Friday, November 22, 2024
No menu items!
spot_img
HomeNasionalPadre Marco Temukan Kembali Sejarah Panggilan Hidupnya di 2 Teks Kitab Suci...

Padre Marco Temukan Kembali Sejarah Panggilan Hidupnya di 2 Teks Kitab Suci Ini (4-habis)

Bapa, Ibu, saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus!

Duapuluh-lima tahun menjalani Imamat: Enam tahun menjalankan tugas studi, 19 tahun berkarya; di antaranya 15 tahun berkarya di Tahta Suci Vatikan hingga hari ini. Tigapuluh tahun kini hidup dan berkarya di Eropa dengan dinamika kehidupan yang tinggi dan bervariasi; dalam tugas dan panggilan, tetapi juga dalam upaya penyesuaian diri dengan 4 musim Eropa: musim panas, musim gugur, musim dingin dan musim bunga. Perjalanan sepanjang ini, bagi saya pribadi, seperti melewati tiga bab Injil Mateus: Antara Kotbah di Bukit dan Undangan Yesus.

Ada detik-detik membahagiakan, ada detik-detik duka dan air mata, ada detik-detik pergulatan dengan berbagai pertanyaan dengan jawaban, kadang tanpa jawaban…

Setelah melewati masa pendidikan dan pembentukan yang cukup keras, beda dari yang saya kenal di Ledalero, akhirnya saya ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 3 Mei 1997 di Rumah Misi Sankt Gabriel, Mödling, Austria. Angkatan saya berjumlah 4 orang.

Tetapi seorang teman seperjuangan dari Philippina mengundurkan diri, akhirnya hanya  kami bertiga: Alm. P. Mariano Grace da Silva asal Kupang, P. Norbert Cuypers asal Jerman dan saya ditahbiskan. Di antara kami bertiga, hanya saya yang tidak memiliki orangtua dan sanak keluarga dekat pada hari tahbisan.

Sendirian.

Di situ saya mulai menerima dan memahami situasi itu sebagai bagian integral dari hidup seorang utusan Tuhan di tanah misi. Keluarga dan Kampung Halaman, saya ibaratkan dengan bintang. Saya tahu di mana mereka berada, tetapi tangan saya tidak bisa menjamah mereka. Sekalipun jauh dan tak terjangkau, mereka selalu ada untuk dan bersama saya (terutama dalam doa).

Setelah Misa Perdana di Kampung ini (tenda waktu itu hanya beberapa meter ke arah bawah dari tempat ini), saya bekerja dua tahun sebagai Kapelan di Paroki Bischofshofen di Keuskupan Agung Salzburg, Austria. Saya mulai secara serius mengambil bagian dalam misi bangsa-bangsa atau misi mondial dari Yeremia. Di sana saya belajar satu hal penting: Agar sukses menjadi penjala manusia, jadikanlah hati sebagai umpan. Hasil tangkapan akan berlimpah ruah.

Dari Bischofshofen, Salzburg, saya memulai tugas studi doktoral Teologi Fundamental di kota Innsbruck, Propinsi Tirol, Austria barat daya. Pergumulan akademik untuk bisa menyelesaikan studi dalam waktu tiga tahun, dan semuanya dalam bahasa Jerman, tidak menyurutkan keinginan saya untuk berpastoral. Oleh karena itu, di samping studi dan bergelut dengan teori-teori, saya aktip berpastoral di Paroki. Saya sadar pada akhirnya bahwa Tuhan yang memanggil saya, melengkapi saya dengan kemampuan intelek dan berpikir kritis, hingga pada satu titik tanpa basa-basi emosional, tetapi juga melengkapi saya dengan sebuah perasaan yang mampu memahami dan membahasakan sebuah realitas abstrak, tmampu juga berimajinasi secara kreatip hingga bisa menuangkannya dalam karya-karya, termasuk karya seni dan diterima orang banyak.

Kuk Tuhan sungguh luarbiasa. Saya sadar, Dia selalu hadir di titik tengah antara dua beban eksrem di dalam hidup saya.

Dari Innsbruck saya melanjutkan tugas studi Lincensiat Bahasa Arab Klassik dan Ilmu Agama Islam (Islamologi) ke Kairo, Ibukota Mesir. Setelah satu tahun di Mesir dilanjutkan lagi dua tahun di Roma hingga selesai pada tahun 2005. Ayah saya tidak pernah setuju kalau saya menekuni bidang studi ini. Menurut beliau terlalu berbahaya. Persis saya selesai dengan Lincensiat di Roma, beliau menghembuskan napas terakhir di sini. Beliau tidak sempat melihat akibat lebih jauh dari pilihan saya ini. Kalau masih hidup, tentu beliau akan berkata: Jalan Tuhan selalu benar.

