Thursday, November 21, 2024
No menu items!
spot_img
HomeEkonomiMenyangkut Hajat Hidup Rakyat, Potensi Besar Sawit Harus Dikelola dengan Baik

Menyangkut Hajat Hidup Rakyat, Potensi Besar Sawit Harus Dikelola dengan Baik

Jakarta, benang.id – Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Saat ini lahan kelapa sawit mencapai sekitar 16,3 juta hektare (ha) yang tersebar di 317 kabupaten dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia. Diperkirakan 16 juta masyarakat Indonesia bergantung pada ekonomi kelapa sawit.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian Musdalifah Mahmud mengatakan besarnya potensi sawit ini harus dikelola dengan baik. Pasalnya bukan hanya soal energi, kelapa sawit juga menyangkut hajat hidup masyarakat Indonesia. Untuk itu dibutuhkan percepatan peremajaan kelapa sawit rakyat untuk menjaga keberlanjutan produksi.

“Karena sawit adalah punya kita dan kebanggaan kita. Kita harus bersama-sama berupaya untuk mengedepankan sumber ekonomi rakyat. Sawit harus kita bela, bukan hanya soal diekspor lebih besar, tetapi di dalam negeri sendiri harus dibela karena ada 16,2 juta rakyat yang bergantung dari sawit,” kata Musdalifah dalam paparannya di Seminar Nasional bertajuk Sawit Memerdekakan Rakyat Indonesia dari Kemiskinan yang diselenggarakan SAWITKITA.ID di Jakarta, Selasa (8/8/2023).

Hadir juga dalam diskusi Ketua Umum Gapki Eddy Martono, Anggota Komisi IV DPR Firman Soebagio, dan Kepala Divisi Perusahaan BPDPKS Achmad Maulizal Sutawijaya. Tampak pula mantan Ketua Gapki Joko Supriyono.

Narasumber menerima cinderamata karikatur usai Seminar Nasional bertajuk Sawit Memerdekakan Rakyat Indonesia dari Kemiskinan yang digelar SAWITKITA.ID di Jakarta, Selasa (8/8/2023). Foto: benang.id/Gora Kunjana

Musdalifah melanjutkan, luasnya sebaran lahan dan banyaknya rakyat yang bergantung pada ekonomi kelapa sawit ini harus terus dikelola sehingga tetap berkelanjutan. Apalagi menghadapi banyaknya tantangan, termasuk stigma negatif dari global tentang minyak sawit Indonesia, salah satunya terkait deforestasi.

Musdalifah tegas menyatakan Indonesia sejak 2011 sudah melakukan moratorium untuk melakukan deforestasi atau pembukaan lahan hutan baru untuk komoditas, termasuk untuk perkebunan sawit. Ia menilai ekosistem akan berubah dan muncul ekosistem yang baru. Indonesia harus terus beradaptasi dengan ekosistem yang baru tanpa harus merusak.

“Sawit tidak merusak. Namun negara lain terus menuding Indonesia merusak ekosistem lingkungan karena sawit. Sementara negara lain apakah tidak merusak ekosistemnya? Negara lain bisa merdeka dengan sumber daya alamnya, tetapi mereka mengganggu kita yang punya sumber daya alam dan ekonomi dari alam, yang menjaga ekonomi rakyat. Sementara kita berupaya menghasilkan produk energi berkelanjutan,” tegas dia.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian Musdalifah Mahmud menyampaikan paparan terkait sawit pada Seminar Nasional bertajuk Sawit Memerdekakan Rakyat Indonesia dari Kemiskinan yang digelar SAWITKITA.ID di Jakarta, Selasa (8/8/2023). Foto: sawitkita.id

Musdalifah memaklumi jika negara lain punya ketentuan atau regulasi tersendiri tentang lingkungan dan komoditas pangan ekspor. Seperti halnya EUDR dan regulasi 27 negara besar tidak bisa disalahkan karena setiap negara punya ketentuan masing-masing.

