Salerno, benang.id – Pada suatu ketika di sebuah tempat di Kota Salerno, Italia bagian selatan tampak sejumlah pelajar sekolah menengah atas (SMA) asyik bermain kartu. Bukan bridge, remi, atau pun tarot. Melainkan Kartu SELAMAT. Sebuah permainan kartu dengan tema keragaman Indonesia untuk memahami makna Bhinneka Tunggal Ika. Wow!
Tampak pula, beberapa pelajar asyik mencoba bermain angklung. Alat musik tradisional terbuat dari bambu yang berasal dari tanah Sunda alias Jawa Barat itu. Lho kok bisa?
Itu semua terjadi berawal dari perkenalan Romo Ferdinandus Supandri SX dari Komunitas Xaverian di Kota Salerno dengan Rakhmat Hidayat, Professor Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang tengah melakukan suatu penelitian di Salerno atas kerja sama dengan Universitas Salerno (UNISA) selama sebulan.
“Beberapa kali beliau datang ke komunitas kami (Xaverian), saya juga sempat ajak jalan-jalan untuk mengenal beberapa suster di sekitar sini,” kata Romo Pandri mengawali cerita Prof Rakhmat Hidayat selama menjadi Visiting Professor di UNISA.
Romo yang berasal dari Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur ini mengaku bahwa dirinyalah yang mengundang Prof Rakhmat Hidayat untuk mempresentasikan singkat tentang Bhinneka Tunggal Ika kepada pelajar SMA di Kota Salerno yang berkunjung ke Komunitas Xaverian pada 10 Desember 2024.
Dan, atas inisiatifnya, untuk kali pertama diadakan pameran berjudul ‘’Bhinneka Tunggal Ika’’ yang di dalamnya menampilkan foto dan gambar mengenai keragaman Indonesia seperti agama, budaya, bahasa, makanan, dan sebagainya.
“Prof Rakhmat saya beri waktu 15 menit untuk menyampaikan apa itu Bhinneka Tunggal Ika dan kenapa Indonesia sangat beragam dalam bahasa Indonesia, yang kemudian saya terjemahkan ke dalam bahasa Italia,” kata Romo Pandri, dalam pesan WhatsApp-nya kepada benang.id, Jumat (20/12/2024).
Menurut Romo Pandri, para pelajar SMA tersebut sangat antusias menyimak acara hari itu. Setelah selesai presentasi, Prrof Rakhmat kemudian ikut serta dalam bermain kartu SELAMAT dengan tema keragaman Indonesia. Permainan dibuat dalam beberapa kelompok. “Mereka sangat menikmati permainan ini. Saya pun sempat satu kali menang dalam permainan di kelompok saya. Setelah itu, peserta diajak berkeliling melihat pameran Bhinneka Tunggal Ika,” ujar Prof Rakhmat, seperti disampaikannya kepada Romo Pandri.
Salah satu yang menarik adalah saat Prof Rakhmat mengajarkan secara singkat angklung kepada anak-anak. Beberapa di antara mereka mencoba memainkan langsung angklung. Sementara Romo Pandri dan Prof Rakhmat menjelaskan bagaimana cara memainkan angklung tersebut.
“Mereka kelihatan bahagia selama bermain singkat angklung tersebut,” kata Romo yang sudah bertugas menjadi imam di Italia selama 12 tahun ini.
Visiting professor di UNISA
Sebagaimana diceritakan Romo Pandri, Prof Rakhmat Hidayat mengungkapkan bahwa diirnya diperkenalkan dengan Romo Pandri oleh Prof Antonia Soriente, professor Indonesia Studies di University Napoli Orintale (UNIOR).
Prof Rakhmat berada di Salerno, sejak tanggal 21 November 2024 hingga 20 Desember 2024 dalam kapasitasnya sebagai visiting professor di University Salerno (UNISA).
“Perkenalan saya dengan Romo Pandri tepat di minggu kedua tinggal di Salerno. Dari perkenalan dengan Romo Pandri, saya diajak berkeliling berkenalan dengan sesama pastor lainnya di komunitasnya yang bernama Instituto Xaveriano atau kongregasi Xaverian,” jelasnya.
Prof Rakhmat mengaku pertemuan pertamanya dengan Romo Pandri terjadi pada hari Minggu, 8 Desember 2024. Waktu itu ia diundang makan siang bersama pastor-pastor lainnya, yang berasal dari Italia dan Kamerun.
Hal yang menarik pada kesempatan makan siang tersebut, jelas Prof Rakhmat, adalah kehadiran Padre Rosario, Rektor Komunitas yang ternyata pernah bertugas di Indonesia pada tahun 1978.
