Sunday, November 24, 2024
No menu items!
spot_img
HomeNasionalMenjadi Lebih Indonesia Setelah Bertemu Peranakan Tionghoa dari Negara Lain

Menjadi Lebih Indonesia Setelah Bertemu Peranakan Tionghoa dari Negara Lain

Jakarta, benang.id –  Peranakan Tionghoa Indonesia atau keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia menjadi lebih Indonesia ketika bertemu dengan peranakan Tionghoa yang berasal dari negara lain. Bahkan istilah Chindo mulai diterima sebagai sikap nasionalisme.

Demikian diungkapkan Selly Gouw, seorang youtuber dan Gen Z Influencer dalam bincang budaya dengan thema “Budaya Peranakan Tiongjoa Abad ke-21, Mengulas Sejarah, Merintis Masa Depan“ di  Sakyaputra Mandira, Jakarta, Sabtu (9/3/2024). Acara ini juga menghadirkan Sinolog Universitas Indonesia Eddy P Witanto, dan Grace Khoesoema sebagai moderator.

Bincang budaya ini dilaksanakan oleh Ikon Kebudayaan Nusantara (IKN). Hadir dalam acara tersebut termasuk di dalamnya, komunitas peranakan Tionghoa, Kepala Wihara Ekayana Arama, YM Aryamaitri Mahasthavira, pendiri Ikon Budaya Nusantara Rm Justinus Sulistiadi Pr, para pembina Yayasan IKN Hoedrato Lukiman, Sulistio, Bambang Britono, dan juga Ketua Yayasan IKN Laurensius Chandra.

Kepala Wihara Ekayana Arama, YM Aryamaitri Mahasthavira dan Pendiri Ikon Budaya Nusantara (IKN) Rm Justinus Sulistiadi Pr senyum bersama di Vihara Sakyaputra Mandira, Jakarta, Sabtu (9/3/2024).

Istilah ‘chindo’ menjadi viral diperbincangkan di media sosial usai Grand Final Master Chef Indonesia Season 11, November 2023.  Chindo menjadi topik panas di X hingga TikTok setelah Belinda Christina, seorang Chindo menjuari kejuaraan lomba masak tersebut.

Chindo – Chinese Indonesian adalah sebutan peranakan Tionghoa yang lahir di Indonesia namun tinggal atau sekolah di Amerika. Mereka bangga dengan istilah Chindo karena nasionalisme sebagai bangsa Indonesia melekat pada istilah tersebut.  Chindo sebenarnya untuk membedakan peranakan Tionghoa atau peranakan China yang berasal atau lahir di negara lain selain Indonesia, tetapi juga tinggal di Amerika.

Menurut Eddy Witanto, budaya Peranakan Tionghoa, sebagai bagian integral dari warisan budaya Indonesia. Warisan tersebut memegang peran penting dalam membentuk identitas Indonesia. Keberadaannya tercermin jelas mulai dari aspek bahasa, arsitektur, kain tradisional, kuliner, ekonomi, hingga menjadi bagian dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun, minimnya informasi mengenai budaya peranakan Tionghoa saat ini dapat memicu ketidakpahaman serta miskonsepsi mengenai esensi dan peranannya dalam keragaman budaya Indonesia.

“Budaya peranakan Tionghoa merupakan produk budaya hasil akulturasi budaya Tionghoa dengan budaya lokal Indonesia, misalnya batik pesisir pantai utara Jawa seperti di daerah Lasem, Cirebon, dan Pekalongan atau di bidang kuliner, seperti wedang ronde, bakso, dan sebagainya,” kata Sinolog dari Universitas Indonesia itu.

Ia menambahkan, akulturasi budaya peranakan Tionghoa yang terbentuk di suatu tempat di Indonesia sangat dipengaruhi derajat akulturasi budaya antara budaya peranakan Tionghoa dan budaya lokal setempat, misalnya orang-orang Tionghoa yang sudah sangat lama menetap di pantai utara Jawa tentu akan menghasilkan corak budaya peranakan Tionghoa yang berbeda dari warga Tionghoa di Kalimantan Barat atau Sumatera yang baru terbentuk mulai abad ke-18an.