Demikian juga di Indonesia ada tujuh komoditas yang berupaya dikembangkan untuk menjadi ekspor dan mendukung ekonomi nasional. Di antaranya kakao, karet, kopi hingga kelapa sawit, namun semua berujung ke sawit. “Sasarannya ke sawit, karena sawit menjadi pesaing serius minyak nabati Eropa,” katanya.

Musdalifah menekankan bahwa pemerintah Indonesia berupaya semua komoditas tetap memperhatikan lingkungan dengan tidak melakukan deforestasi. Di antaranya dengan melakukan geo tagging atau pendataan lahan potensial. Namun sistem tersebut tetap menjadi rahasia kepemilikan negara sehingga tidak boleh untuk dibagikan ke semua negara.

“Indonesia berupaya agar perdagangan sawit tidak bertentangan dengan kebijakan Eropa (EU). Bahkan, pemerintah berupaya tidak lakukan deforestasi, sudah ada moratorium pengalihfungsian hutan primer dan gambut sejak 2011. Sudah tidak boleh lagi deforestasi. Kita berupaya untuk tidak lakukan deforestasi untuk menunjang komoditas global,” tekannya.

Pengelolaan sawit berkelanjutan

Ketua Umum Gapki Eddy Martono saat presentasi pada Seminar Nasional bertajuk Sawit Memerdekakan Rakyat Indonesia dari Kemiskinan yang digelar SAWITKITA.ID di Jakarta, Selasa (8/8/2023). Foto: benang.id/Gora Kunjana

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai pengelolaan sawit secara berkelanjutan dapat mendorong perekonomian rakyat. Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengatakan, produksi kelapa sawit yang semakin meningkat akan berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan negara atau devisa dari sawit pada 2022 mencapai US$39,07 miliar dan menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah. Tahun ini, dalam kurun Januari hingga Mei 2023, nilai ekspor sawit mencapai US$11,72 milliar. “Tanpa adanya sawit, maka neraca perdagangan turun,” tutur Eddy.

Tingkat konsumsi minyak sawit di dalam negeri dalam empat tahun terakhir terus naik, berkisar 30-40% meskipun dari segi produksi tahunan relatif stagnan di level 51 juta ton. Lonjakan konsumsi ini utamanya imbas dari mandatori penyerapan biodiesel di dalam negeri, seperti B35.

Dari segi ekspor sawit Indonesia terjadi kenaikan di beberapa negara pada 2022 seperti India, Pakistan, Amerika Serikat. Ekspor ke beberapa negara tersebut juga kembali meningkat pada tahun ini, kecuali di AS.

Dari segi pertumbuhan luas lahan, kelapa sawit paling rendah atau jauh lebih kecil dari dibandingkan kedelai. Namun dari tingkat produksi, sawit jauh lebih tinggi dibandingkan komoditas lain sebagai penghasil minyak nabati.

“Produktivitas minyak (CPO) kelapa sawit jauh lebih tinggi dari pada tanaman lain, seperti biji bunga matahari (sun flower), kedelai, dan lainnya,” ujarnya.

Eddy mengungkapkan, saat ini Indonesia mengalami tantangan yang harus segera diatasi. Tantangan itu yakni persoalan produksi dan produktivitas yang relatif stagnan dan cenderung turun. Sementara konsumsi dalam negeri terus meningkat (pangan, biodiesel, oleokimia), volume ekspor cenderung menurun.

Tantangan lainnya yaitu persoalan kepastian berusaha di industri sawit, perkebunan sawit yang teridentifikasi masuk kawasan hutan sudah tertanam, soal perizinan dan HGU. Kemudian, adanya kebijakan yang cepat berubah seperti kasus tata kelola minyak goreng, tuntutan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) sebesar 20%.

Selain itu, masih adanya kampanye negatif industri sawit, pelabelan “palm oil free” pada beberapa produk yang mengandung minyak nabati. Bahkan, ada juga kampanye negatif di beberapa buku pelajaran siswa.

