Jakarta, benang.id – Dalam rangka memeringati Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2025, Pengurus Pusat (PP) Pemuda Katolik menggelar Fokus Group Discussion (FGD) bertema “Pancasila dan Deklarasi Jakarta-Vatikan: Meneguhkan Semangat Kebangsaan dan Dialog Lintas Iman” di Sekretariat PP Pemuda Katolik di Jalan Pejompongan, Bendungan Hilir, Jakarta, Selasa (3/6/2025).
FGD menghadirkan narasumber atau pembicara Dr Irene Camelyn Sinaga AP MPd– Direktur Pengkajian Implementasi Pembinaan Ideologi Pancasila BPIP, Romo Aloysius Budi Poernomo Pr –Sekretaris Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan KWI, Mayong Suryo Laksono– Jurnalis Senior Dewan Pengawas LKBN Antara, dan Penasihat PWKI (Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia), dan Ancilla Betaria Tirtana—Aktivis OMK dan Content Creator, sementara bertindak sebagai moderator adalah Antonius Beny Wijayanto—Ketua PP Pemuda Katolik, Aktivis Kerawam KWI, Pengurus LP3KN.
Dalam pengantarnya, Ketua Umum PP Pemuda Katolik Stefanus Asat Gusma mengemukakan bahwa diskusi digelar untuk dua tujuan. Pertama, menggugah kembali adanya permasalahan dan tantangan bangsa Indonesia yang sebetulnya sudah mempunyai solusi yaitu Pancasila, namun pada tahap implementasi dalam setiap lini kehidupan belum dirasakan secara maksimal.

“Kita tahu masih ada fenomena-fenomena di negara kita seperti dialami saudara kita yang masih di bawah kesejahteraan, di bawah garis kemiskinan, beberapa kali kita juga temukan problem bagaimana umat Katolik kesulitan mendirikan rumah ibadah, dan masih banyak lagi yang sebenarnya kunci atau jalan keluarnya adalah bagaimana Pancasila bisa terimplementasi dengan baik di seluruh sendi kehidupan,” jelasnya.
Dan kedua, lanjut Gusma, pada Agustus tahun lalu, terjadi peristiwa penting sejumlah organisasi kepemudaan lintas agama bertemu dengan Paus Fransiskus di Vatikan. “Ini pertemuan bersejarah, ada sejumlah tokoh pemuda lintas iman dalam satu negara bersama-sama hadir di Vatikan dan bertemu dengan Bapa Suci saat itu,” katanya.
“Bersejarah juga karena Bapa Suci berkenan menandatangani satu deklarasi yang kemudian diberi nama Deklarasi Jakarta-Vatikan,” imbuhnya.
Asat Gusma menambahkan bahwa FGD dimaksudkan untuk mensinkronkan dua tujuan tersebut, mensinergikan Pancasila dengan Deklarasi Jakarta-Vatikan. “Karena di dalam poin deklarasi salah satunya adalah komitmen generasi muda bagaimana mengimplementasikan Pancasila dan mensosialisasikan nilai-nilai atau sejarah yang disusun Bapa Suci Paus Fransiskus bersama Imam Besar At-Thayeb yakni dokumen Abu Dhabi. Kira-kira seniornya itu Dokumen Abu Dhabi yuniornya itu Dokumen Jakarta-Vatikan,” jelasnya.
Oleh karena itulah, sambung Gusma, diskusi juga mengundang BPIP agar dapat mendukung sosialisasi atau bagaimana Dokumen Jakarta-Vatikan bisa masuk menjadi salah satu instrumen dalam program-program BPIP ataupun Kementerian-kementerian dan lembaga yang berkompeten.
“Karena dokumen ini menjadi dokumen sejarah, dan satu langkah awal. Bahkan Vatikan pun menagih komitmen kita, seandainya ini akan masih dilaksanakan akan ada senbuah perjanjian yang lebih permanen antara Indonesia dan Vatikan, khususnya pemuda lintas agama,” katanya.
Asat Gusma berharap bahwa Deklarasi Jakarta-Vatikan tidak berhenti pada diskusi. “Bukan soal eksistensi pemuda lintas agama tetapi soal isi di dalam deklarasi itu dan juga komitmen kita yang ditunggu oleh masyarakat umum,” katanya.
Diskusi sekitar 2 jam malam itu berlangsung sangat menarik dan cukup seru dengan keterlibatan aktif para peserta yang memenuhi ruangan. Sekitar 75-an peserta yang hadir offline adalah para pengurus pusat, serta pengurus dan ketua di Jabodetabek. Sementara mereka yang ada di luar Jabodetabek mengikuti lewat kanal Youtube. Setelah tanya jawab para narasumber satu per satu memberikan closing statement-nya.
Perjuangan untuk paradigma-paradigma positif dan inklusif tak pernah kalah

