Wulandoni, benang.id – Untuk Paskah 2024 , kami benar-benar mendapat pengalaman yang unik dan mengesankan. Hal ini bermula anak kami di awal Maret lolos seleksi dari Kemenkes untuk bertugas khusus menjadi tenaga medis , dokter gigi di daerah sangat terpencil di Indonesia. Puji Tuhan dia mendapat tugas di Puskesmas Wulandoni, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata Nusa Tenggara Timur.
Karena baru pertama kali merantau dan jauh dari orang tua, kami berpikir ada baiknya salah satu dari orang tua ikut menemani untuk melihat tempatnya dia berkarya sekaligus ingin menjelajahi Timur Indonesia khususnya Pulau Lembata, NTT.
Wulandoni merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Lembata Nusa Tenggara Timur yang terbentuk pada tanggal 12 Oktober 1999. Sesuai dengan letak geografis, Kecamatan Wulandoni merupakan daerah yang beriklim tropis, dimana musim kemarau yang sangat panjang dengan rata-rata 8-9 bulan dan musim hujan yang relatif singkat dengan rata-rata 3-4 bulan.
Wilayah Kecamatan Wulandoni juga didominasi oleh wilayah perbukitan dengan topografi curam dan sangat curam dengan sedikit dataran rendah pada daerah permukiman. Berdasarkan Peraturan Presiden No 131/2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019 ada 112 kabupaten daerah tertinggal di Indonesia dan 18 diantaranya berada di NTT 18 termasuk Kabupaten Lembata.
Hal ini terbukti ketika kami mengalami perjalanan darat dari ibukota Kabupaten Lembata yaitu Lewoleba menuju Wulandoni. Setelah naik pesawat menuju Kupang dari Jakarta sekitar 4 jam , anak kami harus transit di Kupang 2 hari untuk melaporkan diri ke Dinas Kesehatan Provinsi NTT. Setelah itu kita naik pesawat sedang jenis ATR dari ke Lembata memakan waktu 50 menit. Ketika mau mendarat di Bandara Perintis Wonopito pemandangan laut lepas yang biru dan gunung berapi sanga jelas. Sekilas seperti gugusan pulau yang hilang dalam film- film.
Kami mesti berjuang selama 3 jam dari ibukota Kabupaten Lewoleba menuju desa Wulandoni yang menembus dari pesisir utara menuju selatan. Sebagian besar jalan memang sudah mulus, tapi 20 km menjelang desa kami benar membutuhkan pengemudi yang handal di area yang menantang, berbatu, tanjakan, sebagian masih tanah lumpur. Untuk para pecinta olahraga otomotif off road pasti akan suka dengan medan yang asli ini. Tak jarang kami harus melewati anak sungai kering berbatuan. Nampak batu-batuan memang berasal dari muntahan gunung berapi yang dulu berada di sekitar Pulau Lembata.
Malam Paskah Diakhiri Hujan Deras
Setelah tiba kira-kira pukul 16.30 tiba di Mess Puskesmas Kecamatan Wulandoni. Kami bongkar muat barang yang banyak karena anak kami harus membawa barang kebutuhan selama 2 tahun. Desa ini memang mayoritas Katolik dan itu Nampak di jalan kami melalui desa desa juga memiliki gereja kecil atau disebut stasi. Oleh kepala Puskesmas diinformasikan Misa Kamis Putih pukul 19.00 di desa Lewalaba, sekitar 5 km dari desa Wulandoni ke arah Timur. Setelah beristirahat sekitar 1 jam saja kami membersihkan diri dan siap siap naik ambulance 4×4 untuk Misa di desa tetangga.
