Jakarta, benang.id – Inklusi keuangan merupakan salah satu fokus Presidensi G20 Indonesia. Dalam rangka mendorong percepatan inklusi keuangan global, Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia menyelenggarakan seminar internasional bertajuk “Digital Transformation for Financial Inclusion of Women, Youth, and MSMEs to Promote Inclusive Growth” yang digelar secara hybrid di Bali, Indonesia.
Seminar yang menjadi salah satu side event dari Global Partnership for Financial Inclusion Plenary Meeting ke-2 di bawah Presidensi G20 Indonesia ini, untuk mempromosikan diskusi para pemangku kepentingan terkait opsi kebijakan, program, serta produk dan layanan keuangan untuk mempercepat inklusi keuangan untuk wanita, pemuda, usaha mikro dan kecil-menengah (UMKM), dan penerima bantuan sosial melalui perkembangan teknologi dan pendekatan inovatif lainnya, yang semakin relevan dan penting dalam rangka pemulihan pandemi Covid-19.
Menurut Global Findex 2017, 69% orang dewasa di seluruh dunia telah memiliki rekening di lembaga keuangan, meningkat dari 62% pada tahun 2014. Meskipun demikian, masih ada 30% dari populasi global atau sekitar 1,7 miliar penduduk dunia yang masih kekurangan akses ke produk dan layanan keuangan di mana mayoritas merupakan wanita, pemuda, dan UMKM. Pandemi Covid – 19 yang terjadi berdampak pada ekonomi dengan memperlebar kesenjangan, khususnya dari kelompok rentan tersebut.
UMKM berperan penting dalam penyerapan tenaga kerja, investasi, dan pembangunan ekonomi. Di Indonesia, UMKM memiliki kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian dengan menyediakan 97% lapangan kerja, memiliki share lebih dari 60% PDB, dan lebih dari 60% investasi. Namun, pengembangan UMKM masih menghadapi banyak kendala, termasuk akses terhadap pembiayaan. Masih terdapat kesenjangan akses pembiayaan bagi UMKM, sebagai contoh porsi kredit UMKM terhadap total kredit perbankan relatif stagnan di kisaran 18% sejak 2014, jauh di bawah beberapa peer countries yang mencapai sekitar 30% hingga 80%. Pandemi yang terjadi telah memukul UMKM cukup dalam. Dampaknya ialah kerentanan UMKM meningkat, terutama yang dikelola oleh perempuan karena hilangnya pendapatan dan terbatasnya akses keuangan.
Sementara itu, perempuan juga berperan penting dalam pembangunan ekonomi.
“Kami menyadari bahwa meningkatkan akses perempuan ke layanan keuangan formal tidak hanya akan mengamankan kehidupan keluarga perempuan dengan mengelola uang dan menabung dengan lebih baik untuk kebutuhan dasar, seperti kesehatan dan pendidikan, tetapi juga memberdayakan diri mereka sendiri dengan terlibat dalam kegiatan bisnis seperti UMKM”, ujar Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati dalam sambutannya, seperti dilansir kemenkeu.go.id, Rabu (11/5/2020).
Studi dari McKinsey Global Institute menunjukkan bahwa US$12 triliun atau 11% dari PDB global dapat ditambahkan jika semua negara mendorong kesetaraan gender.
Lebih lanjut, perempuan yang terlibat di bidang ekonomi dan pasar tenaga kerja, berpotensi memberikan kontribusi sebesar US$ 28 triliun atau 26% dari PDB dunia pada tahun 2025. Namun, perempuan seringkali sulit untuk mengakses layanan keuangan misalnya karena tidak memiliki identitas pribadi atau aset atas namanya, sehingga tidak memiliki jaminan yang bankable.
Selain itu, banyak perempuan yang belum memiliki pengetahuan yang memadai tentang layanan keuangan formal dan bagaimana mengelolanya.
Sementara pemuda, yang merupakan 16% dari populasi global, merupakan kunci dari masa depan suatu negara. Kaum muda akan segera memasuki dunia kerja dan berkontribusi pada perekonomian. Namun, banyak dari mereka dikecualikan secara finansial karena kurangnya dokumen identitas resmi atau memerlukan persetujuan wali yang sah untuk membuka rekening bank, atau bahkan stereotip yang mengaitkan mereka dengan risiko yang lebih tinggi karena memiliki pendapatan yang tidak teratur dan simpanan yang kecil.
Dampaknya, mereka sering diabaikan sebagai pelanggan potensial dan tidak ada produk keuangan yang memadai atau dapat diakses untuk memenuhi kebutuhan spesifik mereka.
Di tengah tantangan pandemi, kenaikan harga komoditas, dan pemulihan keuangan global yang masih belum pasti dan terganggu akibat situasi geopolitik, transformasi menuju teknologi digital perlu terus dilakukan untuk memastikan masyarakat, terutama yang paling rentan dan kelompok yang kurang terlayani, masih dapat terus bekerja dengan cara yang sangat produktif dan membantu mendorong upaya pemulihan ekonomi.
