Jakarta, benang.id – Pameran tunggal Iwan Effendi bertajuk Once Was di ara Contemporary Jakarta, 17 Mei – 21 Juni 2025. sangat patut untuk dikunjungi bukan saja bagi seniman dan penikmat seni, bahkan bagi orang awam sekalipun.
Pameran ‘Once Was’yang merupakan kelanjutan dari praktik seni Iwan Effendi yang berawal dari latar belakangnya sebagai dalang, dengan memadukan prinsip-prinsip inti dan resonansi emosional dari dunia boneka, menonjolkan kontras antara diam dan bergerak, memamerkan gambar bergerak, lukisan, dan gambar di atas kertas.
Namun, fokusnya adalah pada memori kehadiran, karena karya di atas kertas merekam jejak keberadaan dan gerakan gambar bergeraknya, yang dihapus dan digambar ulang berulang kali.
Hasilnya, jejak abstrak menunjukkan bahwa gerakan-gerakan ini telah meninggalkan jejak yang abadi—sesuatu yang nyata, tetapi masih terhubung dengan tindakan itu sendiri. Di luar subjek yang digambarkan, Iwan Effendi juga tertarik pada jejak yang ditinggalkan oleh sejarah tindakan yang berlapis-lapis, yang dilihat sebagai dialog yang terus berlangsung antara kekekalan dan ketidakkekalan, yang terlihat dan yang tidak terlihat. Setiap iterasi dibangun di atas iterasi sebelumnya, bukan untuk menutupinya, tetapi untuk hidup berdampingan.

‘Terkadang selembar kertas akan berakhir sebagai kekacauan abu-abu setelah gambar dibuat dan kemudian dihapus dan dihapus dan dihapus’ – William Kentridge
One Was menunjukkan unsur-unsur memori dan transformasi, khususnya dalam proses dalang dalam menangkap, mewujudkan, dan akhirnya menerjemahkan cerita dan identitas ke dalam boneka.
Bagian dari proses Iwan Effendi tidak menyisakan ruang untuk melihat ke belakang; ia menghapus apa yang telah digambarnya di kertas, hanya untuk menutupinya dengan adegan berikutnya, sehingga mustahil untuk kembali ke asal jejak.

Karya barunya diakhiri dengan serangkaian potret diri di atas kanvas, di mana ia mengubah dirinya menjadi objek — percakapan antara gerakan dan keheningan, yang bernyawa dan yang tidak bernyawa — yang mencerminkan hubungan antara dalang dan boneka. Pada intinya, Once Was adalah bahasa ingatan: menyiratkan sesuatu yang pernah ada, tetapi telah berubah sejak saat itu.
Sebagai salah satu pendiri dan salah satu Direktur Artistik Papermoon Puppet Theatre di Yogyakarta, Iwan Effendi menghidupkan karakter-karakter boneka dengan narasi dan emosi mereka. Praktik artistiknya mencakup pembuatan boneka, melukis, menggambar, dan pertunjukan, yang semuanya didasarkan pada ketertarikan pada kenangan dan cerita yang diwujudkan oleh setiap boneka, bahkan ketika ekspresi mereka tetap statis.
Nah, pendekatan inilah yang mengundang kita para penonton memiliki otoritas untuk menafsirkannya, dan dengan melakukannya, mereka menemukan refleksi diri mereka sendiri dalam boneka-boneka tersebut.
Gambar, foto, hapus