Romo Aloys Budi mengapresiasi perjumpaan yang terus melanggengkan kebaikan demi kebaikan, apapun persoalannya. “Bahwa kemudian ada Deklarasi Jakarta-Vatikan, yang secara tegas merumuskan suatu keprihatinan itu menjadi sesuatu yang memang harus terus digemakan,” ujar Doktor Ilmu Lingkungan ini.
“Yang seperti ini (Deklarasi Jakarta-Vatikan) dalam perspektif ekotheologis itu kerap kali langka. Mencari figur yang seperti Gus Dur itu seribu satu, mencari figur seperti Romo Mangun itu perlu menunggu berapa puluh tahun, dan mencari momentum mendeklarasikan keprihatinan seperti di dalam Deklarasi Jakarta-Vatikan ini tidak bakal terulang lagi,” katanya.
Oleh karena itu, Romo yang piawai memainkan saxophone itu pun berharap jangan sampai Deklarasi Jakarta-Vatikan ini menjadi artefak. “Itu bahasa Antropologi yang sangat menohok saya, artefak itu seakan-akan benda mati. Padahal justru ketika ada artefak, lalu munculah kehendak untuk membaca dengan baik, bisa jadi kemudian menjadi legenda yang terus sustainable, tak kenal waktu dan tetap lestari,” ucapnya.
Kata Rm Aloys, “Dalam konteks kita inklusivitas sangat penting. Membuang semua prasangka yang memang tidak mudah. Sembilan belas tahun saya di Semarang dan bergaul dengan masyarakat akar rumput Desa Kendeng dengan segala tarik ulur dinamikanya, tetapi di Pilkada tahun lalu, saya seperti memetik buahnya, itu indikator secara sosial politik jelas di Kota Semarang yang jadi calon walikota memiliki tiga beban: Katolik, Chinese, perempuan lagi. Dengan berbagai serangan di medsos digaungkan bahwa memilih pemimpin yang tidak seakidah itu haram. Tetapi kita bergerak, kita berjuang jangan sampai kota yang sudah kita bangun lama sebagai kota inklusif itu hancur karena itu. Dan, apa yang terjadi kesabaran akar rumput itu dahsyat, akhirnya beliau menang telak, meskipun ada berbagai hambatan baik medsos dan orasi-orasi yang cenderung diskriminatif dan eksklusif. ” katanya.
Artinya, jelas Rm Aloys, “Kalau kita mau sungguh berjuang untuk paradigma-paradigma yang positif dan inklusif itu yakinlah kalau kita gak pernah kalah.”
Lebih jauh Rm Aloys mengungkapkan bahwa gereja Katolik tidak menolak apapun yang baik, yang benar, yang suci dan indah, yang ada di dalam semua agama dan kebudayaan. “Itu yang menjadi pedoman saya setiap kali saya bergaul, bersilaturahim sehingga kerap kali justru Katolik yang dangkal yang justru sering menyerang saya: ‘Romo kok hari minggu di masjid, di pura, di gereja lain, diragukan ke-Katolikannya’, sampai seperti itu,” ujarnya.
“Jadi surat kaleng itu datang bertubi-tubi ketika kita mencoba untuk hadir memberi teladan, tetapi keteladanan pun tidak semudah membalikkan telapak tangan,” imbuhnya.
Maka dari sini, lanjut Rm Aloys Budi Purnomo, konteksnya kaderisasi. “Pengkaderan itu dapat dibangun dalam bingkai deklarasi ini. Karena yang mendeklarasikan itu organisasi kepemudaan mereka harus bersinergi dengan lembaga-lembaga resmi untuk semakin mengakarkan cita-cita ini, sesuatu yang harus terus diperjuangkan ke depan,” pungkasnya.