“Saya juga berbincang lama dengan Padre Franco (86) yang bertugas selama 41 tahun di Sierra Leon, Afrika. Daya ingatnya masih sangat baik. Dia memiliki kemampuan bahasa Inggris yang sangat baik. Kami berbincang cukup lama sambil dia bercerita pengalaman selama menjadi misionaris di Sierra Leon,” beber Prof Rakhmat.
Lebih jauh, Prof Rakhmat menyatakan sangat terkesan pada menu makan siang yang tidak ada kandungan daging babinya. Ternyata Romo Pandri sebelumnya sudah menyampaikan kepada pastor lain bahwa tamu dari Indonesia yang akan datang beragama Islam.
“Menu makan siang kami adalah spagheti, yang dimasak oleh Padre Rosario, ada juga sayuran dan daging ayam. Semuanya enak dan nikmat. Kami berbincang lama di meja makan sambil menikmati hidangan yang ditutup dengan minum kopi,” ucapnya.
“Itulah indahnya keberagaman di mana sesama umat beragama saling menghargai satu dengan lainnya,” imbuh Prof Rakhmat.
Mengunjungi para suster
Pada kesempatan berikutnya, Prof Rakhmat Hidayat diajak Romo Pandri berkeliling mengunjungi beberapa suster Indonesia yang bertugas di Salerno, di dua lokasi yang berbeda. Lokasi pertama adalah sebuah komunitas gereja di kota Salerno.
Di komunitas ini ada tiga suster yang berasal dari NTT, Indonesia yang sudah bertugas sejak lama. Suster yang paling lama bertugas di komunitas ini yakni 22 tahun bernama Suster Apolonia. Suster lainnya bernama Suster Avilla dan Suster Mariana. Ketiga-tiganya berasal dari NTT.
Menurut Prof Rakhmat, mereka setiap hari bekerja menyediakan makan siang gratis kepada gelandangan, pengemis dan pengangguran. Mereka yang datang setiap harinya mencapai 100 orang.
“Mereka bertiga dibantu dengan beberapa relawan dengan sabar dan tulus melayani orang lain tanpa memandang latar belakang agama, etnis dan sebagainya. Bahkan beberapa di antara masyarakat yang rutin makan siang di komunitas gereja adalah warga muslim. Saya sempat berbincang-bincang dengan warga muslim yang sering datang ke komunitas gereja,” jelasnya.
Selanjutnya, Prof Rakhmat juga diajak Romo Pandri mengunjungi dua Suster Indonesia yang bertugas di Nocera Superiore, kota tetangga Salerno. Perjalanan dari Salerno ke Nocera hanya 30-40 menit. Nama kedua suster ini adalah Suster Mely dan Suster Lita. Keduanya juga berasal dari NTT.
“Kami berbincang-bincang selama menyiapkan makan di dapur dan selama di meja makan bercerita pengalaman mereka sejak tiba di Italia dan selama mereka berkarya di sini,” papar Prof Rakhmat.
100 persen Katolik, 100 persen Indonesia
Menutup kesan-kesannya, Prof Rakhmat Hidayat menyatakan bahwa selama dua minggu berkenalan dengan Romo Pandri membuat dirinya lebih mendalami pengetahuan tentang kehidupan pastor dalam pelayanan gereja.
Ia juga banyak mendapatkan pengetahuan tentang berbagai kongregasi dalam Gereja Katolik termasuk kehidupan suster yang harus siap ditugaskan di negara manapun.
“Tetapi yang lebih penting buat saya, perkenalan dengan Romo Pandri adalah bagian dari dialog antariman. Saya sebagai muslim dihargai dan sangat diterima oleh komunitas pastor dan suster di Salerno. Begitupun saya sangat respek kepada semua pastor dan suster yang dengan konsisten menjalani tugas panggilannya dari Tuhan,” tandasnya.
Satu hal lagi yang membuatnya kagum, lanjut Prof Rakhmat, Romo Pandri juga menyampaikan kepadanya bahwa meskipun mereka sudah puluhan tahun bertugas di luar negeri, mereka tetap menjadi WNI dengan paspor Garuda-nya.
“Romo Pandri sempat mengutip ungkapan Mgr Albertus Soegijapranata SJ bahwa ‘100 persen Katolik, 100 persen Indonesia’. Kalimat ini mencerminkan gagasannya tentang bagaimana seorang Katolik tidak hanya hidup secara mendalam sesuai dengan iman Kristiani, tetapi juga sepenuhnya berkomitmen untuk mencintai dan membela tanah airnya, Indonesia. Grazie mille padre!,” pungkas Prof Rakahmat Hidayat. (*/GK)