Salah satu karya masterpiece Iwan Effendi di Once Was adalah wanting to hold, needing to let go (2025). Sebuah karya video animasi atau slowmotion pictures. Proses pembuatan karya ini adalah menggambar difoto terus dihapus, digambar lagi di atas kertas yang sama, difoto dan dihapus lagi dan seterusnya. Untuk menyelesaikan video animasi berdurasi 6,5 menit ini, Iwan harus menggambar sekitar 3000-an kali, memfoto dan menghapus gambar sebanyak itu pula.
“Saya mengerjakannya sebulan penuh, dari pagi sampai malam. Tapi kadang terpotong untuk antar anak sekolah, atau latihan buat pentas boneka. Karena itu kalau ada gambarr yang terang itu digambar pas siang, kalau agak gelap ya diigambar pas malam,” papar Iwan, kepada awak media Jumat (16/5/2025).
Iwan menjelaskan bahwa ia mengggambar semua peristiwa apa saja yang lewat di pikiran dan bercampur baur. Hal ini dikarenakan ia tidak membuat suatu narasi secara khusus. “Jadi apa saja yang lewat di bayangan bisa saya tuangkan di kertas,” imbuhnya.
Bagi Iwan, salah satu kiat membuat karya tersebut adalah tidak boleh baper. “Sebenarnya kan sayang sudah gambar terus dihapus. Jadi saya kadang butuh waktu untuk merelakan, biasanya saya pergi dulu sepedaan, cuci piring atau apalah, yang penting ada ruang untuk akhirnya menghapus,” jelasnya seraya tersenyum.

Lebih jauh dikatakan Iwan, rata-rata satu kertas ia gambar dan hapus sekira 10 menitan. Setelah itu ganti kertas baru. Jadi jika Anda nanti berkesempatan menonton video animasi ini, akan tampak jelas jika layar bersih itu berarti kertas baru diganti.
“Saya menggambar sketsa ini tanpa story board, lebih mengandalkan improvisasi. Setiap gambar cuma bertahan 10 detik, setelah difoto dihapus terus menggambar lagi di atas kertas yang sama. Jadi inti karya ini mengutamakan jejak. Saya ingin menunjukkan jejak-jejak di gambar itu. Seperti menunjukkan kehidupan sebelumnya,” katanya.
Iwan menjadikan semua hal sebagai stimulan karyanya. Musik, suara, perbincangan dengan kakek, termasuk isu politik yang sedang viral seperti saat ramai-ramainya polemik RUU TNI ikut masuk mempengaruhi gambar yang dibuatnya. Semua bisa tiba-tiba terlintas dan langsung masuk ke dalam gambar.
“Setipis itu membrannya. Bisa juga apa yang sedang saya baca, ya saya gambar saja. Karena semuanya memang tidak direncana. Full improvisasi, dan setelah itu saya masuk ke proses editing. Karena itu proses gambar foto hapus itu kalau tidak punya keinginan yang kuat tidak akan berjalan. Kadang stimulan juga datang dari anak saya. Pulang sekolah dia cerita apa ya saya gambar saja,” tambahnya.

Menonton video aminasi wanting to hold, needing to let go ini, ibarat menapaki sepenggal jejak kehidupan Iwan Effendi dalam berbagai dimensinya. Senang, bahagia, sedih, marah, melamun, mempertanyakan sesuatu, dan sebagainya yang kadang bsa kita tangkap maksudnya namun bisa juga tidak dan di situlah kita bebas menterjemahkannya.
Di lantai yang sama, Iwan juga menghadirkan berbagai karya seni, termasuk boneka yang digantung. Tampak beberapa bagian tubuh boneka berwarna lain, itu dimaksudkan Iwan sebagai tanda bahwa ketika pemain boneka menggerakkan karakter yang dibawakannya ada beban lebih di bagian tubuh itu.
Menurutnya, suatu ekspresi itu bisa diwakili oleh kondisi anatomis tubuhnya. “Hal itu saya buat sebagai ilustrasi para pemain teater boneka. Ketika pentas, mereka harus rela ‘mati’ agar karakter atau ekspresi boneka lah yang muncul bukan dirinya. Suatu boneka kadang harus dimainkan oleh tiga orang. Di situ koordinasi antar pemain. Kekompakan gerak, saling topang, itu memerlukan kekuatan fisik dan konsentrasi.

