Jakarta, benang.id – Polemik petani singkong dan pabrik taipoka sejak awal Desember 2024 di Provinsi Lampung masih terus berlanjut. Setelah beberapa kali aksi protes ribuan petani di Lampung karena harga singkong anjlok, kini giliran pabrik tapioka yang berhenti beroperasi. Untuk mengatasinya, semua pihak perlu melihat persoalan hulu-hilir secara menyeluruh dan menyentuh hal-hal mendasar terkait komoditas singkong yang selama ini terpinggirkan.
Demikian pernyataan Dewan Pimpinan Nasional – Masyarakat Singkong Indonesia (DPN MSI) yang ditandatangani Ketua Umum Arifin Lambaga dan Sekjen Heri Soba di Jakarta, Rabu (29/1/2025). Hal ini menanggapi kisruh petani singkong dan pabrik tapioka di Lampung sejak akhir tahun lalu dan dikhawatirkan akan berkepanjangan hingga berdampak luas pada aspek lainnya.
MSI yang sudah dua dekade memperjuangkan singkong mengapresiasi perjuangan ribuan petani Lampung, namun juga memaklumi kondisi yang dihadapi industri pengolahan singkong. Polemik yang terjadi disebabkan oleh banyak faktor yang selama ini belum tersentuh. Mulai dari lahan, produktivitas, dukungan sarana dan kebijakan, insentif bagi petani, hingga regulasi industri yang memprioritaskan produksi dalam negeri.
Untuk itu, Arifin Lambaga berharap ada solusi komprehensif yang menyentuh persoalan mendasar komoditas singkong. MSI mempunyai sejumlah solusi dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Sebagaimana komitmen Presiden Prabowo Soeabianto terkait pangan, maka petani harus mendapat perhatian istimewa. Apalagi, Lampung merupakan produsen singkong terbesar di Indonesia sehingga perlu menjadi prioritas dan perhatian semua pihak.
“Lampung merupakan sentra singkong terbesar di Indonesia dengan pengolahan yang sudah berjalan lama. Ini yang harus diselamatkan dengan koordinasi dari berbagai pihak di pusat dan daerah yang melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga terkait,” kata Arifin.
Seperti diketahui, produksi singkong nasional dan juga di Provinsi Lampung terus menurun dalam 10 tahun terakhir. Secara umum, produktivitas singkong nasional juga relatif rendah yaitu 22 ton/ha dibandingkan di negara lain yang sudah diatas 30 ton/ha.
Pakar singkong yang juga Guru Besar Universitas Jember, Prof Dr Ir Achmad Subagio mengatakan solusi atas singkong harus menyentuh seluruh aspek mulai dari lahan dan budidaya hingga pengolahan dan konsumsi (pangan/industri). Aspek hulu-hilir singkong ini sebenarnya sudah terbentuk lama dan lengkap tinggal membenahi saja. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah meningkatkan produktivitas hasil panen dan menekan biaya produksi.
“Untuk itu, biaya input seperti lahan, pupuk, sarana dan permodalan perlu ada kemudahan, khususnya bagi petani, sehingga biaya produksi dan produktivitas meningkat. Petani pun bergairah dan singkong Indonesia bisa bersaing dengan impor,” ujar Subagio yang juga Wakil Ketua Umum MSI ini.
Lampung sentra produksi singkong
Provinsi Lampung merupakan sentra produksi singkong nasional. Pada tahun 2022, Lampung menghasilkan 6,7 juta ton umbi singkong segar atau sekitar 40% dari total produksi singkong nasional. Sekitar 90% dari produksi singkong di Lampung diserap industri tapioka yang menghasilkan devisa sekitar Rp 10 triliun, belum termasuk hasil samping seperti onggok, dll. Dengan kondisi tersebut, MSI sangat menyayangkan jika potensi tersebut tidak terkelola dengan baik.
Sementara itu, Sekjen MSI Heri Soba mendukung pernyataan Menteri Pertanian Andri Amran Sulaiman agar industri tapioka menggunakan singkong lokal dan bukan memprioritaskan impor. Namun hal itu harus diikuti dengan berbagai kebijakan agar produktivitas singkong meningkat dan biaya produksi lebih murah sehingga bisa bersaing dengan impor.
“Inilah yang menjadi dasar perjuangan MSI dalam dua dekade terakhir agar menjadikan singkong sebagai pangan strategis sejajar dengan padi, jagung, kedelai dan tanaman pangan lainnya. Jangan melihat singkong secara parsial lalu dianggap mudah diatasi. Ini yang selama ini salah kaprah karena kebutuhan produk turunan dari singkong sangat besar,” ujar Heri yang juga alumnus IPB ini. (*/GK)