Sementara Betaria mengusulkan agar Pemuda Katolik tidak hanya berhenti pada deklarasi tetapi yang lebih penting bagaimana mewujudkannya. “Kita harus berani menyuarakan secara terus menerus dan berkesinambungan, dan minta bantuan Tuhan dengan mendoakan tiap hari doa Fransiskus Asisi ‘Jadikan aku pembawa damai’, semoga doa itu bisa jadi pegangan kita,” ujarnya.

Menurut Mayong, jargon-jargon seperti toleransi, kesetaraan, penghargaan terhadap sesama, penghormatan terhadap kemanusiaan, kebangsaan dan sejenisnya itu hanya disuarakan oleh umat minoritas. “Di seberang sana gak ada tuh yang mempersoalkan. Semangat atau prinsip penghargaan terhadap sesama, laki-laki atau perempuan, kayaknya hanya kita-kita saja. Juga toleransi, kebersamaan sebagai warga negara, tidak ada di luar sana, hanya kita yang asyik dengan itu,” ujarnya.
Mayong mempertanyakan apakah umat Katolik akan terus berbusa-busa dengan kata-kata indah tersebut. Yang terpenting, tandasnya, bagaimana menularkan hal itu kepada orang lain. “Bagaimana di sebelah sana juga terus memperjuangkan hal yang sama. Ini PR kita yang sangat besar, tugas kita bersama. Setidaknya kalau tidak ingin menggangu ya jadilah orang baik sebagai tetangga, syukur-syukur bisa menularkan gagasan atau mempengaruhi hal positif,” ujarnya.

Sebagai penutup diskusi, Iren mengatakan bahwa Deklarasi Jakarta-Vatikan sudah sangat pas dengan Pancasila, bahkan relevan di tataran dunia. “Kalau kita bicara nilai-nilai Pancasila berarti Deklarasi Jakarta-Vatikan itu sudah mengurusi hingga isu-isu internasional. Tinggal penjabarannya harus dirumuskan oleh Pemuda Katolik,” katanya.
Keadilan dan Perdamaian untuk Dunia

Pada Agustus 2024, sejarah penting terukir saat Paus Fransiskus menandatangani Deklarasi Jakarta-Vatikan bersama para tokoh lintas agama Indonesia dalam pertemuan khusus di Vatikan. Deklarasi ini merupakan inisiatif dari delegasi pemuda lintas agama Indonesia yang diinisiasikan oleh Organisasi Pemuda Lintas Agama yang terdiri dari GP Ansor, Pemuda Katolik, Pemuda Muhammadiyah, GAMKI, Peradah, dan Gema Khonghucu.
Adapun deklarasi Jakarta-Vatikan bertema ‘Keadilan dan Perdamaian untuk Dunia’. Isi deklarasi tersebut yakni:
1. Menjadi generasi muda Indonesia yang selalu mengamalkan nilai-nilai Pancasila sebagai energi positif bagi peradaban dunia.
2. Mengajak kaum muda sedunia untuk membangun masyarakat dunia yang berpegang teguh pada prinsip toleransi, solidaritas, dan gotong royong.
3. Mendukung dan menyebarluaskan pandangan dan nilai-nilai yang tertuang dalam Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Kehidupan Bersama (Dokumen Abu Dhabi) untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian dunia.

Deklarasi ini memuat komitmen bersama untuk memperkuat budaya dialog, kerja sama lintas iman, dan solidaritas antar umat manusia dalam menghadapi berbagai tantangan global, termasuk perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan kekerasan ekstrem. Deklarasi juga mengangkat pentingnya prinsip hidup berdampingan yang saling menghargai dan mendorong lahirnya kebijakan publik yang menjunjung tinggi kemanusiaan. (*/GK)