Realisasi peremajaan sawit rakyat (PSR) pada 2017-2023 juga masih menjadi tantangan. Beberapa kendala di lapangan masih ada penyimpangan, sulitnya mencari pendamping, alas hak tanah petani, dan lainnya.

“Kita berharap sinergitas pemerintah dan dunia usaha dalam tata kelola perkebunan sawit dan ekosistem bisnisnya. Sebab tidak dimungkiri ada jutaan rakyat yang bergantung hidupnya dari kebun sawit,” terangnya.

Eddy mengapresiasi kerja pemerintah yang dianggapnya sudah on the track, terutama melakukan PSR. “Industri kelapa sawit mempunyai peranan yang strategis terutama sebagai sumber devisa, penyerapan tenaga kerja dan pengembangan wilayah, sehingga perlu terus dijaga dan dirawat kesinambungannya,” katanya.

Terkait upaya peningkatan produksi dan produktivitas kelapa sawit, Eddy menyebutkan perlunya segera dilakukan peningkatan dan percepatan implementasi program PSR terutama melalui jalur kemitraan.

“Perlu diupayakan program intensifikasi dengan pendampingan dan bantuan pembiayaan, adanya kepastian hukum bagi perusahaan yang sudah berjalan dan telah mempunyai perizinan dan hak atas tanah yang dikeluarkan oleh pemerintah,” imbuhnya.

Mengingat perkebunan kelapa sawit adalah investasi jangka panjang dan diperdagangkan di pasar internasional, menurut Eddy Martono, diperlukan kebijakan dan pengaturan pemerintah yang pasti dan tidak cepat berubah.

“Dengan adanya pengelolaan data yang baik, makanya implikasinya akan memudahkan bagi pemerintah dalam membuat regulasi kebijakan yang tepat untuk melindungi kelapa sawit atau komoditas lainnya secara berkelanjutan, termasuk berdampak dalam menopang ekonomi nasional,” tukasnya.

Dukungan legislasi

Anggota Komisi IV DPR Firman Soebagio (kemeja putih) bicara pada Seminar Nasional bertajuk Sawit Memerdekakan Rakyat Indonesia dari Kemiskinan yang digelar SAWITKITA.ID di Jakarta, Selasa (8/8/2023). Foto: benang.id/Gora Kunjana

Adapun untuk mempertahankan industri kelapa sawit di Indonesia tetap berkelanjutan, Anggota Komisi IV DPR RI Firman Soebagio mengatakan perlunya dukungan legislasi. Apalagi selama ini Indonesia menjadi salah satu negara penghasil CPO terbesar di dunia. Maka sudah semestinya ekosistem komoditi harus dikelola dari hulu hingga ke hilir.

Ia menyoroti adanya stigma negatif dari negara lain yang menyudutkan kelapa sawit dengan dalih merusak lingkungan karena disinyalir erat dengan deforestasi.

“Banyak kemunafikan dari orang-orang Eropa tentang sawit di Indonesia. Tidak dimungkiri, ada yang tidak tahu pohon sawit seperti apa. Padahal pohon ini tumbuhnya juga sama seperti komoditi lain, kopi, kakao,” kritik Firman.  

Ia mengatakan, keberadaan kelapa sawit di Indonesia tidak dapat dianggap remeh, mengingat pada kenyataannya kini Indonesia merupakan produsen terbesar dan sekaligus konsumen terbesar minyak sawit dan produknya di dunia. Indonesia menghasilkan 45,58 juta ton minyak sawit, mengekspor 25,62 juta ton dan mengonsumsi 18,4 juta ton minyak sawit dari area 16,8 juta hektare (ha) yang juga merupakan perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia. Karena itulah industri kelapa sawit menjadi salah satu sektor strategis yang menopang perekonomian Indonesia.

Perkembangan industri kelapa sawit dianggap banyak kalangan sebagai suatu yang amat penting dari kebutuhan pokok. Karena minyak sawit merupakan bahan baku dominan minyak goreng di dalam negeri dan merupakan salah satu kebutuhan esensial masyarakat. Bahkan, minyak sawit (CPO) sudah digunakan sebagai bahan baku untuk biodiesel, salah satu alternatif energi baru terbarukan.