Bagi UMKM, pemanfaatan digitalisasi melalui financial technology (fintech) perlu terus didorong. Fintech mendukung UMKM dengan membantu mereka menemukan opsi pembiayaan yang lebih efisien dan mendukung upaya pemerintah dalam mengurangi penyebaran virus dan menjaga keselamatan.. Fintech memungkinkan masyarakat untuk melakukan transaksi, membeli, menjual, dan mengonsumsi, dengan kontak fisik yang minimal, dengan menggunakan pembayaran kode QR
Untuk perempuan, tantangan utama dalam pemanfaatan digitalisasi berasal dari rendahnya keterampilan literasi digital dan rendahnya literasi keuangan, terutama yang bekerja di sektor informal.
“Tanpa literasi dan edukasi keuangan, akan sulit untuk membuka rekening, kemudian mengaitkannya atau memberikan implikasi lain atau manfaat positif lainnya bagi mereka. Itulah mengapa penting untuk meningkatkan literasi digital dan keuangan bagi perempuan untuk membantu mereka mendapatkan akses ke sistem keuangan berbasis digital”, tambah Menkeu. Pengusaha wanita dengan tingkat literasi keuangan yang baik dapat mengelola keuangan pribadi atau rumah tangganya dengan lebih baik dan menuai manfaat dari produk keuangan untuk mengembangkan bisnis dan membangun masa depan yang aman secara finansial sesuai dengan kebutuhan mereka.
Sementara bagi pemuda, diperlukan dorongan untuk meningkatkan akses kelompok ini ke layanan keuangan formal yang memungkinkan mereka berinvestasi dalam pendidikan mereka untuk meningkatkan kemampuan kerja dan perspektif profesional di masa depan. Akses ke layanan keuangan formal juga memungkinkan kaum muda untuk mendapatkan otonomi dalam masyarakat dan menjadi aktor sosial-ekonomi yang aktif di negara mereka. Selain itu, mengakses layanan dan produk keuangan memberikan kesempatan kepada mereka untuk membangun inisiatif kewirausahaan dan memberikan kontribusi pada penciptaan lapangan kerja.
Selain mendorong pemanfaatan fintech, pengawasan terhadap sektor jasa keuangan digital juga diperlukan untuk melindungi konsumen. Banyak jasa keuangan yang menawarkan akses keuangan tetapi kemudian menjadi masalah bagi banyak orang yang meminjam uang dengan tingkat bunga yang berlebihan dan tinggi (pinjaman online) sehinga banyak orang tidak mampu untuk membayarnya kembali.
“Teknologi mengubah sistem keuangan. Oleh karena itu, kita sebagai pembuat kebijakan perlu memastikan bahwa perubahan ini aman dan inklusif serta tidak ada yang tertinggal”, lanjut Menkeu.
Dalam seminar ini, hadir berbagai pembicara dari negara – negara dan organisasi internasional yang berbagi pengalaman dan keahlian mereka dalam inklusi keuangan digital.
“Saya yakin acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita dan strategi kita dalam mencapai target inklusi keuangan dan juga mempromosikan akses ke layanan keuangan bagi kelompok yang paling rentan dan kurang terlayani. Semoga diskusi tidak hanya sampai disini saja, tetapi bisa berlanjut di event-event lainnya, juga di negara dan institusi kita masing-masing”, tutup Menkeu.
Pada seminar tersebut, Pemerintah Indonesia dalam hal ini Pusat Investasi Pemerintah (PIP) berbagai pengalaman dalam mempromosikan inklusi keuangan pada masyarakat yang nonbankable, khususnya terhadap kaum perempuan. Mulai tahun 2007, Pemerintah telah memiliki program pembiayaan untuk UMKM yang disebut Kredit Usaha Rakyat atau KUR, yang disalurkan terutama oleh bank. Berdasarkan data Sistem Informasi Program Kredit (SIKP) tahun 2016, besaran kredit rata-rata untuk KUR Mikro sekitar Rp14 juta, sementara banyak usaha Ultra Mikro yang membutuhkan pembiayaan kurang dari Rp10 juta.
Kementerian Keuangan meluncurkan Program UMi pada tahun 2017, yang dikelola oleh Badan Layanan Umum bernama Pusat Investasi Pemerintah. Program UMi dirancang untuk memberikan pinjaman mikro yang dapat dengan mudah dan cepat diakses melalui Lembaga Keuangan Non-Bank. Program ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi bagi usaha mikro, termasuk perempuan, pemuda, maupun usaha rintisan mikro, untuk mendapatkan dukungan keuangan sehingga dapat terlibat dalam kegiatan ekonomi masyarakat.
Sejak 2017 hingga akhir 2021, Program UMi telah menjangkau lebih dari 5 juta usaha Ultra Mikro dengan nilai pinjaman lebih dari Rp18 triliun atau lebih dari US$ 1,2 miliar. Melalui 55 mitra non-bank, UMi telah menjangkau 508 dari 514 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Data yang ada menunjukkan bahwa 95% penerima UMi adalah perempuan, 91% mengambil pinjaman mikro UMi di bawah Rp5 juta rupiah, serta 96% dari sektor bisnis adalah sektor ritel kecil.
Fakta menarik lainnya dari data 5 tahun adalah adanya peningkatan jumlah debitur yang lebih muda. Proporsi debitur dengan usia di bawah 30 tahun meningkat dari hanya 8% pada tahun 2017 menjadi 18% pada tahun 2021. Untuk tahun 2022 ini, PIP ditargetkan untuk menambah 2 juta debitur baru yang diharapkan dapat meningkatkan inklusi keuangan dalam rangka pemulihan ekonomi nasional.