Setelah penguburan ayah, saya kembali dan mulai berkarya di kota Wina, Austria. Enam bulan kemudian, saudari satu- satunya dipanggil Tuhan di Surabaya. Saya merasa sangat sedih dan frustrasi. Setelah penguburan di sini dan kembali ke Wina, Austria, beberapa hari kemudian, masih di dalam kesedihan mendalam, saya menerima panggilan dari Vatikan untuk segera meninggalkan Austria dan bergabung pada Staff Dewan Kepausan untuk Dialog antar Umat Beragama.

Panggilan Vatikan biasanya merupakan sebuah keputusan. Sejak 2007 hingga hari  ini, saya bekerja melayani Sri Paus di Tahta Suci Vatikan untuk menjalankan misi perdamaiannya dan misi Gereja Katolik sedunia dalam memajukan perdamaian dan kerukunan antar umat beragama; bergerak antara birokrasi dan diplomasi.

Makin ke sini saya sadar bahwa misi bangsa-bangsa telah Tuhan percayakan kepada saya sejak dini hingga menjadi bagian tak terpisahkan dari panggilan imamat saya di dalam kharisma dan misi Serikat Sabda Allah.

Bapak, ibu, saudara-saudari terkasih,

Dalam kurun 25 tahun saya betul-betul bersyukur karena boleh menerima berkat demi berkat.

Tuhan membiarkan saya meraih banyak hal, dan berbagai mimpi saya terpenuhi. Ia pula menghantar saya ke dunia lebih luas dan menempatkan saya pada pusat GerejaNya. Tiap hari saya diperkaya oleh perjumpaan dengan manusia dari berbagai belahan dunia, dari berbagai agama dan budaya. Dengan mereka saya membangun relasi dan persahabatan berbagai tingkatan.

Di sisi lain, perjalanan saya tidak terlepas dari  deraian air mata berulang kali, perasaan kalah dan ditinggalkan. Yang terpahit dalam hidup adalah rentetan peristiwa kematian mulai dari Ibu, disusul oleh saudara, kemudian Ayah, saudari tunggal dan terakhir kakak Sulung, motivator dan inspirator panggilan saya, P Yosef SVD, setahun  yang lalu di Surabaya (sebelum ke sini, saya singgah di Surabaya untuk menjenguk beliau, karena tahun lalu beliau meninggal serangan jantung persis dalam masa covid, dan saya tidak bisa hadir). Saya juga mengundang beliau untuk hadir bersama kita semua di sini. Sebelas tahun lalu kita merayakan Perak Imamat beliau persis di tempat ini.

Masih ada lagi sederetan tantangan besar lainnya, misalnya badai sekularisme yang semakin memporak-porandakan iman umat di Eropa, yang  memaksa saya untuk terus menerus melihat dan memahami panggilan saya secara baru. Dan masih banyak tantangan lainnya hingga saya berprinsip: Tantangan dan kesulitan adalah cara Tuhan untuk mengingatkan saya, bahwa saya harus terus mengandalkan Dia di dalam hidup.

Mungkin sebagian orang melihat jalan panggilan imamat saya yang lain dari biasanya ini sebagai sebuah jalan emas atau sebuah privilese. Dari segi tertentu, mungkin. Tetapi tidak semua yang berkilau itu emas. Saya sering mengalami bahwa di balik suka, ada duka. Di akhir sebuah tawa, akan segera ada air mata. Di kaki gunung Tabor, ada Getsemani.

Di atas segalanya, refleksi atas 25 tahun perjalanan imamat menghantar saya kepada kesadaran bahwa sesungguhnya saya diciptakan secara sangat pribadi, dengan anugerah panggilan yang begitu indah – dan bahwa saya diperbolehkan masuk di dalam persekutuan trinitaris: Bapa, Putera dan Roh Kudus (dalam cinta tak terukur dan yang sama!!!), sungguh sebuah kebahagiaan terbesar.

Pemikiran dan keyakinan inilah yang mendorong  saya untuk memilih Logo perayaan yang kita lihat bersama: Persekutuan kasih Tritunggal yang selalu memberikan ruang untuk saya di dalam rangkulan mereka, sekaligus salib-salib ditumbuhi mawar dan duri, dan salib bersimbolkan ikan, komoditi orangtua semasa kecil, dengannya mereka membesarkan dan menyekolahkan saya hingga bisa mencapai tahap ini.

Bercermin pada kisah perutusan nabi Yeremia dan pada misi Yesus Kristus, Imam Agung, saya merangkum kisah perjalanan saya selama 25 tahun ini dalam kata-kata pilihan dan bernas sebagai berikut:

Aku telah melihat, aku telah menyaksikan, aku telah mengalami bahwa mawar mekar di antara duri.

Mulianya Tabor, sakitnya Getsemani, Tuhan tahu.

Ia telah memanggilku, Ia juga memutuskan, di mana aku harus berdiri, ke mana arah akan melangkah. Terjadilah kehendakNya!

Syukur kepada Tuhan, terima kasih untukmu semua.

Aku telah mencintai yang asing dengan segala kejujuran, dan aku dicintai kembali seratus kali lipat.

“…Segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm 11:36). Deo gratias!

Amin. ***

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments