Jakarta, benang.id,- Di tengah-tengah gempuran merek-merek asing , sebanyak 400 brand (jenama) lokal dari negeri sendiri turut berpartisipasi dalam pameran Indonesia Clothing Summit 2024 di Convention Hall Smesco Jakarta, pada 1-4 Agustus 2024. Acara ini sendiri dibuka sendiri oleh oleh Menteri Koperasi dan Usaha Kecil, Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki itu terdiri dari beberapa pameran yakni Jakcloth Summerfest, Open Trip Festival x Outfest , pameran Beauty Hunter,Talkshow Building The Indonesia Clothing Industry Ecosystem, dan komunitas denim serta kulit.
Dalam sambutannya, Menteri Teten sangat mengapresiasi kegiatan Indonesia Clothing Summit 2024 yang tujuannya mau menunjukkan keberadaan brand-brand lokal berkualitas di tengah gempuran masuknya produk-produk luar.
“Saya dukung Smesco menjadi Markas Besar Brand (jenama) Lokal. Kita tidak bisa tutup mata kenyataannya wilayah pantai Indonesia yang sangat luas dan begitu banyak barang bisa masuk secara legal dan ilegal. Pemerintah sendiri berusaha memproteksi produk atau brand lokal, atau produk dalam negeri dari persaingan produk luar negeri yang memang diproduksi sangat murah,” ujarnya, Kamis (1/8).
Menteri Teten mengingatkan para pelaku usaha harus menjalani model bisnis yang efisien dan kompetitif. Sebab itu ia mendorong ada beberapa konsolidasi yang dilakukan. “Dengan Jakcloth ini sudah menjadi ekosistem. Tadi disebutkan ada 400 brand berpartisipasi di pameran ini. Saya harap tidak lagi memproduksi sendiri-sendiri. Sebab, produk luar itu datangnya sangat sistematis, semuanya terintegrasi. Sistem logistik, pembiayaannya, supply chainnya (rantai pasok), brandingnya, marketingnya sudah terkonsolidasi,” tuturnya.
Nah, sambung Teten, kalau UMKM lokal masih sendiri-sendiri dipastikan kalah bersaing . “Karena itu tadi saya tawarkan sudah harus mencari model bisnis untuk bisa mengonsolidasi semuanya,” tegasnya.
Belanja Produk Lokal
Lebih lanjut, teten memaparkan sebetulnya pemerintah sudah berhasil memasukkan 40% belanja pemerintah (dari APBN) harus membeli produk lokal. Jumlahnya besar yakni sekitar Rp 400 triliun. Salah satu contoh, mulai dari seragam sekolah, seragam pramugari itu harus beli produk lokal. “Tetapi ke depan persaingan itu semakin berat. Bagaimana produk atau brand lokal itu juga harus bisa bersaing dari sisi kualitas (mutu). Itulah sebabnya kami (Kemenkop UKM) membangun rumah-rumah produksi supaya para UKM bisa mengakses teknologi modern.”
Berdasarkan data, saat ini baru 19% UMKM yang memiliki akses pembiayaan ke bank. Bahkan ketika Presiden Joko Widodo meminta agar di tahun 2024 naik menjadi 30% itupun sulit terpenuhi. “Saya bilang susah kalau tidak ada inovasi di pembiayaan. Karena itu kami mengusulkan inovasi credit scoring. Saat ini, bank masih menggunakan agunan dan data credit history. Kalau berdasarkan history, pasti yang menerima kredit di perbankan tidak akan melonjak,” jelas Teten lagi.
Ia mengatakan sampai hari ini ada 30 jutaan lebih UMKM yang belum mengakses pembiayaan. “Kan tidak fair bila usaha besar dapat pembiayaan murah, sementara UMKM malah mendapatkan pembiayaan mahal. Alhamdulilah perkembangan sudah bagus. Kami sudah bicara dengan menteri keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang sudah menyiapkan infrastruktur, kebijakan yang memungkinkan bisa terlaksananya credit scoring. Dalam praktiknya bank juga sudah mulai mempraktikkan, meski dalam skala kecil,” imbuhnya.
Cukup dengan data telepon, PLN akan semakin banyak UMKM yang sebenarnya memenuhi syarat untuk menerima kredit. “Ini saya titip ya, karena sudah digunakan di 145 negara. Namun, para UMKM-nya juga harus sudah mulai, pertama, pencatatan secara digital demi kesehatan usaha.”
Kedua, lanjutnya, harus dipikirkan cari pembiayaan di pasar modal, karena lebih murah. Sementara di bank, jika UMKM pinjam uang dan usaha mereka maju atau rugi, tetap harus bayar cicilan. Sementara di di pasar modal, jika kondisi perusahaan sedang rugi, dividen bisa tidak dibagi. Sehingga mereka punya waktu memulihkan kesehatan usaha. Pada kesempatan tersebut, Teten pun memberi tahu bahwa Kemenkop UKM, saat ini sudah bekerja sama dengan Bursa Efek Indonesia untuk mengakselerasi.
“Di papan akselerasi itu kalau yang punya aset Rp50 miliar boleh initial public offering (IPO). Sekarang ada 44 UMKM sudah IPO. Terakhir kita dampingi minuman Teguk,” ujarnya. Namun masalahnya, menurut Teten, ternyata tidak banyak UMKM yang memiliki aset senilai Rp50 miliar. Kebanyakan aset mereka di kisaran Rp10 miliar-20 miliar. Lalu muncul gagasan bagaimana kalau membuat holding. (*)