Benar saja , ketika sudah menempuh perjalanan sekitar 40 menit dan harus melalui kubangan air dan jalan berbatu kami tiba di Gereja Maria Fatimah sudah penuh. Kami dapat duduk di tenda tambahan. Umat sekitar 500 orang dengan khidmat ikuti upacara Kamis Putih yang ditandai dengan upacara pembasuhan kaki jelang masuk ke perjamuan Ekaristi. Kami hanya memandang dari layar yang ada di luar yang disediakan oleh Panitia. Misa dipimpin Romo Don Pr dan Romo Vodi SVD. Umat dari desa ini menggunakan baju putih dan kain sarung khas NTT baik untuk para Bapak bapak dan Ibu-ibu. Anak-anak juga dominan ikut acara dengan tertib dan khidmat. Kamis Putih berlalu , meski kami tidak mendapat tempat duduk di dalam Gereja yang dibangun persis di pinggir pantai. Setelah penerimaan Hosti hujan besar melanda dan akhirnya kami yang di tenda harus menyingkir ke tempat yang aman, karena tenda yang ada tetap bocor dan angina cukup kencang.
Keesokannya pada Jumat Agung, hari raya Wafat Yesus Kristus , kami pagi hari ke Gereja Yohanes Paulus II di Wulandoni yang berjarak sekitar 500 m dari Puskesmas Wulandoni. Tepat jam 9 kami mengikuti Dramatisasi Peristiwa Balada Penyaliban Yesus yang diperagakan oleh Orang Muda Katolik setempat. Hari panas terik, drama yang dibawakan OMK cukup menyentuh, Yesus diperagakan disiksa oleh prajurit-prajurit Romawi dengan kostum yang cukup lengkap dan menyentuh. Kami benar-benar merasakan penderitaan Tuhan Yesus di terik panas matahari pantai. Penghayatan ini didukung oleh renungan narasi yang kontekstual dengan situasi saat ini. Belum lagi nyanyian lagu khas daerah yang menyayat hari ketika di perhentian 12 saat Yesus digambarkan wafat di kayu salib. Ibadat jalan salib berlangsung hampir 2 jam. Kemudian jam 15.00 waktu setempat kami ke Gereja lagi untuk Ibadat Kecup Salib yang dipimpin seoleh Biarawati dari PRR (Puteri Reinha Rosari). Hari Jumat Agung diakhiri dengan upacara kecup atau cium salib dan berlangsung dengan khidmat dan diikuti sekitar 100 orang umat dari anak kecil sampai orang tua dan muda.
Untuk Sabtu malam, Malam Paskah Vigili dimulai jam 19.00 waktu setempat. Setelah bergegas dr mess 30 menit sebelumnya, kami akhirnya tiba di Stasi Maria Fatima, Mulankera, desa Atakera. Kami tiba pas acara Upacara Cahaya, dimana lilin Paskah sedang diberkati dan mau diarak. Perayaan Misa Vigili pada awalnya lancar, tapi saat bacaan mulai hujan deres, dan praktis suara lector sama sekali tidak terdengar karena gereja beratap seng dan memang semua bangunan di sini semua seng. Untung saja pas kotbah hujan agak mereda. Yang sangat menarik dalam Malam Paskah ini memang meriah dengan nyanyian dari koor dari Wilayah Timur dicampur dengan balutan kain sarung khas NTT dirigen dan anggota paduan suara bernyanyi dengan penuh semangat dan menambah semarak suasana Misa, yang berpuncak dengan lagu Halleluya dari Handel yang sangat masyur. Meski di awal ada kesalahan ambil nada dari organis tapi secara umum sangat merdu dan memang suara dari orang Timur memang memiliki power yang kuat dan bakat vocal yang luar biasa.
Persembahan diiringi dengan tarian dari anak-anak dengan pakaian adat setempat lengkap dan bawaan hasil bumi. Ini sungguh unik dan mengesankan bahwa adat budaya setempat menyatu dengan tata cara ibadat Katolik. Tidaklah mengherankan jika tradisi di daerah begitu kental dengan tradisi Katoik. Untuk pesta Minggu Paskah umat di Wulandoni mengadakan semacam pesta bazar. Dan yang khas mereka menawarkan masakan RW (daging B1) . Bersyukur kami bisa menuntaskan tri hari suci Paskah meski dengan medan dan suasana yang berbeda. Selamat Paskah. (*)