Jakarta, benang.id – Pemerintah perlu menyusun mitigasi risiko terburuk akibat kondisi ketidakpastian ekonomi global dan terjadinya disrupsi sisi suplai yang menyebabkan lonjakan harga komoditas pangan dan energi sehingga mendorong terjadinya tekanan inflasi tinggi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi global dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Demikian disampaikan Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah sebagaimana termaktub dalam kesimpulan Rapat Kerja dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam rangka Pembahasan Laporan Realisasi Semester I dan Prognosis Semester II APBN Tahun Anggaran 2022 yang digelar di Ruang Rapat Banggar DPR RI, Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Jumat (1/7/2022).
“Atas kebijakan tight money policy di berbagai negara khususnya Bank Central Amerika (FED) akan menyebabkan terjadinya exodus atau capital out flow, depresiasi rupiah terhadap USD dan memperlambat pertumbuhan ekonomi yang masih dalam masa pemulihan, maka diharapkan Pemerintah dan Bank Indonesia dapat mengambil kebijakan antisipasi sebagai dampak yang akan ditimbulkan akibat kondisi keuangan global tersebut,” ujar politisi PDI-Perjuangan tersebut, seperti dilansir dpr.go.id.
Said lebih lanjut mengungkapkan tingginya penerimaan negara baik dari sektor perpajakan maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) lebih banyak ditopang oleh lonjakan harga komoditas.
Maka, sambung Anggota Komisi XI DPR RI itu, pemerintah perlu memastikan implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan terhada penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi masyarakat.
Selain itu, sambung Said, turunnya produksi minyak dan gas bumi pada Semester I 2022 harus mendapat perhatian prioritas dari pemerintah.
“Saat ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi minyak dan gas bumi-nya di tengah tingginya harga minyak mentah dunia,” pungkas legislator daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur XI tersebut.