Di luar konteks budaya, warga Tionghoa telah aktif di berbagai sektor di Indonesia, bukan hanya sektor perdagangan semata, namun sayangnya hal ini yang jarang terekspos oleh publik. Eddy mencontohkan, Dokter Oen Boen Ing yang pada tahun 1976 menerima Satya Lencana Kebaktian Sosial dari pemerintah Indonesia atas jasa dan pengabdiannya yang tanpa pamrih kepada masyarakat. Dalam bidang militer, Laksamana Muda TNI (Purn.) John Lie Tjeng Tjoan atau dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma adalah seorang perwira Angkatan Laut RI di masa penjajahan Jepang yang menjalankan berbagai misi-misi menembus blokade Belanda. John Lie mendapatkan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009 di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Para panitia gelar budaya di Sakyaputra Mandira berfoto bersama. Pendiri Ikon Budaya Nusantara Rm Justinus Sulistiadi Pr (duduk kedua dari kiri) dan Kepala Wihara Ekayana Arama, YM Aryamaitri Mahasthavira (berjubah).

Sementara itu, Selly Gouw menguraikan bahwa di era sekarang, di tengah kepopuleran kata chindo di media sosial, budaya peranakan Tionghoa ternyata mengalami berbagai tantangan, mulai dari cultural gap, perbedaan muatan pengetahuan soal budaya peranakan Tionghoa antara generasi tua dan generasi sekarang hingga pelestarian budaya peranakan Tionghoa melalui informasi yang tepat.

“Sebagai bagian dari gen Z peranakan Tionghoa, saya terdorong untuk melestarikan budaya peranakan Tionghoa melalui media sosial. Harapannya, jika informasi soal budaya peranakan Tionghoa disampaikan oleh generasi yang sama, maka informasi tersebut bisa diterima dengan mudah,” ujar Selly Gouw.

Ketua Yayasan Ikon Kebudayaan Nusantara, Laurensius Chandra mengatakan bahwa acara diskusi ini merupakan titik awal untuk menjadi katalisator untuk pelestarian dan kemajuan warisan budaya di Indonesia. Akan ada berbagai thema budaya yang akan dilakukan oleh Ikon Budaya Nusantara.

Menurut Sekretaris Umum Lembaga Kebudayaan Betawi, H Imron “Imbong“ Hasbullah, kebudayaan Tionghoa setidaknya memengaruhi 50% dari budaya yang tumbuh atau bertemu di Betawi.  Budaya Betawi itu dipengaruhi oleh budaya nusantara dan para imigran yang datang dari negara sebrang. Hampir seluruh unsur budaya Nusantara ada di dalam budaya Betawi. Yakni, unsur  Jawa, Sunda, Melayu, Bugis, Batak, Tionghoa, Arab, Inggris, Belanda, Portugis, Ambon, dan Bali.

“Budaya Betawi itu lintas etnis. Itu bisa dilihat dari pakaian perkawinan adat Betawi. Gambang kromong merupakan musik tradisi Betawi yang telah dipengarui oleh berbagai macam budaya. Atau juga, dalam adat perkawinan, mempelai pria mengenakan pakaian Arab dan mempelai perempuan mengenakan dandanan pengantin none cine atau yang disebut siangko. Intinya adalah Betawi beri contoh keterbukaan dan silang budaya berabad,“ ujar Imbong.

Beberapa media menulis, istilah Chindo berbeda dengan IndoChina. Dua pengertian yang berbeda meski mengacu pada budaya ras tertentu. Indochina adalah kawasan negara-negara di semenanjung Asia Tenggara atau Asia Tenggara daratan. Indochina adalah negara-negara kawasan di selatan China yang budaya terpengaruh dan terhubung oleh China daratan. Bahkan secara spesifik negara kawasan ini dulu merupakan jajahan Prancis.  Sedangkan Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura sering disebut  sebagai Kawasan Melayu yang sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu. Sehingga negara-negara kawasan ini disebut sebagai kawasan maritim. (*)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments