut agama, ras, suku.
“Sekali lagi, tidak pernah ada. Tiba-tiba komunitas Kristiani, Katolik dan Protestan menjadi korban. Maka itu kami pahami sebagai suatu tragedi, tetapi tragedi tidak boleh dibiarkan begitu saja. Maka dari tragedi itu muncul keguyuban yang luar biasa, intern umat Kristiani Protestan dan Katolik mulai bersatu untuk memperbaiki gerejanya, memperbaiki tempat ibadatnya, sekolahnya, dan lain sebagainya. Umat Kristiani menjadi guyub rukun, dan komunitas-komunitas di luar Katolik juga membantu hingga terjalin paguyuban yang sangat indah,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Pastor Yakobus pun teringat akan pesan KH Andurrahman Wahid alias Gus Dur. “Beliau mengatakan kepada umat Katolik dan Kristen: ‘Anda kehilangan gereja-gereja yang sangat indah, tetapi Anda mendapatkan hal yang lebih berharga yakni persekutuan, persahabatan, persaudaraan.’ Dan kalau kita flashback pada 28 tahun yang lalu di tempat ini, juga di tempat-tempat lain gereja itu tokoh-tokoh nasional berkumpul, untuk berdikusi, untuk berbicara. Untuk membangun bersama-sama membentuk satu paguyuban untuk menyelesaikan itu. Maka sekali lagi tidak berhenti pada tragedi tetapi memaknai sebagai paguyuban. Itu harus kita isi, dengan membangin jembatan kasih dan juga merajut toleransi,” katanya.
Menutup sambutannya, Pastor Yakobus berharap setelah 28 tahun masyarakat tidak lupa, dan terus merefleksikan peristiwa itu sebagai pemantik untuk selanjutnya berkumpul kembali untuk diskusi-diskusi, dan bersilaturahmi.
“Ini sangat penting untuk kita ikut ambil bagian di dalam merawat keberagaman Indonesia ini. Semoga acara malam ini semakin menyadarkan kita betapa pentingnya kebersamaan di tengah keberagaman ini,” pungkasnya. (*)