Firman menilai, seberapa jauh negara menyikapi dan hadir terhadap keberadaan komoditi kelapa sawit yang sangat strategis ini akan berdampak terhadap keberlanjutan kelapa sawit. Sayangnya, hingga saat ini masih ada kekosongan hukum yang bisa memproteksi komoditi – komoditi strategis perkebunan di Indonesia.

“Kita ada tujuh komoditas yang potensial dan prospek ekonomi yang sangat luar biasa yaitu kelapa sawit, kakao, karet, kopi, dan lainnya. Perlu adanya regulasi perlindungan komoditi yang strategis. Salah satunya, UU Perkelapasawitan,” katanya.

Firman mencontohkan negara lain seperti Amerika memiliki UU untuk melindungi komoditi pangan prioritas jagung, kopi. Turki juga memiliki UU untuk melindungi tembakau. Jepang ada memiliki UU Perberasan sehingga ada perlindungan ketika ada gejolak ekonomi pangan. Begitu juga Malaysia yang sudah mempunyai UU Perkelapasawitan, padahal luas lahan kebun sawit tak lebih besar dibandingkan Indonesia.

“Kontribusi sawit sangat besar terhadap kehidupan global, karena nabati dari sawit sangat besar potensinya ketimbang produksi nabati dari biji bunga matahari. Itulah kenapa Eropa ketakutan dengan Indonesia yang punya potensi besar minyak sawit. Kenapa Indonesia tidak punya undang-undang yang khusus melindungi komoditi strategis? Inilah yang semestinya harus menjadi perhatian kita bersama,” cetusnya.

Tantangan lainnya, lanjut Firman, yaitu besarnya jumlah lahan yang masih dikelola masyarakat. Luasnya mencapai 6,8 juta ha, lebih besar ketimbang yang dikelola perusahaan. Namun, segi dari produktivitas lahan sawit yang dikelola masyarakat justru jauh lebih sedikit dibandingkan produksi kebun sawit oleh perusahaan.

Hal itu menjadi salah satu acuan mengapa sumber daya alam tidak sepenuhnya diserahkan kepada rakyat begitu saja. Meski Pasal 33 UUD 1945 itu menekankan pengelolaan sumber daya atau kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat, namun tetap diperlukan campur tangan pihak lain termasuk perusahaan swasta/investor. Adanya perusahaan akan membuka lapangan kerja, menyerap tenaga kerja, hingga memproduksi komoditas yang lebih punya nilai jual tinggi sehingga dapat berdampak langsung terhadap pendapatan negara.

Kinerja sawit kerek PDB

Kepala Divisi Perusahaan BPDPKS Achmad Maulizal Sutawijaya (kanan pegang mick). pada Seminar Nasional bertajuk Sawit Memerdekakan Rakyat Indonesia dari Kemiskinan yang digelar SAWITKITA.ID di Jakarta, Selasa (8/8/2023). Foto: benang.id/Gora Kunjana

Sementara itu, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyatakan sektor perkebunan kelapa sawit mencatatkan tren positif yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional. Hasil impresif itu turut mengerek produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada kuartal I-2023 yang bertumbuh di level 5,03%.

Kepala Divisi Perusahaan BPDPKS Achmad Maulizal Sutawijaya menjelaskan, sumbangsih itu tak lepas dari kinerja sektor kelapa sawit dalam negeri yang melibatkan 2,4 juta petani swadaya dan 16 juta tenaga kerja. Produktivitas minyak nabati dari sawit justru menempati posisi teratas dibanding komoditi lainnya dengan kisaran 65 juta ton.

Padahal secara luasan lahan, lanjut Maulizal, area kebun sawit jauh lebih kecil dibanding lahan komoditi penghasil minyak nabati lainnya. Dari total 277 juta hektare (ha) area lahan tanaman produksi minyak nabati di Indonesia, total area sawit hanya 16 juta ha. Jumlah ini kalah jauh ketimbang luas perkebunan bunga matahari (sunflower) yang totalnya 25 juta ha, rapeseed 36 juta ha, kedelai (soybean) 122 juta ha, dan jagung sebanyak 77 juta ha.

