Jakarta, benang.id – Paus Fransiskus mengajak umat Katolik untuk menghidupi dua sikap mendasar yang memampukan kita menjadi murid-murid Yesus: yaitu mendengarkan sabda dan menghidupi sabda.
Hal tersebut dikemukakan Paus Fransiskus dalam homili atau kotbah pada Misa Suci Agung di Gelora Bung Karno (GBK), Kamis petang (5/9/2024).
“Pertama, mendengar sabda, karena semua hal berasal dari mendengarkan, dari membuka diri kita kepada-Nya, dari menyambut anugerah berharga dari persahabatan dengan-Nya,” tutur Paus.
Sebagai murid, tandas Paus, kita harus tahu menempatkan diri dalam sikap mendengarkan sabda, dan menjadikan sabda sebagai landasan yang kokoh.
Setelah mendengar sabda, lanjut Paus, penting untuk menghidupi sabda yang telah kita terima, bukan sekadar menjadi pendengar yang sia-sia dan menipu diri kita sendiri. Sabda, tandas Paus, harus terinkarnasi dalam tindakan nyata.
“Tidak sekadar mendengar dengan telinga tanpa membuat sabda itu masuk ke dalam hati dan mengubah cara pikir kita, cara merasa, dan bertindak. Sabda yang dianugerahkan, dan yang kita dengar, perlu dijalankan untuk mengubah kehidupan menjadi lebih baik,” katanya.
Injil, kata Paus Fransiskus, memberitahu kita bahwa hati manusia selalu mencari kebenaran yang dapat memenuhi dan memuaskan hasratnya akan kebahagiaan; yang tidak dapat memuaskan kita hanya oleh sabda manusia, dan oleh nilai-nilai duniawi.
“Kita selalu membutuhkan sebuah terang yang datang dari atas untuk menyinari langkah-langkah kita; akan air kehidupan yang memuaskan dahaga padang gurun jiwa, akan sebuah penghiburan yang tidak mengecewakan karena ia berasal dari surga dan bukan dari hal-hal fana dunia ini,” ucap Paus.
Paus mengingatkan bahwa di tengah kekacauan dan kefanaan kata-kata manusia, ada kebutuhan akan sabda Allah, satu- satunya kompas bagi perjalanan kita, yang di tengah begitu banyaknya luka dan kehilangan, mampu menuntun kita menuju arti kehidupan sejati.
Sabda Yesus yang menyelamatkan
Lebih dalam Paus Fransiskus mengatakan bahwa tugas pertama seorang murid bukanlah mengenakan jubah kerohanian yang sempurna secara luar, atau melakukan hal-hal luar biasa atau usaha-usaha besar.
Sebaliknya, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mendengar satu-satunya sabda yang menyelamatkan, yaitu sabda Yesus. Hidup iman kita berawal ketika kita menerima Yesus dengan rendah hati di atas perahu kehidupan kita, menyediakan ruang untuk-Nya, dan menempatkan diri dalam mendengarkan sabda-Nya dan dari situ kita berefleksi, diguncangkan, dan berubah.
Pada saat yang sama, sabda Tuhan menuntut untuk berinkarnasi secara nyata dalam diri kita: oleh karena itu, kita dipanggil untuk menghidupi sabda. Sabda Tuhan tidak hanya tetap tinggal sebagai gagasan abstrak yang indah atau hanya membangkitkan emosi sesaat.
Sabda Tuhan, sambung Paus, menuntut perubahan cara pandang kita, membiarkan kita mengubah hati menjadi hati Kristus. Ia memanggil kita untuk berani menebarkan jala Injil ke lautan dunia, meski selalu akan ada kesulitan-kesulitan saat menebarkan jala Injil tersebut.
“Tetapi, marilah kita melihat sekali lagi sikap Petrus: datang dari satu malam yang sulit ketika Ia tidak menangkap apa-apa, lelah dan kecewa, tetapi ia berkata: “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa. Tetapi atas perintah-Mu aku akan menebarkan jala juga”, kata Paus, seraya menambahkan bahwa kita harus total taat, sebab setengah-setengah itu makanan lezat untuk setan.
Paus mengatakan bahwa umat di Indonesia dipanggil untuk terus berdialog dalam damai. Meskipun kadang terasa berat atau sia-sia, namun jagan pernah terpenjara dalam rasa gagal.
Paus menekankan umat di Indonesia untuk tidak pernah lelah menabur, menebar jala. atau pun bermimpi untuk membangun bangsa yang damai dengan terus berdialog.
“Jangan pernah lelah tersenyum. Kalian adalah bangsa yang murah senyum. Senyum adalah senjata ampuh. Teruslah berjalan bersama dan jangan pernah lelah menabur harapan,” tutur Paus Fransiskus berpesan. (*)