Di lantai bawah galery, Iwan menampilkan sejumlah karya lukis. Yang di antaranya juga bicara soal teater boneka. Salah satunya squeeze (berdesakan) yang menggambarkan pemain boneka lebih dari satu atau butuh banyak pemain. Mereka harus jadi satu kesatuan dalam memainkan bonekanya. “Rasanya memang berdesak-desakan dan tidak boleh lepas. Harus bergerak dengan kompak, kalau ada yang hilang konsentrasi langsung buyar. Berdesak-desakan itu bisa ditemukan MRT, di terminal, bandara. Sensasinya sama sebetulnya. Dalam kondisi ini banyak pemain yang harus memainkan bonekanya dalam jarak yang sangat rapat,” bebernya.

Ada juga karya yang berjudul cast no shadow. Karya ini menggambarkan satu boneka yang digerakkan oleh tiga pemain (coretan warna merah). Ada yang memegang kepala dan kaki, ada kepala dan tangan, juga ada yang pegang panggul dan tangan.
Di satu dinding yang panjang, Iwan memajang karya pementasan 2010. Ia mengungkapkan bahwa waktu itu tema yang diangkat tentang sejarah peristiwa tahun 1965. “Tetapi pemain bonekanya semuanya anak muda. Jadi agak susah menjelaskannya karena mereka tidak pernah membaca, tidak tahu peristiwa itu,” ucapnya.
Oleh karena itu, pada momen libur lebaran dan mereka harus mudik, pulang kampung dan ketemu keluarga. Iwan memberikan tugas mereka untuk mewawancarai keluarganya yang sudah lansia tentang peristiwa 1965.

“Jadi karya ini bicara soal sejarah keluarga. Karena kami percaya sejarah orang itu refleksi dari sejarah yang lebih besar atau negara. Jadi akhirnya mereka tahu bahwa kejadian itu benar-benar terjadi. Jadi mereka bisa membayangkan. Walau mereka tidak terlibat. Tapi orangtuanya bisa menceritakan suasana mencekam saat itu,” imbuhnya.
Dan, narasi sejarah itu pun akhirnya bertemu sesuai dengan judulnya contact point atau titik temu. “Titik temu mereka dengan narasi sejarah itu karena setingnya di Jawa maka tergambarkan anak lagi bersimpuh di depan orangtuanya sambil diceritain, dirangkul sambil ngobrol, atau sambil ditepuk-tepuk kepalanya dan sebagainya,” ucapnya.

Menutup penjelasan siang itu, Iwan menunjukkan karyanya yang sangat unik. Yakni sebuah boneka tergantung dalam ruangan yang diberinya judul sincronizer. Karena mengyinkronkan semua hal yang ada di atas dan di bawah. Iwan kemudian memeragakan bagaimana seorang seniman teater boneka memainkan boneka. Dia menggunakan teknik dengan kursi beroda. Bagaimana Iwan menggerakkan kepala tangan dan kaki dan melangkah begitu hidup berkarakter. Seperti memiliki jiwa.
Iwan Effendi telah melakukan berbagai pameran tunggal, termasuk articulate, Mizuma Gallery Tokyo Japan (2024); preload di Mizuma Gallery Singapore (2023); Daydreaming Face di Ruci Art, Jakarta (2021); menggambar (2020) dan Face to Face di Galeri Mizuma, Singapura (2019); Eye of the Messenger di Galeri Yavuz, Singapura (2011); dan Two Shoes for Dancing di Valentine Willie Fine Art (Ruang Proyek), Kuala Lumpur, Malaysia (2009).
Iwan juga pernah berpartisipasi dalam pameran kelompok di Bulgaria, Singapura, Australia, Belanda, Filipina, Prancis, Jepang, AS, dan Meksiko. Ia pernah menjalani residensi di Museum of Art di Kochi, Jepang (2015); Federation Square, Melbourne, Australia (2014); dan Asian Cultural Council di New York, AS (2009-10) yang meneliti seni boneka, seni visual, dan seni pertunjukan. (*’GK)
Foto-foto: benang.id/Gora Kunjana