“Ini bukti sawit merupakan komoditas minyak dunia dengan produktivitas lahan yang paling baik dibandingkan minyak nabati lainnya. Kelapa sawit menjadi pilihan paling sustainable dalam memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia yang semakin bertumbuh,” ungkap Maulizal.  

Kendati begitu, keberlanjutan industri sawit di Indonesia tidak selalu berjalan mulus. Ada saja tantangan internal maupun eksternal yang muncul. Mulai dari persoalan produktivitas yang masih dinilai rendah, stigma atau kampanye negatif tentang kaitan sawit dengan isu kerusakan lingkungan dan deforestasi, legalitas perizinan usaha, hilirisasi industri, hambatan ekspor di negara tujuan, hingga munculnya gangguan atau konflik dengan perkebunan milik rakyat.

Maulizal mencontohkan berbagai hambatan yang dilakukan Eropa terhadap produk minyak sawit Indonesia. Menurut dia, stigma negatif itu merupakan trik perang dagang karena mereka tidak mau produk minyak nabati sejenis seperti bunga matahari, kedelai, hingga jagung kalah bersaing dari sawit.

Dia menekankan Indonesia tidak boleh kalah dengan pola kampanye negatif tersebut. Karena itu, sektor hulu hingga ke hilir di dalam negeri juga perlu diperkuat dengan integrasi. Beberapa langkah strategis itu antara lain perbaikan kesejahteraan petani, stabilitasi harga CPO, dan memperkuat industri hilir melalui dukungan riset.

Perbaikan kesejahteraan petani misalnya dengan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang telah dilakukan sejak 2016. Luas lahan mencapai 282.000 ha yang dikelola oleh 124.000 orang. Adapun dukungan dana BPDPKS yang telah tersalurkan mencapai Rp7,52 triliun.

“Tetapi PSR tidak berarti berjalan mulus. Penurunan capaian kinerja program PSR terutama disebabkan oleh kendala terhadap pemenuhan persyaratan, seperti keterangan tidak berada di kawasan hutan dan kawasan lindung gambut, serta tidak berada di lahan HGU,” terang dia.

Program ini diharapkan mampu mendukung ekonomi masyarakat perkebunan sawit menjadi lebih sejahtera. Tidak dimungkiri sistem jual beli sawit saat ini tidak memiliki acuan berarti. Mekanisme masih bebas antara petani swadaya dengan perusahaan, bahkan ada terlibat dengan tengkulak.

Karena itu, Maulizal menilai pemerintah harus cepat tanggap dalam menyusun kebijakan yang tepat untuk melindungi para pengusaha hingga petani kecil. Misalnya, regulasi terkait bursa saham atau harga sawit yang dapat menjaga stabilitas harga di tingkat petani, perusahaan besar swasta, dan importir.

“Menjaga agar harga petani swadaya tetap terjaga. Selama ini harga hanya ditentukan bebas, hanya lewat WA (WhatsApp) saja. Apalagi ada yang jualnya ke cukong (tengkulak),” ujarnya.

BPDPKS menilai perlindungan terhadap industri kelapa sawit harus diatur dengan kebijakan yang tepat sehingga sektor perkebunan ini terus bertumbuh dan tidak menyengsarakan terutama petani kecil. Sinergi lintas kementerian/lembaga hingga pemerintah daerah dan masyarakat perkebunan menjadi kunci dalam menjaga ekosistem sawit tetap berlanjut secara positif. Terlebih lagi, sektor kelapa sawit Indonesia sejak 2000 telah membantu 10 juta orang keluar dari kemiskinan, termasuk di antaranya 1,3 juta orang di pedesaan terangkat langsung dari garis kemiskinan karena industri kelapa sawit. (*)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments